Kasus Korupsi Depnakertrans; Dua Mantan Anak Buah Fahmi Idris Dituntut 4 Tahun dan 6 Tahun

Dua mantan bawahan Fahmi Idris saat menjabat Menakertrans menjadi pesakitan dalam kasus dugaan korupsi audit investigasi penempatan tenaga kerja asing di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kemarin (8/4). Dua terdakwa itu adalah mantan Bendaharawan Proyek Investigasi Penahanan Tenaga Kerja Asing (TKA) Depnakertrans Suseno Tjipto Mantoro dan mantan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja (Dirjen PPK) Marudin Saur Marulitua Simanihuruk.

Dua mantan bawahan Fahmi Idris saat menjabat Menakertrans menjadi pesakitan dalam kasus dugaan korupsi audit investigasi penempatan tenaga kerja asing di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor) kemarin (8/4). Dua terdakwa itu adalah mantan Bendaharawan Proyek Investigasi Penahanan Tenaga Kerja Asing (TKA) Depnakertrans Suseno Tjipto Mantoro dan mantan Dirjen Pembinaan dan Pengawasan Tenaga Kerja (Dirjen PPK) Marudin Saur Marulitua Simanihuruk.

Nasib buruk menimpa Suseno. Meski hanya terbukti menerima gratifikasi Rp 3 juta, pria paro baya yang menjadi terdakwa II itu dituntut pidana empat tahun. Bukan hanya itu, Suseno juga harus membayar denda Rp 200 juta subsider dua bulan kurungan. Pidana tambahan uang pengganti Rp 3 juta juga dikenakan. (uang pengganti, Red) Yang dikompensasikan dengan uang yang telah disita dari terdakwa II, ujar Jaksa Penuntut Umum (JPU) Moch. Rum.

Terdakwa I, Marudin, dituntut enam tahun pidana dan denda Rp 350 juta subsider empat bulan kurungan. Uang pengganti Rp 5,867 miliar juga ditimpakan kepadanya. (uang pengganti, Red) Dikompensasikan dengan tanah dan bangunan yang telah disita, ujar JPU Moch. Rum. Jika dalam sebulan setelah putusan berkekuatan hukum tetap (in kracht) uang pengganti tak dibayar, harta benda milik terdakwa bakal disita dan dilelang.

Moch. Rum membeberkan, saat menjadi Dirjen, terdakwa I mengajukan nota dinas kepada Menakertrans saat itu, Fahmi Idris. Salah satu isi nota dinas bertanggal 23 November 2004 itu menyebutkan, kantor akuntan publik (KAP) Johan Barus dilibatkan dalam proyek tersebut. Rekanan itu lolos dengan licin. Sebab, keluar surat perintah bertanggal 30 November yang menunjuk Marudin sebagai penanggung jawab proyek di 46 dinas di provinsi dan kabupaten/kota.

Terdakwa I sejak semula telah menghendaki untuk menunjuk KAP Johan Barus sebagai pelaksana proyek, ujar Siswanto, JPU lainnya. Mantan jaksa di Kejaksaan Tinggi Jawa Timur itu menambahkan, tindakan terdakwa I melanggar Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di Instansi Pemerintah.

Bersama-sama terdakwa II, pada 27 Desember 2004, Marudin membuat surat-surat fiktif seolah-olah pekerjaan audit investigasi selesai dilaksanakan KAP Johan Barus. Dua hari kemudian anggaran proyek dicairkan secara keseluruhan, Rp 9,296 miliar.

KPK juga menemukan fakta bahwa sebagian duit proyek justru mengalir ke rekening pribadi. Terdakwa I menerima Rp 1,46 miliar, terdakwa II Rp 3 juta, dan Johan Barus Rp 1,404 miliar. Selain itu, personel Deputi VI BIN yang saat ini menjadi Dubes RI di Nigeria Nurhadi Djazuli disebut menerima Rp 205 juta.

Bukan hanya uang, Marudin juga menerima sebuah mobil Honda Streem tahun 2005 dari Johan Barus. Alasan Marudin bahwa penerimaan uang Rp 900 juta adalah untuk install program kegiatan proyek ditepis JPU karena dia tak punya alat bukti yang dapat memperkuat alasan terdakwa. Terdakwa menerima uang Rp 75 juta sebagai honor tidak dapat dibenarkan karena sebagai pegawai negeri tidak diperbolehkan menerima honor dari penyedia jasa, ujar Siswanto.

Melalui kuasa hukumnya, Rufinus Hotmaula, Suseno mempertanyakan alasan dia dituntut empat tahun. Marudin disebut-sebut pantas dimintai pertanggungjawaban. Fakta yang ada, beliau diminta (Suseno) mengadakan sebuah dokumen yang sudah dipersiapkan terdakwa I, ujarnya.(ein/kim)

Sumber: Jawa Pos, 9 April 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan