Kegagalan Rekrutmen Pejabat Publik Kita
Banyaknya kasus atau skandal beruntun yang melibatkan pejabat publik adalah produk dari kelemahan yang sifatnya berlapis-lapis.
Mulai dari panitia seleksi yang tak fully equipped atau tak dilengkapi tools yang memadai untuk melakukan seleksi, DPR yang tak qualified untuk melakukan rekrutmen, dan daftar calon yang lebih didominasi para pencari kerja atau mereka yang memburu privilese sebagai pejabat publik atau komisioner komisi independen.
Proses seleksi yang berlangsung di ruang politik juga membuat proses rekrutmen yang terjadi sarat kepentingan politik. Dalam kondisi seperti ini, kepentingan kelompok sering menegasikan pertimbangan profesionalisme dan integritas.
Akibatnya, yang terjadi, dalam istilah sosiolog Imam B Prasodjo dan guru besar FISIP UI Eko Prasojo, adalah garbage in, garbage out. Masuk sampah, keluar sampah. Ada figur yang memiliki rekam jejak diragukan bisa terpilih sebagai komisioner Komisi Pemberantasan Korupsi. Bahkan, ada yang sudah dinyatakan sebagai tersangka dalam kasus penyuapan terpilih sebagai komisioner Komisi Pemilihan Umum.
”Tak sedikit anggota DPR yang terlibat dalam perekrutan adalah produk pengaderan yang gagal dari partai politik. DPR yang sekarang bahkan hasil pemilu yang penuh kecacatan. DPR sendiri institusi yang sangat korup. Bagaimana dari rekrutmen institusi seperti ini bisa diharapkan muncul pejabat publik yang independen, profesional, dan berintegritas moral tinggi,” ujar Imam dan Eko secara terpisah.
Ekonom Faisal Basri mengingatkan untuk mewaspadai seleksi dan rekrutmen para calon ketua dan anggota Badan Pemeriksa Keuangan yang tengah berlangsung sekarang ini. Seleksi yang sifatnya terbuka membuat siapa pun bisa mendaftar. Termasuk di sini sejumlah anggota Komisi XI DPR yang masih aktif. Adanya sejumlah anggota DPR yang masuk daftar seleksi membuat rekrutmen ini sama saja dengan DPR memilih DPR. ”Ini sangat berbahaya,” ujarnya. Ada sejumlah nama yang selama ini dinilai memiliki rekam jejak tidak bersih di institusi yang mereka pimpin sebelumnya juga masuk daftar seleksi.
Nuansa mencari pekerjaan juga masih kental, terlihat dari adanya calon yang berusaha masuk setelah ia kalah bertarung dalam perebutan kursi jabatan politik. ”Jangan jadikan BPK pelabuhan setelah pensiun. Kita harus menjaga spirit BPK agar tetap prima, bukan jadi persinggahan mereka yang ibaratnya sudah dalam law of diminishing return,” ujarnya menunjuk adanya sejumlah mantan anggota DPR di keanggotaan BPK, seperti Burhanuddin Aritonang dan Udju Juhaeri, sebagai preseden.
Faisal melihat ada kecenderungan kursi komisi dan lembaga negara sudah menjadi lahan bancakan parpol. Ia mencontohkan kepengurusan Komisi Pengawas Persaingan Usaha yang ada sekarang, di mana komposisi ketua dan anggotanya adalah hasil dari kompromi pembagian jatah antarpartai karena di situ ada wakil Partai Kebangkitan Bangsa, PDI-P, dan Golkar.
Salah satu anggota KPPU, Tajuddin Noer Said, bahkan tergolong pejabat teras Partai Golkar. ”Saya menolak waktu itu, tetapi gagal karena hanya sendirian,” kata Faisal yang pernah menjadi anggota KPPU.
