Kebijakan Publik Justru Meminggirkan Publik
Menghadapi kemelut bangsa yang semakin kompleks, pemerintah dinilai belum mampu menghasilkan kebijakan-kebijakan yang bisa membawa bangsa ini keluar dari jurang kehancuran. Bahkan, hingga saat ini kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan oleh negara cenderung dirasakan merugikan kepentingan masyarakat.
Kebijakan publik adalah buah dari kontrak antara pemerintah dan rakyat, di mana rakyat memberikan kepercayaannya kepada pemerintah untuk melakukan pengaturan agar kehidupan masyarakat terjamin.
Sayangnya, kebijakan publik yang dikeluarkan Pemerintah Indonesia selama ini dinilai semakin jauh dari kondisi riil kehidupan masyarakatnya. Dalam jajak pendapat kali ini terungkap, kebijakan-kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah selama ini cenderung merugikan masyarakat, sebagaimana diungkapkan oleh sebagian besar (68,7 persen) responden.
DPR yang diharapkan mengontrol langkah-langkah pemerintah dalam menerapkan kebijakan publik pun dinilai tak menjalankan fungsinya. Kekecewaan publik tergambar jelas dalam jajak pendapat ini (disuarakan oleh 62,9 persen responden), ketika pada akhirnya DPR menyerah kalah dalam voting penentuan penggunaan hak angket untuk mengusut rencana pemerintah mengimpor beras.
Sekalipun impor beras dimaksudkan untuk memperkuat cadangan beras nasional, kebijakan tersebut dinilai tidak berpihak pada petani Indonesia. Pasalnya, beras impor akan menjatuhkan harga beras lokal yang dihasilkan petani dalam negeri. Dengan kebijakan tersebut pemerintah tidak saja kurang kreatif meningkatkan produksi beras dalam negeri, tetapi juga membunuh etos kerja para petani Indonesia. Kebijakan pemerintah ini dirasa tidak memuaskan oleh 66,7 persen responden.
Kekecewaan masyarakat bukan hanya terhadap gagalnya DPR dalam turut menentukan arah kebijakan perberasan. Dalam soal-soal lain pun DPR nyaris tak punya gigi ketika berhadapan dengan kemauan pemerintah. Padahal, beberapa kebijakan publik yang dikeluarkan pemerintah nyata-nyata berdampak bagi masyarakat luas. Persoalan kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM), rencana perluasan wajib pajak, keluarnya ketetapan pemerintah mengenai penggunaan tanah untuk kepentingan umum, dan kenaikan tarif listrik merupakan beberapa contoh kasus yang jelas-jelas berdampak luas namun tidak ditanggapi serius oleh kalangan DPR.
Padahal, selain merugikan masyarakat, output dari kebijakan yang dihasilkan pun cenderung melahirkan persoalan baru yang tidak kalah peliknya. Sebut saja kebijakan pemerintah dalam soal penetapan harga BBM. Sekalipun persoalan BBM ini sudah menjadi masalah yang selalu dihadapi oleh semua pemerintahan yang ada, pengaturan terhadap komoditas vital ini tidak pernah tuntas. Pemerintah dinilai kurang aspiratif ketika menaikkan harga hingga lebih dari 100 persen. Pengabaian kemampuan ekonomi masyarakat secara umum sangat disesalkan. Bahkan, kenaikan harga BBM justru memicu laju inflasi yang tinggi. Dua dari tiga responden jajak pendapat ini pun mengaku tidak puas terhadap penetapan harga BBM.
Kenaikan harga BBM juga ternyata merugikan Perusahaan Listrik Negara (PLN) karena BBM menjadi energi penggerak utama perusahaan negara tersebut. Selain harus menanggung biaya produksi yang terus membengkak, naiknya harga BBM dan tidak adanya penambahan subsidi dari pemerintah membuat perusahaan listrik rugi. Akibatnya, satu-satunya alternatif yang disiapkan pemerintah saat ini untuk menutupi kerugian PLN adalah menaikkan tarif dasar listrik (TDL) yang diperkirakan lebih dari 100 persen.
Terhadap rencana kenaikan TDL ini, hampir semua (91,2 persen) responden menyatakan menolak. Mayoritas (84,5 persen) responden juga tidak puas terhadap kebijakan pemerintah selama ini yang berkaitan dengan harga listrik.
Selain itu, kebijakan tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum pun dinilai masih banyak menyimpan permasalahan. Pengertian kepentingan umum dicurigai akan mudah diselewengkan. Terhadap kebijakan ini, masyarakat sangat berhati-hati menanggapinya. Makna dari kepentingan umum bisa saja berubah sehingga dikhawatirkan justru akan merugikan kepentingan masyarakat banyak. Boleh jadi penerbitan Peraturan Presiden No 36/2005 tentang Pengadaan Tanah bagi Pelaksanaan Pembangunan untuk Kepentingan Umum hanya akan dimanfaatkan oleh pemerintah untuk memperkuat aspek legalitas dari penggusuran rumah-rumah penduduk demi kepentingan kalangan tertentu saja. Karena itu, lebih dari separuh (56,9 persen) responden merasa tak puas atas keluarnya kebijakan pemerintah dalam soal agraria, khususnya yang berkaitan dengan rencana tersebut di atas.
Penyikapan yang sama juga ditunjukkan responden terhadap kebijakan perpajakan. Meskipun disadari kondisi ekonomi negara membutuhkan suntikan dana yang besar, rencana pemerintah menggenjot pajak sebanyak-banyaknya dari masyarakat mendapat respons negatif. Target pemerintah yang menetapkan angka Rp 600 triliun dari hasil pajak pada 2009 dengan memperluas jumlah wajib pajak dari 3,6 juta menjadi 19 juta membuat napas rakyat biasa seakan terhenti. Dalam krisis yang tak kunjung berhenti, kenaikan harga BBM, dan rencana kenaikan TDL, pengenaan pajak kepada masyarakat umum menjadi pukulan tambahan atas beban ekonomi yang sudah menggunung.
Jika kebijakan publik dari pemerintah terus membebani rakyat kecil, harapan dan kepercayaan terhadap pemerintah akan menipis. Saat ini sebagian besar (57,5 persen) responden tidak yakin kebijakan-kebijakan pemerintah yang berkaitan dengan kepentingan publik akan membawa kondisi bangsa ini menjadi lebih baik. (LITBANG KOMPAS-SULTANI)
Sumber: Kompas, 30 januari 2006