Kaum Muda dan Korupsi
Korupsi kini telah menjadi masalah lintas negara dan masalah organisasi keagamaan. Jika kita mengamati kampanye antikorupsi yang dilakukan Muhammadiyah dan NU pada Oktober 2004, tentu kampanye antikorupsi yang dilakukan kedua ormas Islam terbesar di negeri ini tersebut mesti disorot dan dievaluasi. Sampai di mana imbauan moral antikorupsi itu bergulir di tengah umat dan bangsa?
Mampukah umat Muhammadiyah menindak tegas kalau isu tersebut menerpa warganya di birokrasi atau menerpa petinggi-petinggi Muhammadiyah? Muhammadiyah yang akan menggelar muktamar ke-45 pada 3-8 Juli di Malang tentu kembali menyerukan imbauan moral untuk berperang melawan korupsi.
Tetapi, sebagai organisasi dakwah Islam terbesar sesudah NU, warga Muhammadiyah yang dianggap sebagai neomodernis itu tentu akan berubah dengan berubahnya lingkungan nasional dan global. Karena itu, jika ada pengurus Muhammadiyah yang terlibat kasus korupsi, seperti petunjuk Nabi Muhammad, andaikata anakku Fatimah yang berbuat salah akan aku tindak secara tegas.
Mampukah Muhammadiyah memberi saran dalam menindak koruptor? Gaji pegawai, guru, dosen, polisi, hakim, dan jaksa eselon satu saja di Indonesia adalah yang terendah dibandingkan Singapura, Malaysia, serta Thailand.
Prof Robert Klitgaard, American Lecturer on Economies at Natal University, South Africa, the author of several books about corruption, menyatakan bahwa korupsi itu ada kelasnya, kelas kakap (big fish) dan kelas teri. Menurut Klitgaard, keberhasilan kampanye terhadap korupsi harus sistematis.
Pertama, yang dilakukan adalah tindak koruptor kelas kakap. Hongkong pada 1973 menindak mantan kepala polisi yang telah pensiun di Inggris. Italia menindak mafia top, politikus penting, dan konglomerat, sehingga menggemparkan negeri itu. Kedua, melakukan reformasi birokrasi. Reformasi birokrasi dilakukan untuk bisa mengukur sasaran organisasi, keberhasilan, serta kegagalannya secara jelas. Ketiga, fokus terhadap pencegahan korupsi di masa depan.
Langkah kedua dan ketiga harus diikuti gaji yang pantas. It is ludicrous! (adalah menggelikan) jika mengajak birokrasi memberantas korupsi sedangkan mereka tidak mendapat gaji pantas.
Keempat, strategi antikorupsi yang jelas. Rakyat dan birokrasi mesti memahami strategi pemerintah dalam pemberantasan korupsi jangka pendek, jangka sedang, dan jangka panjang. Sering pemerintah memberantas korupsi tanpa strategi yang jelas.
***
Selain itu, dalam majalah Unesco Courlier (Juni 1996) yang mengangkat masalah korupsi di dunia diungkapkan, strategi memberantas korupsi berarti pemerintah tidak mungkin membabat semua bentuk korupsi karena birokrasi yang digunakannya juga korup.
Transparansi Internasional (Global Corruption Report 2005, hal 159) saat ini masih meletakkan Indonesia dalam peringkat ke-133 di antara 146 negara terkorup di dunia. Sebanyak 20-30 persen bujet proyek menguap. Malahan, mereka mencatat, dalam penggantian tanah dan pemindahan penduduk, 50-80 persen anggaran menguap.
Bercermin dari situ, menurut saya, untuk memperbaiki moral umat dan bangsa Indonesia sebagai bangsa terkorup di dunia, salah satunya terletak di pundak mubalig Muhammadiyah dan NU. Para mubalig adalah dokter akhlak bangsa.
Peran PP Muhammadiyah bukan hanya deklarasi-deklarasi. Tapi, yang penting adalah implementasi dan memotivasi kejujuran ulama serta birokrasi sebagai teladan. Mari renungkan dalam-dalam pada tiap individu, masyarakat, dan khususnya warga Muhammadiyah, apalagi petinggi PP Muhammadiyah, untuk segera menghisab diri sebelum dihisab pada muktamar ke-45 di Malang.
***
Sudah saatnya kita menganalisis track record seorang pemimpin supaya kita tidak salah pilih. Akhlak adalah ukuran pertama. Kasus skandal moral di negara maju akan menganvaskan calon pemimpin yang mencoba berlaga secara terbuka. Pemimpin ibarat orang yang tinggal di rumah kaca.
Kita melihat, rakyat kian hari makin muak dengan kekacauan serta ingar bingar politik yang membingungkan. Mereka muak (nausea kata Jean Paul Sartre, filosof Prancis) atas suguhan politik yang tidak ada sangkut pautnya dengan kesejahteraan dan ketertiban masyarakat serta bangsa.
Karena itu, umat Muhammadiyah, khususnya kaum muda Muhammadiyah, harus peka dan bergerak lebih cepat dalam merespons persoalan-persoalan yang dihadapi bangsa dan umat. Kesadaran beragama serta kesadaran berbangsa sangat penting ditumbuhkan kembali dalam rangka menciptakan Muhammadiyah yang bersih.
Selain itu, kewibawaan kaum muda Muhammadiyah terletak pada kemampuan memainkan peran pada khitahnya sebagai bagian dari civil society. Kaum muda Muhammadiyah tak boleh mengabaikan problem sosial-politik di sekitarnya.
Latar belakang berdirinya Muhammadiyah tidak bisa lepas dari keprihatinan KH Ahmad Dahlan terhadap kondisi sosial-politik pada masanya. Kolonialisme politik dan kultural mendorong lahirnya perlawanan kultural.
Situasi sosial-politik yang penuh penindasan dan ketidakadilan tersebut, ditambah problem internal umat Islam dan bangsa Indonesia secara umum yang berupa kebodohan serta konservatisme dalam beragama, menjadi latar yang melandasi kiprah Muhammadiyah.
Karena itu, kaum muda Muhammadiyah hendaknya tidak melulu berorientasi pada kekuasaan, melainkan fokus pada persoalan kemanusiaan serta peradaban. Hasrat untuk menyumbangkan kebajikan sosial kepada bangsa bisa dilakukan kaum muda Muhammadiyah melalui gerakan sosial, pendidikan, budaya, dan ekonomi.(Tarmizi Taher, rektor Universitas Islam Azzahra dan mantan menteri agama RI)
Tulisan ini diambil dari Jawa Pos, 17 Juni 2005