Menurut dia, kode etik harus ditegakkan. Ia mencontohkan, di Jerman, untuk menjadi anggota KPPU, seseorang harus steril dari parpol selama dua tahun. ”Di sini, pimpinan partai yang masih menjabat bisa jadi anggota KPPU,” ujarnya. Bukan hanya pimpinan parpol, pengurus organisasi usaha pun bisa duduk di KPPU. Contohnya, Soy Pardede, salah satu ketua Kamar Dagang dan Industri Indonesia. ”Artinya, Ketua Kadin mengawasi anggota Kadin. Bagaimana KPPU bisa bekerja dengan baik?” ujarnya.
Untuk meminimalisasi hal yang tak diinginkan, panitia seleksi harus diperkuat. Demikian pula mekanisme seleksi sehingga yang diserahkan panitia seleksi kepada DPR benar-benar yang terbaik. ”Persoalannya, orang-orang terbaik di masyarakat juga malas mendaftar jadi anggota komisi independen, antara lain karena gaji kecil. Banyak yang memilih bertahan di kampus,” kata Faisal.
Kebobrokan sistem
Kendati sistem rekrutmen berperan besar dalam kegagalan menjaring pejabat publik berkualitas dan berintegritas moral tinggi, Eko dan Imam sependapat, kesalahan tak bisa sepenuhnya ditimpakan pada proses rekrutmen di DPR. Imam menggambarkan situasi sekarang ini seperti ”maju kena mundur kena”.
Kualifikasi yang dituntut dari para calon pejabat publik adalah memiliki pengalaman, berkompetensi, mempunyai rekam jejak baik, berintegritas, dan independen. Khusus KPK, idealnya calon tidak berasal dari kepolisian atau kejaksaan karena kedua institusi ini telanjur lekat dengan predikat korup. KPK dibentuk juga karena sudah tidak adanya kepercayaan masyarakat kepada institusi-institusi penegak hukum tersebut.
Namun, dalam jaringan birokrasi yang korupsinya sudah sistemik, hampir tidak mungkin ditemukan figur berpengalaman yang bebas dari korupsi, sementara orang baru umumnya belum berpengalaman. Kalaupun calon yang terjaring bersih, dia akan berhadapan dengan lingkungan sistem yang korupsinya sudah sangat kronis.
”Karena sudah sistemik, satu subsistem memengaruhi subsistem lain. DPR yang korup, lembaga peradilan dan institusi penegak hukum yang korup, akan memaksa lembaga atau sosok yang bersih jadi korup juga. Seberapa kuat komisi-komisi independen bisa tetap bersih, bergantung seberapa kuat kita merekayasa agar subsistem yang lain juga bersih,” ujar Eko.
Budaya masyarakat yang permisif atau cenderung membiarkan orang melakukan kesalahan tanpa sanksi sosial ikut menyuburkan budaya korupsi. Demikian pula budaya feodalisme dan patronisme. Bahkan, sistemnya sendiri melegitimasi.
”Belum tumbuh budaya hukum. Orang hanya takut kepada penegak hukum dan bukan kepada hukumnya sendiri. Mereka berpikir, selama tidak tertangkap penegak hukum, tidak masalah. Kalau ketangkap, ya memang lagi sial saja. Jadi, ini bukan semata-mata persoalan rekrutmen, tetapi ada persoalan budaya, di mana sistem administrasi hidup dan komisi-komisi itu berinteraksi dengan organ- organ negara lain, seperti DPR, pemerintah, dan organ yudisial yang korup,” ujarnya.
Oleh karena itu, diperlukan reformasi radikal sistem keadministrasian negara, dengan membenahi sistem struktural dan kultural yang sudah sangat korup. Reformasi budaya menyangkut perubahan paradigma budaya kerja, mindset dan perilaku dari penyelenggara negara, baik di legislatif maupun eksekutif, dari budaya aji mumpung dan menguasai, menjadi melayani. Reformasi yang sudah dilakukan sejauh ini praktis baru sebatas memperbaiki sistem politik untuk bekerjanya parpol dan pemilu. Demikian pula reformasi birokrasi belum menyentuh persoalan hakiki, baru sebatas perbaikan gaji (remunerasi). (sri hartati samhadi)
Sumber: Kompas, Jumat, 8 Mei 2009 | 02:58 WIB
{mospagebreak title=Perekrutan Buruk, Pejabat Memble}
SELEKSI PEJABAT
Perekrutan Buruk, Pejabat Memble
Pejabat publik, juga wakil rakyat, yang mestinya menjadi pengayom masyarakat dan penegak hukum itu telah menjelma sebagai pelanggar hukum nomor wahid di negeri ini. Sebagian sudah dijebloskan ke penjara, lainnya dalam proses hukum.
Masih hangat di ingatan masyarakat ketika sejumlah petinggi Komisi Pemilihan Umum, termasuk ketuanya, ditangkap karena kasus korupsi dan penyuapan. Lembaga yang membidani Pemilu 2004 itu pun tercoreng.
Kasus itu mencuatkan institusi Komisi Pemberantasan Korupsi, sebagai lembaga baru yang membawa harapan di tengah mandulnya penegak hukum konvensional—kepolisian dan kejaksaan—dalam mengusut tuntas kasus-kasus korupsi.
Sejak itu KPK makin bersinar. Sejumlah kasus korupsi dibongkar, walaupun belum tuntas benar. Kasus anyar dan populer adalah drama penangkapan jaksa Urip Tri Gunawan dan penangkapan sejumlah anggota DPR dan pejabat tinggi, baik pusat maupun daerah. Indeks prestasi pemberantasan korupsi Indonesia di tingkat dunia mulai membaik.
Namun, saat berjuang memberangus korupsi, Ketua KPK Antasari Azhar terjerembap ke lubang lain. Mantan jaksa ini menjadi tersangka pembunuhan Nasrudin Zulkarnaen, Direktur PT Rajawali Putra Banjaran.
Masalah yang kini membelit Antasari memang di luar koridor tugas KPK dan proses hukumnya masih berjalan. Tetapi, masalah ini mencuatkan pertanyaan: apa yang terjadi dengan para penyelenggara negara ini sehingga seolah tak ada lagi yang bebas dari tindakan tercela dan layak mendapat rasa hormat dari rakyat?
Kesalahan perekrutan
Suatu hari di bulan September 2007, empat wartawan terkejut ketika disodori segepok uang dengan pecahan 100 dollar AS oleh calon pimpinan KPK, Antasari Azhar. Antasari menyebut, uang tersebut adalah uang transpor.
Para wartawan ini terkejut dan kesal karena calon pimpinan KPK, yang seharusnya memberantas korupsi, justru mencoba ”menyuap”. Antasari seolah-olah mengolok-olok etika dan kepatutan jurnalistik.
Para wartawan itu, salah satunya Karaniya Dharmasaputra kemudian melaporkan tindakan Antasari kepada Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Mereka menelepon Mas Achmad Santosa, salah seorang anggota panitia seleksi.
Mas Achmad Santosa pun berjanji akan mempertemukan mereka dengan panitia seleksi. Belakangan, hanya tiga anggota panitia seleksi, yaitu Mas Achmad Santosa, Komaruddin Hidayat, dan Frans Alexander Wospakrik, yang merespons. Mereka menemui para wartawan beberapa jam sebelum menyampaikan 10 nama calon pimpinan KPK yang sudah diseleksi kepada Presiden. Nama Antasari tetap lolos.
Tak puas dengan tanggapan Panitia Seleksi KPK, Karaniya dan kawan-kawan melaporkan tindakan Antasari ke Jaksa Agung Muda Pengawasan (Jamwas). Hasilnya tetap sama. Tindakan Antasari yang mencoba memberi uang kepada wartawan yang mewawancarainya tidak ditindaklanjuti.
Karaniya Dharmasaputra, saat dimintai tanggapan terkait dengan penahanan Antasari Azhar yang diduga terlibat kasus pembunuhan ini, menyatakan, ”Yang paling bertanggung jawab atas tercorengnya nama KPK adalah Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK periode 2008-2011.”
