Kebebasan Informasi; Jangan Paksakan RUU Rahasia Negara
Anjing menggonggong kafilah berlalu. Boleh jadi pepatah tersebut mewakili sikap pemerintah, dalam hal ini Departemen Pertahanan, yang terus berupaya mengegolkan draf Rancangan Undang-Undang Rahasia Negara.
Walau masih menghadapi berbagai kontroversi dan penolakan dari sejumlah elemen masyarakat, draf RUU Rahasia Negara meluncur mulus ke meja Sekretariat Negara sejak 24 Juli lalu.
Bisa jadi, gaung kontroversi dan penolakan tenggelam di antara hiruk-pikuk maraknya isu hangat lain, seperti soal agresi militer Israel ke Lebanon atau skandal penimbunan ratusan senjata dan puluhan ribu butir amunisi di kediaman seorang jenderal TNI Angkatan Darat.
Dalam sebuah diskusi di Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) awal Agustus lalu, Ketua Panitia Antardepartemen RUU Rahasia Negara Prasetyo menjelaskan, Departemen Hukum dan Hak Asasi Manusia sebenarnya sudah mengembalikan revisi draf RUU Rahasia Negara ke Dephan sejak 30 Juni, setelah dinyatakan lolos tahap sinkronisasi.
Itu berarti, tinggal selangkah lagi Departemen Pertahanan dapat melenggang masuk membawa draf RUU Rahasia Negara ke DPR, begitu amanat Presiden berisi persetujuan proses pembahasan draf itu di DPR selesai ditandatangani Presiden.
Dalam perkembangannya, draf RUU Rahasia Negara, yang konsep awalnya digagas oleh Lembaga Sandi Negara (LSN) saat rezim otoriter Orde Baru masih berkuasa, dinilai sejumlah pihak belum banyak mengalami perubahan fundamental.
Secara kuantitatif jumlah pasal dan bab dalam draf RUU berubah-ubah. Namun, secara substansial, poin-poin pokok yang termaktub di dalam draf yang berkembang hingga diserahkan ke Presiden diyakini masih belum banyak berubah.
Padahal sudah tak terbilang banyaknya saran dan masukan, kritik, kajian kritis, sampai bahkan desakan agar pemerintah mengurungkan niat dan menyudahi saja rencana mengajukan draf RUU tersebut ke DPR. Semua masukan tadi terkesan menguap begitu saja.
Dengan begitu, jangan heran jika silang pendapat, keluhan, tuntutan, atau usulan masyarakat, yang kerap muncul, masih itu-itu saja. Misalnya, soal perlu tidaknya UU khusus soal rahasia negara disusun dan pro-kontra keberadaannya dihadapkan dengan RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik (KMIP).
Perdebatan klasik lain yang terus dimunculkan adalah soal tujuh poin ruang lingkup rahasia negara yang dinilai terlalu luas dan multi-interpretasi serta soal siapa berwenang dan sejauh mana kewenangan yang diberikan sehingga seseorang atau satu institusi dapat menentukan suatu hal masuk dalam kategori sangat rahasia, rahasia, atau rahasia instansi.
Gugatan-gugatan lainnya juga secara garis besar bermuara pada adanya kekhawatiran di kalangan masyarakat jika nanti aturan UU tentang rahasia negara itu akan disalahgunakan sehingga menyebabkan Indonesia kembali pada masa ketika rezim otoriter sangat berkuasa.
Dari sejumlah draf RUU Rahasia Negara yang diperoleh Kompas, jumlah pasal dan bab yang ada memang berubah dari waktu ke waktu. Mulai dari 9 bab dan 36 pasal (draf per 21 Oktober 2005), 10 bab dan 48 pasal (draf 24 Februari 2006), 9 bab dan 46 pasal (draf per 7 April 2006), 9 bab dan 46 pasal (draf Mei 2006), sampai 9 bab dan 45 pasal (draf Agustus 2006).
Akan tetapi jika dilihat isinya, selain hanya mengalami pengurangan satu pasal, perubahan yang terjadi dalam dua draf terakhir tidak lebih dari sekadar perubahan redaksional, seperti soal ruang lingkup bidang rahasia negara (Bab II Pasal 4 Butir b draf Agustus 2006) dari yang sebelumnya menggunakan istilah hubungan internasional menjadi hubungan luar negeri.
Perubahan redaksional lain, seperti penggantian istilah kepala instansi menjadi pimpinan instansi (Bab IV Pasal 14 Ayat 2 draf Agustus 2006), pencantuman Panglima TNI dan Kepala Polri sebagai anggota Dewan Rahasia Negara (Bab V Pasal 25 Butir g dan h draf Agustus 2006) dari sebelumnya hanya TNI dan Polri, serta pemakaian istilah penyidik dari sebelumnya polisi (Bab V Pasal 27 Ayat 2 draf Agustus 2006).
Kalaupun ada satu pasal yang berkurang dalam draf RUU Rahasia Negara per Agustus 2006, pasal yang hilang tadi hanya sebatas mengatur hubungan aturan UU lain dengan aturan dalam RUU Rahasia Negara, terutama soal tindak pidana, sanksi, atau ancaman hukumannya.
Mereka yang menolak beranggapan aturan khusus tentang rahasia negara tidak lagi diperlukan mengingat pemerintah dan DPR kini juga tengah membahas draf RUU KMIP, yang di dalamnya dinilai sudah cukup mengatur masalah kerahasiaan.
Kehadiran UU khusus tentang rahasia negara dianggap bertentangan, baik secara formal maupun material, dengan konstitusi, khususnya terkait ideologi yang dianut tentang kebebasan, prinsip negara hukum, dan prinsip hak atas kepastian hukum.
Soal keterbukaan, konstitusi tidak menginginkan adanya rahasia negara walau dalam konteks tertentu penerapannya bisa saja dilakukan. Ideologi yang dibangun dari konstitusi kita adalah