Kasus Mafia Anggaran; KPK Telusuri 21 Transaksi
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) telah menerima laporan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) tentang adanya 21 transaksi mencurigakan yang dilakukan anggota Badan Anggaran (Banggar) DPR. Laporan hasil analisa tersebut sedang dipelajari KPK.
”Sudah diterima dan sedang dipelajari,” ujar Wakil Ketua KPK Bibit Samad Riyanto di Jakarta, kemarin.
Bibit enggan menjelaskan siapa anggota Banggar DPR yang namanya tercantum dalam laporan itu. ”Saya tidak hafal,” kilahnya.
Wakil Ketua KPK M Jasin juga menyatakan, KPK sudah mengantongi informasi terkait 21 transaksi mencurigakan tersebut. Namun KPK tidak bisa membuka data tersebut ke publik.
”Itu data intelijen, tidak bisa kami buka,” kata Jasin.
Awalnya, laporan PPATK ini diserahkan ke pimpinan DPR atas permintaan Badan Kehormatan pada pertengahan September lalu. Ketika itu, Wakil Ketua DPR Priyo Budi Santoso dan Pramono Anung menjelaskan bahwa ada 21 transaksi mencurigakan yang dilakukan oleh seorang anggota Banggar. Nilai transaksinya bervariasi, dari Rp 500 juta hingga miliaran rupiah.
Penggelembungan
Terpisah, Forum Masyarakat Pemantau Parlemen Indonesia (Formappi) menduga ada praktek mark-up yang dilakukan Badan Anggaran untuk setiap nilai anggaran yang diajukan pemerintah dalam RAPBN. Selisih antara nilai anggaran versi pemerintah dengan yang disetujui DPR itu yang kemudian menjadi ”ruang” mafia anggaran.
Demikian salah satu hasil evaluasi Formappi terhadap kinerja dua tahun DPR. Hasil evaluasi dipaparkan oleh Koordinator Formappi, Sebastian Salang, di Kantor Formappi, Jakarta Timur, Minggu (9/10).
”Kami menduga ada ruang gelap yang bisa dipermainkan mafia anggaran,” ujar Sebastian Salang.
Formappi mendapati bahwa ada kecenderungan DPR memberi persetujuan nilai anggaran lebih besar dari yang diajukan pemerintah. Misalnya dalam RAPBN 2011, pemerintah mengajukan dana Rp 1,202 triliun. DPR malah menyetujui Rp 1,229 triliun yang artinya terjadi penggelembungan sebesar Rp 27,5 miliar.
Formappi menilai, menaikkan alokasi anggaran yang diajukan pemerintah dan menambah alokasi dana yang tidak diminta adalah indikasi bahwa DPR tidak taat efisiensi dan cenderung menghambur-hamburkan keuangan negara. (J13,J22,H28,ant-43)
Sumber: Suara Merdeka, 10 Oktober 2011