Kasus Suap Anggota DPR Amin yang Tidak
Anggota DPR Al Amin Nasution tertangkap tangan KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ketika dalam situasi dugaan transaksi untuk melicinkan alih status hutan lindung di Bintan, Kepri. KPK menangkap basah Amin bersama Sekda Bintan Azirwan, dua ajudan Sekda, dan seorang perempuan di Hotel Ritz Carlton, Rabu (9/4/2008) dini hari (www.detik.com, 09/04, 13.50).
Perilaku korupsi elite politik tersebut menambah buram potret politik Indonesia yang sarat penyakit tindak pidana korupsi. Dalam catatan saya, dari hasil jerih lelahnya, KPK telah menjaring pelaku korupsi di KPU, KY, BI, Kejagung, dan kini DPR. Hal itu membuktikan bahwa sindroma korupsi telah mencemari institusi negara dari eksekutif, legislatif, bahkan hingga yudikatif, organ yang seharusnya imun dari korupsi.
Perilaku Al Amin Nasution tersebut merupakan potret sebagian besar pejabat dan elite di negeri duka ini, suatu kultur kleptokrasi. Amin yang dalam rumpun semitik berarti sungguh benar ternyata bertolak belakang dengan perilaku penyandang nama tersebut. Amin yang tidak amin.
Interpretasi Buruk
Tertangkapnya anggota DPR dan birokrasi lokal dalam dugaan suap memuluskan alih hutan lindung itu menimbulkan ragam interpretasi buruk dan preseden negatif. Pertama, di tengah seruan dunia atas global warming, kasus Amin menjadi indikator buruk bahwa elite politik tidak memiliki political will dalam konservasi ekosistem bagi rekreasi alam sebagai habitat manusia yang asri dan bersahabat.
Tuhan menciptakan alam sebagai ruang bagi manusia untuk menjalankan shalom (perdamaian). Manusia diberi tugas untuk mengusahakan dan memelihara taman itu dengan harapan di tangan manusia sebagai citra Sang Khalik, alam bukan saja bertahan, malah berkembang.
Tetapi, sejak Nabi Adam mengeksploitasi pohon ara untuk menutupi ketelanjangan akibat dosanya, sejak saat itu alam terus tergerus eksploitasi hingga kini dan dampaknya sangat tidak bersahabat dengan manusia. Karena itulah, sejak semula Tuhan telah memperingatkan manusia, tidak baik manusia itu seorang diri saja. Jika manusia mementingkan diri, maka alam yang Tuhan cipta demikian baik akan menjadi tidak baik. Hal itulah yang kita lihat sekarang. Demi kepentingan segelintir elite, alam dieksploitasi sehingga bukan hanya tidak bertahan, tetapi malah hancur. Akibatnya ditanggung oleh manusia, baik pada masa kini maupun masa mendatang.
Kedua, dalam kasus suap itu, kita melihat bahwa wakil rakyat mengalami malfungsi dan disfungsi, bukan lagi mewakili aspirasi dan kepentingan rakyat di daerah, malah memperjuangkan libido profit finansial elite di daerah. Inilah yang harus terus dikontrol oleh publik. Masyarakat di daerah diabaikan dengan ragam derita dan air mata karena telinga wakil rakyat disumbat oleh gratifikasi elite di daerah.
Ketiga, dalam rangkaian pilkada di berbagai provinsi, kabupaten, dan kota, masyarakat hendaknya waspada terhadap janji bulus para kandidat pemimpin yang katanya memperjuangkan nasib rakyat, mencintai rakyat, tetapi toh akhirnya ke Jakarta mencari jalan bagi keuntungan sendiri, bukan kepentingan rakyat.
Rule of Law
Ada tiga dasar mengapa kasus suap itu merupakan pencederaan terhadap demokrasi konstitusional di bawah rule of law yang kita anut. Pertama, menurut ahli hukum A.V. Dicey, dua unsur pertama rule of law dalam arti klasik adalah supremacy of the law dan equality before the law (dikutip Wade dan Philips, 1965). Kedua unsur ini dilanggar dalam kasus suap tersebut. Hukum tidak lebih berkuasa daripada uang dan koruptor, sedangkan ekuitas warga negara diukur berdasarkan suap.
Kedua, Miriam Budiardjo menegaskan, salah satu syarat dasar terselenggaranya pemerintahan demokratis di bawah rule of law adalah institusi-institusi negara yang independen (2008). Dengan kasus ini, lengkaplah sudah dependensi institusi, khususnya legislatif pembuat dan pengontrol regulasi.
Ketiga, Henry B. Mayo menekankan nilai terpenting dalam demokrasi, yakni penyelesaian perselisihan dengan damai dan melembaga (1960). Yang terjadi malah penyelesaian kasus alih hutan secara personal, di luar kaidah hukum dan kelembagaan.
Sekalipun kasus itu amat menyayat hati, ketekunan memimpikan dan mengupayakan law enforcement bagi proses demokratisasi harus terus diupayakan. Semoga!
Antonius Steven Un, peneliti filsafat, etika, dan demokrasi pada Reformed Center for Religion and Society, Jakarta, menetap di Malang (E-Mail: antoniussteven@gmail.com; antoniussteven@live.com)
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 11 April 2008