Sejak awal terbentuknya panitia seleksi, sudah banyak kritik dilontarkan terhadap komposisi panitia seleksi, terlebih dengan dipimpin oleh seorang menteri. Berdasarkan pengamatan Kompas, selama proses seleksi, nama-nama besar yang menjadi panitia seleksi jarang sekali datang menghadiri rapat. Mereka baru serius mengikuti rapat menjelang akhir proses seleksi. Akibatnya, nama-nama kontroversial yang masuk dalam daftar tidak bisa dicermati secara baik dari awal proses seleksi.
Terlebih lagi, panitia seleksi dalam konferensi pers pada 4 Juli 2007 mengungkapkan, kontroversi dalam masyarakat yang menyertai seorang calon tidak menjadi pertimbangan Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK. Panitia seleksi lebih mengandalkan melihat calon secara komprehensif, mulai dari kepribadian, pengetahuan, hingga wawasan yang dimiliki. Meskipun banyak laporan masyarakat yang masuk seputar rekam jejak para calon, panitia seleksi tidak menggubris.
Berdasarkan catatan Kompas, hasil rekam jejak terhadap Antasari Azhar yang dilaporkan sejumlah LSM beragam, seperti keterlambatan dalam penanganan perkara eksekusi terpidana kasus Tommy Soeharto, anggota DPRD Sumatera Barat, dan pemeriksaan Bupati Kepulauan Riau Huzrin Hood.
Putusan bebas murni terhadap Bupati Lonowe Lukman Abunawas juga diduga disebabkan unsur kejaksaan yang tak pernah mengajukan bukti dan temuannya di persidangan. Menurut laporan LSM kepada panitia seleksi, sebelum diputuskan bebas murni, Lukman Abunawas memberikan uang sebesar Rp 3 miliar kepada Antasari Azhar di Bangka Belitung.
Begitu pun informasi yang diterima LSM tentang dugaan adanya pemberian uang Rp 5 miliar dari Bupati Muna Ridwan Bae kepada Antasari, juga masuk dalam berkas laporan. Akan tetapi, semua laporan tersebut tidak dipertimbangkan oleh Panitia Seleksi Calon Pimpinan KPK.
Wakil Koordinator Indonesian Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, Antasari adalah salah satu calon pimpinan KPK yang paling kontroversial.
”Secara resmi kami sudah menyurati panitia seleksi agar mencoret Antasari Azhar sebagai calon pimpinan KPK. Jejak rekam dia banyak cacat,” kata Adnan.
Namun, panitia seleksi abai. Mereka juga tidak mendengarkan kritik masyarakat terkait adanya kebijakan mereka memberikan kuota bagi penegak hukum, baik jaksa maupun polisi, untuk menjadi calon pimpinan KPK. Jadi, meskipun para calon yang ada tidak cukup baik dan berintegritas, tetapi dengan adanya kebijakan kuota ini maka para calon dari jaksa dan polisi berpeluang terpilih menjadi pimpinan KPK.
Mas Achmad Santosa mengakui, Antasari termasuk calon yang jejak rekamnya mendapat sorotan saat proses seleksi. ”Seleksi pejabat publik memang memiliki banyak kelemahan. Tak hanya di KPK, tapi juga terjadi di KPU, Komisi Yudisial, Komisi Kejaksaan, Komisi Kepolisian. Banyak orang yang berkualitas tidak terjaring, tetapi yang punya banyak kelemahan yang akhirnya lolos. Kami dihadapkan pada minimnya pilihan,” kata Achmad, yang menjadi anggota panitia seleksi untuk sejumlah lembaga negara ini.
Lebih dari itu, menurut Achmad, yang lebih mengkhawatirkan adalah seleksi di DPR. ”Saya termasuk yang terkejut, ketika kemudian Antasari yang terpilih menjadi ketua KPK,” ujarnya.
Mengenai rekam jejak Antasari Azhar, Muhammad Assegaf selaku kuasa hukum Antasari mengatakan, sebelum menjabat sebagai Ketua KPK soal rekam jejak kliennya sudah banyak diulas sewaktu proses uji kelayakan dan kepatutan calon pimpinan KPK. Baik oleh sejumlah LSM dan media massa.
