Kasus Mafia Pajak Munculkan Dugaan Kebocoran Pajak Rp 240 T
KASUS mafia pajak memunculkan berbagai dugaan. Salah satunya, tingkat kebocoran penerimaan pajak yang nilainya fantastis, yakni hingga Rp 240 triliun per tahun. Anggota Komisi XI DPR dari Fraksi Partai Golkar Nusron Wahid menyatakan, seretnya penerimaan pajak terlihat dari rendahnya tax ratio atau perbandingan antara penerimaan perpajakan dan produk domestik bruto (PDB).
Dalam APBN 2010, pemerintah menargetkan tax ratio 12,4 persen. Namun, dalam RAPBN-P 2010, pemerintah menurunkan tax ratio menjadi hanya 11,7 persen atau Rp 741 triliun. Padahal, kata Nusron, tax ratio di negara-negara berkembang rata-rata mencapai 16 persen. Karena itu, jika kebocoran sektor pajak dibenahi, Indonesia semestinya bisa mencapai tax ratio 16 persen.
Dengan demikian, Nusron menduga ada kebocoran pajak senilai selisih 4 persen PDB. Dengan PDB Rp 6.000 triliun, nilai 4 persen tersebut mencapai Rp 240 triliun. ''Bisa jadi, Rp 240 triliun itulah yang dimakan mafia pajak seperti Gayus (Tambunan) dan teman-temannya,'' ujarnya.
Besarnya potensi kebocoran karena aksi mafia pajak itu mendapat perhatian serius dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK). Karena itu, audit terhadap kinerja Ditjen Pajak menjadi salah satu prioritas agenda kerja BPK. ''Audit akan dilakukan semester kedua 2010 ini,'' tegas Ketua BPK Hadi Poernomo.
Menurut mantan Dirjen Pajak tersebut, terbongkarnya perilaku menyimpang Gayus menuntut adanya evaluasi menyeluruh di sektor perpajakan. ''Terutama, evaluasi terhadap sistem perpajakan,'' katanya.
Sistem yang harus dievaluasi, lanjut dia, harus mencakup apakah ada peraturan perpajakan yang bertentangan dengan peraturan di atasnya, apakah ada peraturan yang belum dilaksanakan, dan apakah ada peraturan yang belum dibentuk.
''Jika evaluasi atas tiga poin tersebut bisa dilakukan, akan terlihat bagian mana yang harus diperbaiki agar potensi penyimpangan bisa diminimalkan,'' terangnya.
Hasil audit kinerja tersebut, lanjut dia, nanti disusul rekomendasi BPK. Jika memang penyimpangan yang dilakukan pegawai tersebut terjadi karena adanya celah akibat lemahnya aturan perundang-undangan, BPK bisa saja merekomendasikan agar UU Ketentuan dan Tata Cara Perpajakan diamandemen. (owi/c5/iro)
Sumber: Jawa Pos, 14 April 2010