Kasus Korupsi Proyek 4 Track; Pengusutan Jalan di Tempat
Menteri Perhubungan hanya bisa berkata: Saya tidak tahu. Komisi Pemberantasan Korupsi ikut bungkam.
Pengusutan dugaan korupsi proyek rel kereta api empat jalur atau double-double track masih jalan di tempat, bahkan tenggelam. Pengusutan belum berlanjut, semua pejabat berwenang seolah bungkam.
Proyek itu milik Departemen Perhubungan, dalam rangka menambah daya angkut kereta jurusan Jakarta-Bekasi dari sekitar 500 ribu orang menjadi 3 juta orang per hari. Jadwal semula pembangunan fisik rel sepanjang 35 kilometer mulai akhir 2006 dan selesai 2010.
Selang beberapa bulan setelah pembayaran ganti rugi, sejumlah warga menerima salinan kuitansi ganti rugi yang berkop Departemen Perhubungan. Salinan itulah yang membuat warga kesal. Sebab, warga menemukan uang yang tertera dalam kuitansi lebih besar daripada yang mereka terima.
Kasus Mustopa, misalnya. Menurut salinan kuitansi, warga kelahiran Cirebon itu menerima ganti rugi Rp 36.864.502. Tapi dia mengaku hanya menerima Rp 8.864.000.
Hal yang sama dialami Naniek. Dalam kuitansi disebutkan dia menerima uang ganti rugi Rp 34.180.050, padahal hanya sebesar Rp 12.672.000.
Melihat berbagai kejanggalan itu, sejumlah warga melapor ke Kejaksaan Tinggi Jakarta. Sejauh ini kejaksaan telah menetapkan dua tersangka: Yoyok Sulaeman (pemimpin proyek) dan Iskandar Rasyid (bendahara proyek).
Laporan tak hanya disampaikan ke jaksa. Melalui anggota Dewan Perwakilan Daerah asal DKI Jakarta, Marwan Batubara, warga pun melapor ke Komisi Pemberantasan Korupsi.
Dalam laporan ke KPK, Marwan menyebutkan uang ganti rugi yang menguap sekitar Rp 2,218 miliar. Itu baru ganti rugi untuk warga Kelurahan Kampung Melayu dan Kelurahan Pisangan Timur, Jakarta Timur.
Juru bicara Direktorat Jenderal Perkeretaapian Departemen Perhubungan, Soeprapto, yang dihubungi minggu lalu, mengatakan pihaknya belum bisa mengomentari permasalahan ketetapan pejabat proyek sebagai tersangka. Setahu saya baru sebatas penyelidikan pihak kejaksaan, ujarnya.
Menteri Perhubungan Hatta Rajasa sekata. Saya tidak tahu perihal penetapan tersangka itu, katanya.
Setelah Tempo memperlihatkan surat dari Kejaksaan Tinggi DKI Jakarta Nomor Prin-3953/O.1/Fd.1/10/2005 tanggal 28 Oktober 2005 yang menunjukkan bahwa Yoyo Sulaiman sebagai tersangka, Hatta bergeming. Saya juga tidak tahu hal ini, di menegaskan.
Dia pun menolak memberikan tanggapan lanjutan. Nanti-nanti saja, ya, ujarnya.
Bahkan ketika ditanyakan apakah ada kebijakan nonaktif dari proyek, Hatta justru menghindar. Saya tidak bisa memberikan jawaban sekarang.
Lalu apa jawaban Komisi Pemberantasan Korupsi yang mengusut kasus ini? Masih belum ada perkembangannya, kata Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Erry Riyana Hardjapamekas. Artinya, baru sebatas pengaduan masyarakat yang belum ditindaklanjuti ke penyelidikan.
Alasannya, Komisi Pemberantasan Korupsi harus menelaah terlebih dulu kasus yang masuk. Bagaimana dengan kasus rel kereta empat jalur itu? Nanti saja ya, saya sedang rapat, katanya menepis.
Mari dengar konfirmasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, auditor yang memeriksa proyek rel empat jalur. Kami tidak bisa memberikan hasil audit kepada publik, ujar juru bicara Suyadiarto Priyono.
Dia kemudian mengutip sebuah aturan BPKP yang tertuang dalam aturan Aparat Pengawasan Fungsional Pemerintah. Klausulnya ada Standar Umum butir 1.4: segala hal yang terkait dengan penugasan, aparat pengawas dan anggotanya harus menjaga kerahasiaan informasi yang diperoleh.
Jadi kami jaga kerahasiaannya kecuali kepada pemerintah dan yang memberi tugas, ujarnya.
Asroni, Koordinator Warga RW 06, Kelurahan Kampung Melayu, Jakarta Timur, hanya bisa tersenyum pahit jika melihat kasus yang jalan di tempat ini. Kasihan rakyat dan uang negara yang hilang, tuturnya. ZAKY ALMUBAROK
Sumber: Koran Tempo, 10 Juli 2006