Kasus Jaksa UTG dan BLBI

Kasus tertangkapnya seorang jaksa (sebut saja UTG) berbuntut kecurigaan, karena pemberi uang bukan sembarang orang melainkan ART, yang memiliki posisi penting di dalam perusahaan milik SYN, konglomerat Indonesia yang dikenal luas dan secara kebetulan pemilik BDNI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Adapun UTG adalah Ketua Tim II BLBI Kejaksaan Agung. Yang lebih menarik perhatian masyarakat luas dan mencengangkan, kisah tertangkap tangan tersebut terjadi tiga hari setelah Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian penyelidikan kasus BLBI.

Kasus tertangkapnya seorang jaksa (sebut saja UTG) berbuntut kecurigaan, karena pemberi uang bukan sembarang orang melainkan ART, yang memiliki posisi penting di dalam perusahaan milik SYN, konglomerat Indonesia yang dikenal luas dan secara kebetulan pemilik BDNI yang terlibat kasus Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI). Adapun UTG adalah Ketua Tim II BLBI Kejaksaan Agung. Yang lebih menarik perhatian masyarakat luas dan mencengangkan, kisah tertangkap tangan tersebut terjadi tiga hari setelah Kejaksaan Agung mengumumkan penghentian penyelidikan kasus BLBI.

Semua keterkaitan tersebut di atas bukanlah secara kebetulan, karena informasi yang diperoleh, wanita ART sudah tidak asing lagi di kalangan Kejaksaan Agung dan kalangan pejabat tinggi pemerintah. Situasi ini telah memperkuat kecurigaan masyarakat mengenai keterkaitan antara suap UTG dan penghentian kasus BLBI. Pemeriksaan UTG oleh tim Jamwas Kejaksaan Agung memunculkan banyak pertanyaan, karena sejak UTG ditetapkan sebagai tersangka oleh Komisi Pemberantasan Korupsi, otomatis telah terjadi pelanggaran disiplin sesuai dengan ketentuan PP Nomor 30. Pemeriksaan UTG dengan dalih PP 30 jelas tidak relevan.

Kecurigaan terhadap campur tangan Kejaksaan Agung semakin besar ketika pemeriksaan dilakukan lebih dari satu kali. Secara normatif langkah Kejaksaan Agung merupakan pelanggaran terhadap Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, di mana telah ditetapkan bahwa, ketika KPK melakukan penyelidikan apalagi penyidikan terhadap tersangka, wewenang Kejaksaan Agung atau kepolisian seketika harus berhenti (Pasal 50 ayat 3). Seharusnya Jaksa Agung menyerahkan sepenuhnya kepada KPK untuk melakukan pemeriksaan dengan tuntas dan menunggu hasilnya.

Begitu pula tidak ada kepentingan apa pun dari Kejaksaan Agung untuk menangkap ART, karena yang bersangkutan telah berada di bawah yurisdiksi KPK. Jika itu tetap dilakukan, Kejaksaan Agung telah dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung ataupun tidak langsung penyidikan yang sedang dilakukan KPK sesuai dengan bunyi ketentuan pidana dalam Pasal 21 UU Nomor 31 Tahun 1999 yang diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001.

Keterkaitan kasus suap UTG oleh ART sangat transparan, sehingga tidak diperlukan lagi alat-alat bukti sebagaimana lazimnya berdasarkan KUHAP. Kasus ini merupakan kasus tertangkap tangan dengan barang bukti sejumlah uang senilai US$ 600 ribu lebih, dan jelas siapa pemberi dan penerima uang tersebut. Masih adanya pendapat bahwa kasus suap ini tidak ada kaitan dengan penghentian kasus BLBI terdengar naif sekali, apalagi dari sisi aspek hukum pidana. Fakta-fakta mengenai siapa dan bagaimana hubungan kedua tersangka satu sama lain serta posisinya dalam kasus BLBI dikenal dalam hukum pembuktian sebagai prima facie evidence, yaitu fakta-fakta yang secara langsung atau tidak langsung dapat dijadikan bukti kuat adanya keterkaitan antara gratifikasi UTG oleh ART berhubungan dengan penghentian kasus BLBI.

Cara pembuktian prima facie evidence telah diterapkan dalam praktek peradilan pidana di beberapa negara, seperti di Jerman, Prancis, dan Belanda, terutama dalam kasus tindak pidana yang berdampak luar biasa, seperti kasus terorisme. Begitu juga dalam kasus bom Bali dengan UU Nomor 15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, dan dalam kasus Pollycarpus; dalam kasus perdagangan narkotik ilegal dan pencucian uang atau dalam kasus pembunuhan yang meninggalkan beberapa petunjuk, seperti tes DNA, pakaian, pisau, atau pistol yang digunakan untuk melakukan pembunuhan, darah korban, dan sidik jari pelaku atau luka tubuh pelaku karena perlawanan korban.

Berdasarkan uraian di atas, jelas bahwa kasus gratifikasi UTG telah terbukti merupakan suap, karena pemberian uang US$ 600 ribu lebih tersebut berhubungan dengan jabatan UTG selaku Ketua Tim II BLBI. Atau besar kemungkinan gratifikasi itu juga berlawanan dengan kewajiban UTG yang seharusnya meningkatkan status penyelidikan kepada tingkat penyidikan. Hal ini sejalan dengan bunyi ketentuan Pasal 12-B UU Nomor 20 Tahun 2002 yang mengubah UU Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Pasal 12-B berbunyi: Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap suap apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya. Dengan ditetapkannya UTG sebagai tersangka dalam kasus suap oleh KPK, menjadi kewajiban KPK untuk menyidik lebih lanjut latar belakang dan tujuan penyuapan tersebut.

Analisis hukum pidana di atas telah membuktikan bahwa kasus suap UTG berkaitan dengan penghentian kasus BLBI. Merujuk pada Pasal 9 huruf d UU Nomor 30 Tahun 2002 tentang KPK, atas perintah UU KPK, KPK wajib mengambil alih kasus BLBI terlepas dari kontroversi mengenai wewenang KPK berdasarkan Pasal 68 UU KPK yang menegaskan bahwa KPK dapat mengambil alih kasus korupsi yang tidak selesai pemeriksaannya (SP3, sic!) sebelum terbentuknya KPK.

Romli Atmasasmita, Guru Besar Hukum Pidana Internasional Universitas Padjadjaran

Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 25 Maret 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan