Kasus Suap, Kepala BPN Surabaya Kena 15 Bulan

Pejabat yang satu ini tertangkap basah KPK (Komisi Pemberantasan Korupsi) ketika menerima langsung uang pelicin Rp 20 juta untuk pengurusan sertifikat tanah. Dia adalah kepala BPN (Badan Pertanahan Nasional) Kota Surabaya yang sudah dinonaktifkan. Kemarin Khudori harus menerima ganjaran 15 bulan penjara di PN Surabaya atas perbuatan tercelanya itu.

Ketika vonis dibacakan, Khudori tampak tegang. Pria kelahiran Boyolali, Jawa Tengah, itu juga diharuskan membayar denda Rp 50 juta. Jika tidak mampu membayar denda tersebut, Khudlori wajib mengganti dengan menjalani hukuman tambahan enam bulan kurungan.

Putusan tersebut tiga bulan lebih ringan daripada tuntutan jaksa penuntut umum (JPU). Dalam sidang sebelumnya, JPU menuntut pria 49 tahun itu 1,5 tahun penjara. Sedangkan denda dan hukuman subsider sama dengan putusan hakim.

Bagi saya itu berat, kata Khudlori usai sidang. Menurut dia, putusan hakim tidak mempertimbangkan bahwa semua yang menimpanya adalah rekayasa yang dikondisikan jauh-jauh sebelumnya. Dia memisalkan, awalnya dalam mengurus sertifikat, M. Afenan dan Waluyo Jektiono (keduanya perantara H Farhan, pemilik tanah, Red) tidak dipungut biaya apa pun.

Namun, lanjut dia, ketika menguruskan tanah milik H Farhan, mereka menawarkan kesanggupan membayar biaya berapa pun kepada Khudlori. Itu dilakukan dengan menggunakan tameng biro jasa yang mereka miliki. Itu kan inisiatif mereka untuk memberi uang kepada saya. Dan itu yang tidak dipertimbangan hakim, kata Khudlori.

Terkait vonis hakim tersebut, Khudlori mengaku belum bisa menyikapinya. Saya masih pikir-pikir dulu apakah mau mengajukan banding atau tidak, ucapnya. Jawaban masih pikir-pikir juga disampaikan JPU Dedy Irwan Virantama.

Ketua majelis hakim Soedarmadji mengatakan, berdasarkan fakta yang terungkap di persidangan, Khudlori terbukti bersalah karena sebagai PNS (pegawai negeri sipil) menerima hadiah dari seseorang terkait dengan jabatannya. Terdakwa terbukti bersalah melanggar pasal 11 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, ujar Soedarmadji.

Menurut dia, kesimpulan itu berdasar keterangan saksi-saksi dalam sidang. Dia mecontohkan ungkapan Poegoeh Setijasa selaku kuasa hukum Farhan, pemilik tanah, yang mengeluarkan uang Rp 20 juta. Poegoeh mengaku uang tersebut untuk memperlancar keluarnya sertifikat tanah.

Menurut majelis hakim, berdasar peraturan yang ada, pengurusan tanah milik H Farhan seluas 38.332 meter persegi hanya membutuhkan biaya Rp 8.383.100. Namun, Khudlori malah meminta pungutan di luar biaya resmi. Yaitu meminta tambahan biaya Rp 15 ribu tiap meter. Jumlahnya menjadi Rp 675 juta, ucap Soedarmadji yang kemarin membacakan vonis.

Hal tersebut, menurut hakim, dinamakan gratifikasi. Yaitu, pemberian uang atau benda yang terkait dengan jabatan yang melekat. Apalagi, berdasar keterangan saksi dalam sidang, Khudlori sempat mengancam jika tidak membayar uang tersebut, tanah itu akan menjadi tanah negara.

Menurut hakim, hal yang memberatkan, perbuatan Khudlori memperburuk citra PNS. Apalagi, hal tersebut dilakukan ketika pemerintah sedang gencar memberantas korupsi. Namun, yang meringankan, terdakwa belum menikmati uang, mengakui perbuatannya, dan memiliki tanggungan keluarga, ucap hakim.

Barang bukti berupa uang Rp 20 juta disita untuk negara. Sedangkan dua handphone milik Khudlori disita untuk dimusnahkan.

Seperti diberitakan, Khudlori ditangkap KPK di Hotel Somerset pada 13 Agustus 2007. Dia tertangkap setelah menerima suap terhadap pengurusan sertifikat tanah di daerah Keputih Tambak. Saat itu, Farhan, pemilik tanah, mengajukan pengurusan sertifikat seluas 38.332 meter persegi. Setelah diukur, ada kelebihan tanah 8.720 meter persegi. Selisih itulah yang dimainkan Khudlori. (eko/yen/kum)

Sumber: Jawa Pos, 8 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan