Kebanalan Korupsi Dinasti Politik
Hampir tak ada teladan terbaik dalam pengelolaan daerah yang dipimpin oleh mata rantai dinasti politik. Yang nyaris selalu disuguhkan adalah kebanalan korupsi dan pengkhianatan atas mandat kekuasaan. Kasus mutakhir adalah penangkapan Bupati Klaten oleh KPK atas dugaan jual-beli jabatan di lingkungan pemerintah kabupaten.
Karena potensi penyelewengan kekuasaan yang begitu besar karena model hubungan kekerabatan dalam jabatan publik, regulasi yang mengatur soal pengelolaan daerah berdasarkan kekerabatan pun sempat muncul. Tapi itu pun layu sebelum berkembang. Mahkamah Konstitusi membatalkannya atas nama satu hal: hak asasi manusia.
Kasus penangkapan Bupati Klaten itu sekali lagi menegaskan kepada kita akan kebanalan korupsi yang dilakukan penguasa daerah. Praktek semacam inilah yang sesungguhnya memiskinkan rakyat karena sangat terkait dengan seluruh kebijakan publik dan menyangkut hajat hidup orang banyak.
Dari data yang dilansir Indonesia Corruption Watch, pada pemilihan kepala daerah serentak 2017 tercatat ada 12 calon kepala daerah di 11 daerah yang berasal dari dinasti politik. Beberapa daerah tersebut adalah, antara lain, Banten, Gorontalo, Musi Banyuasin, Barito Kuala, Pringsewu Lampung, Kota Batu, Landak Kalbar, Lampung Barat, Kota Cimahi, Kabupaten Mesuji, dan Maluku Tengah.
Studi yang dilakukan Eric Chetwynd dkk, "Corruption and Poverty: A Review of Recent Literature"(2003), menyediakan landasan teori yang kuat soal hubungan korupsi dan kemiskinan. Studi tersebut ingin menunjukkan bahwa korupsi memang tidak bisa langsung menghasilkan kemiskinan. Namun korupsi memiliki dampak langsung terhadap tata kelola pemerintahan dan perekonomian, yang pada akhirnya melahirkan kemiskinan.
Persoalan kemiskinan, pengangguran, dan kesenjangan saat ini masih menjadi masalah utama bangsa ini. Angka kemiskinan yang masih bertengger tinggi, yakni 10,86 persen, jelas tak akan mengalami perubahan signifikan di masa depan ketika kebanalan korupsi oleh pemimpinnya terus saja menggerogoti anggaran-anggaran daerah yang dialokasikan untuk mengentaskan kemiskinan dan mempersempit kesenjangan.
Kebanalan dan kebrutalan korupsi yang dilakukan gurita dinasti politik jelas akan menciptakan distorsi bagi perekonomian, termasuk kerangka kebijakan dan hukum yang mengakibatkan sekelompok masyarakat tertentu memiliki keuntungan yang lebih dibanding kelompok masyarakat yang lain. Karena itu, dalam The Laws, filsuf Plato mengatakan bahwa korupsi tidak hanya memiskinkan rakyat, tapi juga membusukkan peradaban.
Komisi Aparatur Sipil Negara menduga bahwa di hampir 90 persen daerah terjadi jual-beli jabatan. Dalam banyak kasus, hal itu merupakan dampak negatif pemilihan kepala daerah untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkan. Komisi mencatat saat ini ada 441 ribu jabatan pemimpin di republik ini. Itu artinya, bila semua jabatan itu dikenai tarif seperti kasus Klaten, nilainya mencapai Rp 35 triliun.
Ada dua hal yang menjadi pemicu utama potensi korupsi yang dilakukan dinasti politik. Pertama, penguasaan sumber daya dan dampaknya yang dapat melemahkan check and balance dalam pemerintahan, terutama bila dinasti telah mencengkeram eksekutif dan legislatif. Persoalan itulah yang membuat dinasti dekat dengan korupsi ditambah dengan kewenangan mereka untuk mengakses sumber daya ekonomi.
Kedua, pola yang terbangun dalam dinasti politik saat ini membutuhkan dana besar untuk merawat kekuasaan dan jaringan yang menjadi simpul-simpul politik lainnya. Dalam istilah Robert Putnam (1976), inilah yang disebut "aktor bayang-bayang" dalam proses politik di daerah yang mengunci peran pemimpin daerah dan menjadi embrio sumber korupsi.
Setidaknya ada tiga hal yang bisa dilakukan untuk mengatasi masalah ini, yakni regulasi, tata kelola pemerintahan yang baik dan inovatif, serta kepemimpinan daerah yang transformasional. Meski persoalan regulasi saat ini sudah terkunci dengan putusan Mahkamah Konstitusi yang tidak melarang dinasti politik, tapi hal tersebut bukan berarti tak bisa diubah. Ke depan, dengan berbagai argumen yang kokoh dan data yang kuat, saya kira DPR bisa membuat regulasi yang detail soal ini. Langkah lain adalah memberikan pendidikan politik secara terus-menerus kepada rakyat agar selektif dalam memilih pemimpin.
Kedua, prinsip-prinsip dalam good governance (transparan, akuntabel, responsif, partisipatif) dalam tata kelola pemerintahan daerah adalah sesuatu yang tak bisa ditawar. Ketiga, kepemimpinan yang transformatif adalah kunci perubahan radikal dalam tata kelola dan inovasi kebijakan daerah. Pemimpin yang kapabel, jujur, berintegritas, visioner, serta selalu terbuka terhadap hal-hal baru merupakan faktor utama dalam inovasi dan tata kelola daerah.
Achmad Maulani, Kandidat Doktor Sosiologi Ekonomi Universitas Indonesia
--------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Tempo edisi 6 Februari 2017, dengan judul "Kebanalan Korupsi Dinasti Politik".