"Kasus Vincent Bukan Pencucian Uang"
Dua pakar hukum pidana mementahkan argumen jaksa dan hakim.
Pakar pencucian uang, Yenti Garnasi,h mementahkan argumen jaksa dalam sidang pemeriksaan berkas memori peninjauan kembali (PK) Vincentius Amin Sutanto, mantan petinggi Asian Agri Group yang kini dihukum 11 tahun penjara.
Penjelasan doktor di bidang pencucian uang itu disampaikan dalam sidang yang digelar di Pengadilan Negeri Jakarta Barat, Slipi, kemarin siang. "Pencucian uang baru terjadi jika bisa dibuktikan adanya perbuatan menyembunyikan uang hasil kejahatan," kata dosen hukum Universitas Trisakti itu.
Yenti dihadirkan sebagai saksi ahli oleh penasihat hukum Vincent dari kantor Irianto Subiyakto dan Asmar Oemar Saleh. Pengajuan memori PK diajukan pada awal Agustus lalu, yakni setelah putusan kasasi Mahkamah Agung tahun lalu menguatkan putusan Pengadilan Negeri Jakarta Barat dan Pengadilan Tinggi Jakarta yang menghukum Vincent 11 tahun penjara.
Dalam putusannya, majelis hakim menyatakan Vincent terbukti bersalah melakukan tindak pidana pencucian uang dan pemalsuan dokumen saat membobol brankas unit Asian Agri di Singapura senilai US$ 3,1 juta atau sekitar Rp 28 miliar pada November 2006.
Dari jumlah itu, yang berhasil dicairkan Vincent sesungguhnya hanya Rp 200 juta. Diduga, ia dijerat pasal superberat ini lantaran membongkar dugaan penggelapan pajak perusahaan sawit unit bisnis Raja Garuda Mas Group milik taipan Sukanto Tanoto dengan kerugian negara sekitar Rp 1,4 triliun.
Menurut Yenti, dalam kasus pencucian uang, harus ada dua tindak pidana kejahatan. Pertama, ada kejahatan asal yang juga disebut predicate offense atau core crimes. Kedua, ada tindak kejahatan lanjutan, misalnya berupa transfer atas uang hasil kejahatan itu. "Dalam dakwaan pencucian uang, harus dibuktikan dulu ada tidaknya uang hasil kejahatan itu," katanya.
Mendengar penjelasan itu, ketua majelis hakim Bambang Haruji meminta penegasan Yenti. "Jadi, tindak pidana pokoknya harus dibuktikan dulu?"
"Ya," kata Yenti. "Pencucian uang baru terjadi jika dilakukan transfer atas uang hasil kejahatan."
Irianto pun kembali meminta penegasan Yenti, apakah ini berarti jika seseorang melakukan pemalsuan dokumen untuk mentransfer uang--seperti dilakukan Vincent--tidak serta-merta bisa dijerat dakwaan pencucian uang?
Yenti membenarkan. "Dakwaan yang bisa dikenakan baru Pasal 263 soal pemalsuan," ujarnya. "Pada kasus pencucian uang, yang ditransfer harus dirty money atau bukan uang legal. Jadi money laundering adalah kejahatan atas hasil kejahatan."
Penjelasan serupa disampaikan oleh saksi ahli lainnya, pakar hukum pidana Prof Andi Hamzah. Dalam penjelasan tertulis yang dilampirkan penasihat hukum Vincent dalam berkas memori PK, Andi menyatakan, "Pencucian uang merupakan delik dengan double jeopardize."
Artinya, seseorang baru bisa dijerat money laundering jika terbukti melakukan dua delik kejahatan, yaitu delik pokok (predicate crime) dan delik kedua berupa kejahatan lanjutan pencucian uangnya. Karena itu, "Dalam dakwaan harus secara tegas disebutkan delik pokoknya apa."
Sehubungan dengan kasus ini, Irianto menjelaskan, baik berita acara pemeriksaan polisi, dakwaan Jaksa, maupun putusan hakim tidak menyebutkan delik pokoknya apa dan tidak bisa membuktikan bahwa dana US$ 3,1 juta, yang ditransfer Vincent dari perusahaan itu, merupakan uang haram. "Itu kan uang perusahaan tempat Vincent bekerja," katanya. "Jadi ada kekhilafan hakim dalam putusannya."
Andi Hamzah pun berpendapat, yang terjadi pada Vincent belum tindak pidana pencucian uang. "Seharusnya dia didakwa melakukan delik penipuan," ujarnya. "Baru menjadi delik pencucian uang jika dia mentransfer lagi hasil tipuannya itu."
Jaksa Supardi tetap tak sepakat dengan penjelasan Yenti. Menurut dia, Vincent tetap bisa dijerat pasal pencucian uang karena telah melakukan transfer uang atas hasil tindak pidana pemalsuan dokumen transfer.
"Vincent kan telah memalsukan tanda tangan dan membuat perusahaan fiktif untuk menampung uang hasil kejahatan," ujarnya, "Setelah itu, terjadi transfer. Apakah ini bukan money laundering?'
Menjawab itu, Yenti kembali menegaskan bahwa jika itu yang terjadi, dakwaan yang bisa dikenakan baru pasal tentang penipuan. "Uang yang keluar dari perusahaan itu kan uang legal," ujarnya. "Jadi jangan setiap transfer diartikan money laundering."
Setelah mendengarkan keterangan saksi ahli, majelis hakim berjanji akan segera menyimpulkannya. Apa hasilnya? "Sama seperti yang Anda dengarkan dalam persidangan tadi," kata ketua majelis hakim singkat. METTA DHARMASAPUTRA | AMIRULLAH
Sumber: Koran Tempo, 30 Oktober 2009