”Saya sudah kenal Antasari saat sebagai jaksa, tapi saya tidak tahu track record Antasari sebelum menjabat sebagai Ketua KPK. Saya baru membaca rekam jejak Antasari yang diungkap LSM dan media massa,” ujar Assegaf.
Seleksi di DPR
Proses uji kepatutan dan kelayakan terhadap calon pejabat publik di DPR memang tidak bisa dilepaskan dari kepentingan fraksi-fraksi politik. ”Seperti politik dagang sapi,” kata Adnan.
Jauh-jauh hari sebelum Komisi III DPR memilih lima calon pimpinan KPK, fraksi-fraksi di DPR ternyata sudah gencar melakukan lobi di antara para pimpinan fraksi. (Kompas, 29 November 2007).
Diduga, dari pertemuan informal di Hotel Four Seasons Jakarta, 27 November 2007 malam, lima nama akan didorong untuk diloloskan. Mereka adalah Antasari Azhar (kejaksaan), Bibit Samad Rianto (kepolisian), Haryono Umar (BPKP), Chandra M Hamzah (pengacara), sedangkan dari pegawai KPK Mochammad Jasin. Ada juga yang menyebut Waluyo (pegawai KPK juga).
Hasil voting para fraksi di Komisi III sama dengan hasil lobi informal di Hotel Four Seasons ini sehingga lima nama yang terpilih adalah Antasari Azhar, Bibit Samad Rianto, Haryono Umar, Chandra M Hamzah, dan Mochammad Jasin.
Berdasarkan pengamatan Kompas selama proses uji kelayakan dan kepatutan di Komisi III, pertanyaan yang diajukan para anggota DPR kepada Antasari sangat minim, hanya seputar visi dan misinya jika kelak ia menjabat sebagai pimpinan KPK. Dan, pertanyaan-pertanyaan itu bisa dijawab dengan lancar oleh Antasari. Bahkan, saat Antasari mengatakan, ia siap pasang badan jika untuk kasus apa pun agar KPK tidak menjadi alat untuk menzalimi seseorang, dia disambut tepuk tangan meriah anggota Komisi III DPR.
Hal ini berbeda sekali saat para anggota Komisi III DPR mencecar Amin Sunaryadi, Wakil Ketua KPK periode 2004-2007, yang kembali mencalonkan diri. Bahkan, informasi Kompas dari salah seorang anggota Komisi III yang diperoleh sebelum voting dilakukan menyebutkan, Komisi III DPR khawatir kalau memilih Amien Sunaryadi karena KPK nanti akan seperti KPK jilid I yang sulit dikendalikan.
Namun, Wakil Ketua Komisi III DPR Aziz Syamsuddin membantah hal ini. Dia mengatakan, kasus yang menimpa Antasari saat ini harus dilepaskan dari proses seleksi pemilihan pimpinan KPK tahun 2007.
”Antasari terjerat kasus di luar tugas dia sebagai pimpinan KPK. Jangan karena Antasari ditangkap, kemudian kesalahan ditimpakan pada proses seleksi. Kita sudah lakukan seleksi dengan benar dan sesuai tata tertib dan undang-undang,” kata dia.
Aziz juga menampik adanya lobi-lobi politik yang bertujuan untuk memenangkan Antasari dalam pemilihan ketua KPK, tahun 2007. Aziz justru menyebutkan, yang diperlukan ke depan bukan pembenahan proses seleksi pejabat publik, tetapi pengawasan terhadap kinerja mereka, termasuk KPK.
Namun, Achmad Santosa menyarankan agar proses seleksi calon pimpinan KPK tidak melalui proses di DPR, sebab DPR masih menjadi sumber korupsi di Indonesia. Akibatnya, jika proses seleksi calon pimpinan KPK berada di DPR akan ada konflik kepentingan yang sangat besar.
”Banyak calon yang berkualitas alergi dengan proses seleksi di DPR. Akhirnya yang maju orang yang mau melakukan lobi-lobi politik. Ini seperti menyaring dengan alat penyaring yang rusak. DPR sarang koruptor, bagaimana bisa diharapkan bisa memilih orang yang tepat untuk memberantas korupsi?” kata Adnan.
