Kasus Korupsi BPR/BKK; Kepala DPPKAD Sragen Ditahan
Setelah mantan bupati dan mantan sekretaris daerah (Sekda), satu lagi tersangka kasus dugaan korupsi BPR/BKK Kabupaten Sragen ditahan Kejaksaan Tinggi (Kejati) Jawa Tengah.
Srie Wahyuni, kepala Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah (DPPKAD) Sragen, Senin (18/7) petang kemarin ditahan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Wanita Bulu Semarang.
Srie ditahan usai menjalani pemeriksaan selama tujuh jam sejak pukul 10.00. Setelah proses administrasi selesai, pukul 18.30 tersangka dibawa ke LP Bulu oleh beberapa jaksa.
Srie dinilai turut serta melakukan tindak pidana korupsi penyalahgunaan keuangan kas daerah pada APBD 2003-2010, sehingga merugikan negara sebesar Rp 40 miliar.
”Tersangka sebagai pihak yang turut serta kami tahan mulai hari ini,” kata Kepala Kejaksaan Tinggi Jateng, Widyopramono, didampingi Asisten Pidana Khusus Setia Untung Arimuladi.
Tersangka pada saat peristiwa korupsi terjadi, dia menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan Pemkab Sragen. Kejati menyatakan terdapat bukti cukup bahwa Srie telah bekerjasama dengan dua tersangka lain yang lebih dulu ditahan. Yakni, mantan bupati Untung Wiyono dan mantan sekda Kushardjono.
Tersangka Bertambah
Perbuatan para tersangka tersebut antara lain melanggar Undang-undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, UU No 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, serta Pasal 2 dan 3 UU 31 Tahun 1999 yang telah diubah dengan UU No 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. ”Penyidikan belum berhenti, tersangka masih dimungkinkan bertambah,” tegas kajati.
Belum ada komentar sama sekali dari Srie Wahyuni terkait sangkaan tersebut. Pengacaranya, HD Junaedi, hanya mengatakan bahwa pihaknya akan mengikuti proses hukum yang berlaku. ”Klien kami taat hukum, kami akan bertindak kooperatif selama pemeriksaan,” katanya.
Kasus ini bermula dari pendepositoan kas daerah Sragen ke Perusahaan Daerah BPR Djoko Tingkir dan BPR Karangmalang sejak 2003. Di BPR Djoko Tingkir dana dimasukkan secara bertahap sebanyak 38 kali dengan jumlah keseluruhan Rp 29 miliar. Deposito tersebut kemudian dijadikan jaminan kredit dengan bukti adanya 108 surat perjanjian kredit dengan total pinjaman sebesar Rp 36 miliar.
Di BPR Karangmalang dana dimasukkan 8 kali secara bertahap mulai 2006 dan juga dijadikan agunan kredit dengan total Rp 6 miliar. Uang pinjaman kredit tersebut, menurut kejati, seharusnya masuk ke kas daerah. Namun yang terjadi, uang tidak masuk kas daerah namun digunakan untuk kepentingan di luar kedinasan. (H68-35)
Sumber: Suara Merdeka, 19 Juli 2011