Kartel Pejabat Dicurigai Merebak
ICW: Kota Semarang Paling Memungkinkan
Praktik kongkalikong antara para pejabat dan pengusaha di Jawa Tengah dicurigai kian merebak. Para pejabat baik eksekutif, legislatif, dan yudikatif dituding sering ”bermain” dengan pengusaha untuk menghasilkan kebijakan-kebijakan yang menguntungkan pihak tertentu.
Praktik kartel semacam itu, menurut aktivis Indonesia Corruption Watch (ICW) Ibrahim Fahmi Badoh, dikhawatirkan menjadi cikal bakal korupsi yang dilatari kepentingan politik dan uang.
Untuk membuktikannya, ICW akan melakukan penelitian. Namun penelitian tidak dilakukan di semua daerah. LSM antikorupsi itu akan mengambil sampel di Kota Semarang.
”Kami akan meneliti seberapa besar praktik kongkalikong antara para pejabat dan pengusaha di Kota Semarang. Praktik semacam hanya menguntungkan segelintir orang dan merugikan rakyat,” kata dia di kantor KP2KKN Jateng, Senin (25/5).
Kota Semarang dipilih karena sebagai ibu kota provinsi, ditengarai menjadi salah satu kota terbesar di wilayah Jateng yang sangat memungkinkan terjadinya praktik perselingkuhan antara pengusaha dan para pejabat. Terlebih Kota Semarang selama ini tercatat sebagai kota jasa yang memungkinkan berkumpulnya banyak pengusaha dari berbagai bidang. Untuk itu, ICW akan melakukan riset selama tiga bulan mulai akhir Mei ini. ICW akan menggandeng Komite Penyelidikan dan Pemberantasan, Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KP2KKN) Jateng.
Menurut Badoh, dalam penelitian, salah satunya akan digali apakah ada pejabat atau anggota Dewan yang juga bekerja sebagai pengusaha lalu mengeluarkan kebijakan yang tentunya untuk menguntungkan bisnisnya. ”Berdasar pengalaman, praktik kartel sudah menggurita di daerah-daerah dan tidak hanya terjadi di Jakarta,” terangnya.
Sekretaris KP2KKN Jateng Eko Haryanto menambahkan politik dan bisnis memiliki kecenderungan saling memengaruhi. Dalam konteks kebijakan, bisnis memengaruhi dan dipengaruhi oleh kebijakan melalui birokrasi dan kekuasaan politik.
Di sisi bisnis, untuk keuntungan dari proyek daerah dan keleluasaan yang didapatkan dari kekuasaan politik. Dari sisi politik untuk dukungan pendanaan partai politik atau pribadi.
Lazimnya, relasi tersebut terbangun dari hubungan saling menguntungkan atau simbiosis. ”Namun nanti ujung-ujungnya rakyat yang akan dirugikan. Relasi seperti inilah yang menjadi cikal bakal korupsi politik yang dilatari konflik kepentingan,” kata Eko.
Dari penelitian, kata Eko, akan tergambarkan praktik penganggaran publik, pemetaan modus, dan aktor dari praktik perencanaan dan implementasi anggaran di daerah.
Selain itu juga untuk memetakan kecenderungan praktik oligarkhi anggaran pada potensi terjadinya korupsi anggaran di daerah. Hasil dari penelitian itu nantinya akan menghasilkan rumusan rekomendasi terkait perbaikan mekanisme penganggaran publik. ”Selain itu juga memunculkan wacana pentingnya regulasi terkait konflik kepentingan di dalam jabatan dan praktik kebijakan publik,” tandasnya.(ton-60)
Sumber: Suara Merdeka, 25 Mei 2010