Achmad juga menyarankan agar proses seleksi pejabat publik dilakukan dengan jemput bola. ”Kita undang orang-orang yang berkualitas dan punya integritas. Panitia seleksi juga harus steril dari kepentingan politik. Jangan lagi pakai menteri atau dirjen,” ujarnya.
Achmad dan Karaniya mencontohkan, pemilihan anggota organisasi pemberantas korupsi, ICAC semacam KPK di Hongkong yang dijauhkan dari DPR. Mereka diangkat oleh Gubernur Jenderal. Hal ini bertujuan agar ICAC jangan dipolitisasi oleh kepentingan-kepentingan politik DPR. Untuk mengawasi ICAC, dibentuk Dewan Pengawas ICAC yang berasal dari unsur-unsur masyarakat bahkan Dewan Pengawas ini bisa memberhentikan KPK.
Masalahnya, seriuskah kita hendak memperbaiki bangsa ini? (VIN/AIK)
Sumber: Kompas,Jumat, 8 Mei 2009 | 03:58 WIB
{mospagebreak title=Apatisme terhadap Perekrutan Sang Pejabat}
Apatisme terhadap Perekrutan Sang Pejabat
Oleh SUWARDIMAN
Perekrutan dan seleksi pejabat negara yang kerap melalui prosedur yang demikian panjang dan ketat, serta memakan biaya yang tidak sedikit, terbukti tidak selalu berhasil menghasilkan figur terbaik. Perekrutan pejabat publik, terutama komisi negara, dikhawatirkan lebih banyak dimanfaatkan oleh kekuatan politik tertentu untuk melanggengkan kekuasaannya.
Salah satu indikasi kegagalan adalah banyaknya pejabat negara terpilih yang terbelit skandal hukum. Tidak hanya itu, sejumlah pejabat komisi hasil seleksi ketat itu dianggap tidak mampu menunjukkan kapabilitasnya mengelola dengan baik lembaga yang dipimpinnya. Padahal, perekrutan yang panjang itu tujuannya tidak hanya memindai secara ketat sisi kecakapan calon pemimpin lembaga negara, melainkan integritas moral mereka.
Publik pun meragukan kapasitas dan kapabilitas pejabat publik yang dipilih lewat prosedur lembaga perwakilan rakyat. Hasil jajak pendapat Kompas terhadap 768 responden di sepuluh kota besar di Indonesia menyimpulkan, mayoritas (58,6 persen) responden tidak yakin dengan kualitas dan kemampuan pejabat publik yang dipilih lewat pintu DPR.
Sebanyak 71,9 persen beranggapan bahwa proses seleksi pejabat publik yang dilakukan DPR cenderung lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis. Perekrutan ini dinilai cenderung mengabaikan aspek-aspek obyektif terhadap para calon pejabat publik yang telah melalui proses seleksi yang ketat.
Kasus pembunuhan Direktur PT Rajawali Putra Banjaran Nasarudin, yang melibatkan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Antasari Azhar, kembali memicu sinisme publik soal integritas pejabat yang telah dipilih lewat proses ketat.
Sinisme terhadap proses seleksi pimpinan lembaga/komisi negara sebelumnya juga sempat mencuat ketika komisioner Komisi Yudisial (KY), Irawady Joenoes, ditangkap KPK (26/9/2007).
Irawady tertangkap tangan menerima uang dari rekanan KY dalam pengadaan tanah. Ia didapati penyidik KPK menerima uang Rp 600 juta dan 30.000 dollar AS dari Direktur PT Persada Sembada Freddy Santoso. Dalam kasus ini, MA mengganjar Irawady delapan tahun penjara dan denda Rp 400 juta.
Bukti lain dari gagalnya proses seleksi pejabat publik adalah lolosnya calon anggota KPU, Syamsulbahri, yang ketika itu berstatus tersangka dalam kasus dugaan korupsi proyek Kawasan Industri Masyarakat Perkebunan di Kabupaten Malang, Jawa Timur. Seleksi yang berlangsung Oktober 2007 itu, seperti dalam proses seleksi komisi lainnya, alot dan penuh dengan tarik ulur dukungan terhadap kandidat yang dijagokan setiap fraksi (partai politik).
