Kasus 9 Kepala Daerah; Keseriusan Kejaksaan Dipertanyakan
Lembaga pegiat antikorupsi, Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia, mempertanyakan keseriusan Kejaksaan Agung dalam mengusut kasus dugaan korupsi sembilan kepala daerah. Lembaga itu meminta Komisi Pemberantasan Korupsi mengambil alih kasus tersebut dari Kejaksaan Agung.
Koordinator Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia Boyamin Saiman pesimistis Kejaksaan mampu menangani kasus yang dinilai penuh dengan tekanan politik. "Alasan kasus ini terganjal izin presiden menandakan Kejaksaan tak serius mengusutnya," kata dia saat dihubungi kemarin.
Boyamin menilai Kejaksaan tak wajib melampirkan hasil penghitungan kerugian negara. Apalagi, kata dia, pengajuan izin hanya bersifat administratif. Sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan Daerah, pemeriksaan bisa dilakukan setelah 60 hari sejak diminta izin tak keluar.
Kejaksaan Agung menetapkan sembilan tersangka kepala daerah dalam kasus korupsi yang berbeda-beda. Mereka terdiri atas dua gubernur dan tujuh bupati/wali kota. Namun Kejaksaan belum mengajukan izin kepada presiden untuk memeriksa satu pun kepala daerah itu. Jaksa Agung Muda Pidana Khusus Andhi Nirwanto beralasan pengajuan izin harus melampirkan hasil penghitungan kerugian negara dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). "Hasil perhitungan itu belum rampung," kata Adhi.
Kejaksaan Agung menegaskan akan menyelesaikan kasus korupsi sembilan kepala daerah itu. Komitmen penyelesaian kasus kepala daerah ini salah satunya dengan gelar perkara pada pekan lalu. "Kami hanya tak ingin gegabah mengambil tindakan karena bisa berdampak pada penghentian kasus," kata juru bicara Kejaksaan Agung, Noor Rachmad, saat dihubungi kemarin.
Noor membantah anggapan bahwa Kejaksaan sengaja memperlambat pengusutan karena digembosi politik main uang. Justru, menurut Noor, gelar perkara dilakukan salah satunya untuk memastikan besar kerugian negara yang sampai kini belum diselesaikan BPKP. Perhitungan kerugian negara dinilai penting untuk merumuskan tindak pidana kasus tersebut. "Indikasi kerugian negara harus kuat," kata dia.
Soal pengambilalihan kasus, Noor menilai komisi antikorupsi berhak mensupervisi kasus yang penanganannya lamban di lembaga lain. "Tapi KPK juga butuh pertimbangan hukum cukup matang untuk mengambil alih kasus," kata dia. TRI SUHARMAN
Izin Presiden
Sejak 2004 hingga 2010, Presiden mengeluarkan 8 izin pemeriksaan gubernur, 19 izin pemeriksaan wali kota, dan 118 izin pemeriksaan bupati. Sepuluh kasus gubernur ditangani Komisi Pemberantasan Korupsi. Status mereka kebanyakan tersangka, beberapa saja yang menjadi saksi. Sebagian besar kasus itu merupakan kasus korupsi dengan nilai kerugian di atas Rp 10 miliar. Kejaksaan Agung juga masih menanti izin pemeriksaan sembilan kepala daerah lain. Berikut ini kasus-kasus itu.
1. A.J. Sondakh (Sulawesi Utara)
Kasus: Manado Beach Hotel
Kerugian: Rp 11,5 miliar
Status: tersangka
Izin: 3 Desember 2004
2. Djoko Munandar (Banten)
Kasus: perumahan DPRD
Kerugian: Rp 14 miliar
Status: tersangka
Izin: 09 Desember 2004
3. Lalu Serinata (Nusa Tenggara Barat)
Kasus: korupsi APBD 2001-2004
Kerugian: Rp 24 miliar
Status: tersangka
Izin: 09 Desember 2004
4. Ali Mazi (Sulawesi Tenggara)
Kasus: perpanjangan hak guna bangunan Hotel Hilton
Kerugian: Rp 1,7 triliun
Status: saksi
Izin: 29 Desember 2005
5. Piet A. Tallo (Nusa Tenggara Timur)
Kasus: Proyek Sarana Kesehatan 2002
Kerugian: Rp 14,9 miliar
Status: tersangka
Izin: 2 Januari 2006
6. Usman Djafar (Kalimantan Barat)
Kasus: kredit macet
Kerugian: Rp 328 miliar
Status: saksi
Izin: 2 Februari 2006
7. Aminuddin Ponulele (Sulawesi Tengah)
Kasus: bahan bangunan rumah
Kerugian: Rp 6.4 miliar
Status: saksi
Izin: 2 Februari 2006
1. Muhtaddin Sera'i (Bupati Ogan Komering Ulu Selatan)
Kasus: pasar tradisional Muaradua 2003-2004
Status: tersangka
Nilai: Rp 7 miliar
2. Bambang Bintoro (Batang)
Kasus: premi asuransi DPRD
Status: tersangka
Nilai: Rp 796 juta
3. Budiman Arifin (Bulungan)
Kasus: pengadaan tanah Nunukan
Status:
Nilai: Rp 7 miliar
4. Rahudman Harahap (Medan)
Kasus: tunjangan aparat desa 2005
Status: tersangka
5. Buhari Matta (Kolaka)
Kasus: suap penjualan nikel
Status: tersangka
Dugaan: suap Rp 5 miliar
6. Awang Farouk Ishak (Gubernur Kalimantan Timur)
Kasus: penjualan saham pemda
Status: tersangka
Nilai: Rp 576 miliar
7. Rudy Ariffin (Gubernur Kalimantan Selatan)
Kasus: dana santunan
Status: tersangka
Nilai: Rp 6,4 miliar
8. Dudung B. Supari (Wakil Bupati Purwakarta)
Kasus: anggaran makan/minum
Status: tersangka
Nilai : Rp 12 miliar
9. Edison Seleleobaja (Kepulauan Mentawai)
Kasus: dana sumber daya hutan 2003-2004
Status: tersangka
Nilai: Rp 1,5 miliar
SUMBER: KEMENTERIAN DALAM NEGERI, KEJAKSAAN AGUNG
BAHAN: TRI SUHARMAN | KARTIKA CANDRA
Sumber: Koran Tempo, 1 Agustus 2011