Kasus Bibit dan Chandra; MK: Mereka Tak Bisa Diberhentikan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tidak dapat memberhentikan secara tetap Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (nonaktif), Chandra M Hamzah dan Bibit Samad Rianto, meski keduanya nantinya berstatus terdakwa. Pemberhentian mereka harus menunggu putusan Mahkamah Konstitusi terkait dengan uji materi Pasal 32 Ayat (1) Huruf c Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.
Selain itu, MK juga memerintahkan KPK menyerahkan semua dokumen berupa rekaman dan transkrip yang berhubungan dengan kasus Chandra dan Bibit. KPK harus menyerahkan rekaman dan transkrip itu pada sidang yang akan digelar Selasa (3/11).
Demikian terungkap dalam sidang MK, Kamis di Jakarta. MK mengeluarkan putusan sela/provisi dalam perkara uji materi terhadap UU KPK. Putusan sela ini adalah putusan pertama yang dikeluarkan MK dalam perkara pengujian UU. Biasanya, putusan sela dijatuhkan pada perkara sengketa antarlembaga negara dan perselisihan hasil pemilu.
Dalam pertimbangannya, MK mengakui putusan sela memang tidak dikenal dalam UU MK. Namun, ketika terjadi pelanggaran hak konstitusional yang disebabkan praktik penyelenggaraan negara yang diduga tidak sesuai dengan UUD, MK tidak dapat berdiam diri.
MK memandang terdapat cukup potensi terjadinya pelanggaran atas kepastian hukum yang adil, perlakuan yang sama di hadapan hukum, dan kebebasan dari ancaman dari rasa takut untuk berbuat atau tidak berbuat sesuatu yang merupakan hak asasi manusia. Karena itu, MK harus memainkan peran yang besar dalam mempertegas dan memberikan rasa keadilan dalam perkara a quo melalui putusan provisi yang selengkapnya akan dimuat dalam amar putusan.
Terkait dengan permohonan Chandra dan Bibit yang meminta MK memerintahkan polisi dan kejaksaan menghentikan penyidikan dugaan penyalahgunaan wewenang oleh keduanya, MK tidak berwenang melakukan hal itu. MK tak berwenang memberikan penilaian terhadap proses hukum yang masih berjalan. ”Kami tak mau masuk ke permintaan yang bukan kewenangan MK,” ujar Ketua MK Mahfud MD.
Buka rekaman
Sidang juga diisi dengan mendengarkan keterangan KPK, yang diwakili Wakil Ketua sementara KPK Mas Achmad Santosa. KPK mendukung permohonan, dalil, dan petitum yang dimohonkan Chandra dan Bibit.
Kuasa hukum Chandra, Bambang Widjojanto, minta KPK mewujudkan dukungannya dengan membuka dokumen yang dimiliki KPK untuk membuktikan adanya kriminalisasi terhadap dua wakil ketua KPK (nonaktif).
Mas Achmad tidak dapat menyanggupi permintaan itu secara langsung. ”Kami harus berembuk bersama pimpinan yang lain,” ungkapnya.
Mendengar hal itu, hakim konstitusi Abdul Mukhtie Fadjar yang memimpin sidang menegaskan, MK tak meminta jawaban apakah KPK bisa menyerahkan bukti itu ataukah tidak. MK memerintahkan KPK menyerahkan bukti itu pada sidang Selasa pekan depan.
”Tadinya memang ini adalah permohonan dari pemohon. Namun, sekarang sudah diambil alih MK. MK memerintahkan KPK untuk menyerahkan semua apa yang dimiliki. MK, karena jabatannya, memerintahkan KPK menyerahkan semua yang dimiliki yang terkait dengan perkara ini,” kata Abdul Mukthie Fadjar. Perintah ini bahkan diulang sampai tiga kali.
Secara terpisah, Ketua sementara KPK Tumpak Hatorangan Panggabean mengatakan, KPK akan menyerahkan dokumen dan rekaman percakapan, yang diduga berisi upaya kriminalisasi terhadap Bibit dan Chandra, kepada MK, Selasa mendatang. Penahanan terhadap Bibit dan Chandra yang dilakukan Polri tidak akan menghalangi KPK untuk menyerahkan dokumen itu.
”Rekaman itu sudah dimintakan dalam suatu penetapan sidang majelis MK. Cuma tentunya kita nanti akan meminta surat penetapan yang lebih konkret secara tertulis dan kami akan serahkan,” kata Tumpak.
Tumpak menambahkan, sejauh ini hanya MK yang meminta bukti rekaman itu. ”Sejauh ini baru MK yang meminta, tetapi jika ada permintaan dari penyidik (polisi), tentu akan kami serahkan,” katanya.
Buka rekaman
Sekretaris Jenderal Perhimpunan Advokat Indonesia (Peradi) Harry Ponto menilai, keluarnya putusan MK tampaknya disikapi Polri dengan menahan Bibit dan Chandra. Langkah Polri itu justru semakin memperburuk citranya.
Harry juga menyatakan tidak ada alasan menahan Bibit dan Chandra. Keduanya kooperatif dan tidak mungkin mengulangi perbuatannya. Langkah hukum yang dilakukan, termasuk mengajukan uji materi UU KPK ke MK, seharusnya dihormati, bukan dianggap sebagai gangguan.
Gubernur Lembaga Ketahanan Nasional Muladi juga meminta Polri segera menyelidiki orang yang disebut dalam transkrip rekaman, yang berisi percakapan sejumlah pihak, termasuk beberapa petinggi Kejaksaan Agung dan Polri.
”Memang sebenarnya rekaman itu, kan, simpang siur dan tidak jelas, bahkan menyebut nama RI-1. Jadi, yang perlu dikejar adalah orang yang disebut, terutama yang perempuan itu. Saya jengkel sekali dengan dia itu, ya. Siapa dia sebenarnya, kok terkesan berkuasa sekali mengatur sistem peradilan di negeri dan merendahkan presiden juga,” ujar Muladi. (ana/aik/dwa/tra)
Sumber: Kompas, 30 Oktober 2009