Pemilihan kandidat yang alot itu tidak meniscayakan hasil yang terbaik. Sorotan miring terhadap perekrutan pejabat publik makin meluas ketika anggota KPU periode 2007-2012 dianggap tidak mampu menyelenggarakan pemilu legislatif dengan baik. KPU dianggap kedodoran di hampir setiap tahapan penyelenggaraan pemilu lalu. Berbagai persoalan yang menghadang penyelenggaraan pemilu legislatif bulan lalu berujung pada keraguan, apakah memang terjadi kecurangan yang dilakukan secara sistematis ataukah karena ketidakmampuan para anggota KPU menyelenggarakan pemilu.
Lewat pintu DPR
Upaya membenahi sistem perekrutan pejabat publik dituangkan lewat mekanisme yang makin panjang. Bandingkan saja proses seleksi anggota KPU dua periode terakhir. Proses pemilihan anggota KPU periode 2001- 2006 lebih sederhana dibandingkan perekrutan anggota KPU periode sekarang. Pemerintah mengusulkan 22 nama kepada DPR. Selanjutnya DPR melakukan uji kelayakan dan kepatutan melalui Komisi II selama tiga hari. Akhirnya Komisi II DPR memilih 11 anggota KPU.
Sebaliknya, perekrutan KPU periode 2007-2012 lebih panjang. Presiden menuntut lima anggota tim seleksi KPU bergelar doktor. Tim seleksi ini berhasil menjaring 45 calon setelah melalui tes tertulis yang meliputi tes intelegensia (IQ), kepribadian, kesetiaan kepada Pancasila dan UUD 1945, serta tes kesehatan mental dan rekam jejak. Selanjutnya dilakukan tes individual, kelompok, dan diskusi. Hasil tes ini menjaring 21 calon anggota KPU. Uji kelayakan dan kepatutan oleh Komisi II DPR untuk memilih 7 anggota KPU.
Tarikan kepentingan yang terjadi pada perekrutan yang dilakukan melalui uji kelayakan dan kepatutan oleh DPR diyakini sejumlah kalangan kian memperkeruh perekrutan. Model pengambilan keputusan yang diartikulasikan lewat banyaknya jumlah dukungan terhadap calon-calon tertentu lebih mendominasi perekrutan ini. Model seperti ini jelas lebih kuat dilatarbelakangi pertimbangan-pertimbangan politis ketimbang pertimbangan atas aspek kualitas dan kapabilitas.
Identifikasi masalah perekrutan pejabat publik, seperti yang dilakukan oleh sejumlah LSM yang tergabung dalam Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) pada akhir tahun 2007, misalnya, menyimpulkan sejumlah kegagalan perekrutan pejabat publik. Hal itu di antaranya karena DPR cenderung mengabaikan informasi yang disampaikan masyarakat melalui berbagai saluran LSM tentang figur calon pejabat publik. Persoalan lainnya adalah tidak ada mekanisme yang jelas dalam proses verifikasi informasi dan data yang diterima terkait calon pejabat publik yang telah diusulkan.
Gugatannya kemudian adalah soal relevansi DPR sebagai lembaga politik yang diberi kewenangan menjadi ”pintu terakhir” dalam perekrutan pejabat publik. Gugatan ini berlandaskan pada problematika DPR sebagai lembaga politik, yang nyaris mustahil melakukan perekrutan di DPR tanpa melibatkan kepentingan politik mereka.
Sejumlah gagasan kemudian mengerucut pada wacana untuk mengembalikan sistem perekrutan pejabat publik kepada kewenangan penuh presiden. Dengan sistem ini, DPR hanya menjalankan fungsinya sebatas mengawasi perekrutan ini.
Prosedur ketat yang selama ini dilakukan untuk menjaring pejabat publik menghabiskan uang negara yang tidak sedikit. Proses seleksi untuk tujuh anggota KYl, misalnya, membutuhkan anggaran Rp 3,6 miliar. Adapun proses seleksi untuk memilih lima anggota KPK, yang dilakukan dalam dua tahap, masing-masing dianggarkan Rp 4,7 miliar untuk seleksi tahap pertama dan Rp 2,9 miliar untuk seleksi tahap kedua.
Sementara itu, tujuh anggota KPU terpilih setelah melalui proses seleksi dengan anggaran Rp 2,4 miliar. Proses seleksi pejabat publik dengan anggaran terendah adalah proses seleksi anggota Komnas HAM yang menghabiskan anggaran Rp 400 juta dan seleksi anggota Komisi Penyiaran Indonesia dengan anggaran Rp 200 juta.
Kegamangan publik tampak dalam hasil jajak pendapat Kompas. Lebih dari separuh responden (56,5 persen) ragu DPR mampu menjalankan tugas menyeleksi dan merekrut pejabat publik. Meski demikian, sebanyak 41,5 persen responden lainnya masih menaruh keyakinan DPR dapat menjalankan fungsi rekrutmen itu.
Mencari sosok pejabat publik yang ideal tidaklah mudah. Figur yang memiliki kemampuan intelektual dan keahlian di bidang lembaga yang akan dipimpinnya belum cukup untuk memenuhi syarat ideal menduduki posisi strategis.
Tuntutannya lebih dari itu, sosok yang memiliki integritas, kejujuran, dan bebas dari kepentingan politiklah yang dicari. Sayangnya, lembaga-lembaga yang menjadi ujung tombak dalam perekrutan pejabat publik ini pun jarang yang bebas dari kepentingan politik. Lalu, bagaimana menghasilkan figur pejabat publik yang ideal? (Suwardiman Litbang ”KOMPAS” )
Sumber: Kompas, Jumat, 8 Mei 2009 | 02:57 WIB
{mospagebreak title=Alam Pikir Feodal dan Sikap Permisif}
PERILAKU KORUPTIF
Alam Pikir Feodal dan Sikap Permisif
Dalam novel Imperium-nya Robert Harris, sosok pejabat korup macam Gaius Verres tak berkutik di hadapan Cicero. Lewat metafora yang sangat terkenal bahwa ”ikan membusuk mulai dari kepala...”, orator ulung dari Romawi ini bukan saja membuat Verres dan antek-anteknya tak berdaya, tetapi yang lebih penting adalah bangkitnya moralitas publik.
Ada banyak pelajaran yang bisa disimak dari sepenggal kisah perjuangan Marcus Tullius Cicero (106-43 SM) melawan korupsi serta pelanggaran moral dan etika kekuasaan menjelang runtuhnya Republik Romawi pada awal abad pertama Masehi. Meski ruang dan waktu yang membentang begitu panjang, lebih dari 20 abad (baca: 2.000 tahun!), ternyata struktur perilaku koruptif dan penyimpangan moralitas kekuasaan di pemerintahan masih tetap bertahan hingga hari ini. Tak terkecuali di Indonesia.
Bagi F Budi Hardiman, dosen filsafat di pascasarjana Sekolah Tinggi Filsafat (STF) Driyarkara dan Universitas Indonesia (UI), kisah Cicero menyadarkan kita bahwa publik tidak boleh tinggal diam. Sebab, dalam sistem politik yang korup, korupsi—juga soal integritas dan moralitas pejabat publik—adalah ”agenda harian” yang tidak pernah mereka sadari sebagai kejahatan. Dalam kaitan ini, keberanian moral untuk melakukan semacam intervensi politis—taruhlah seperti lewat kepiawaian retorika model Cicero dengan berbagai salurannya—menjadi sesuatu yang perlu dipertimbangkan sebagai alat perjuangan.
Dalam lembar majalah kebudayaan Basis (edisi November- Desember 2008), Budi Hardiman bahkan melihat anatomi kejahatan Verres yang dibeberkan Cicero di pengadilan Republik Romawi memiliki kesejajaran dengan wajah kejahatan para pejabat korup di republik ini: Indonesia!
Diceritakan bahwa Gaius Verres tak hanya merampok koleksi seni Sthenius, rakyatnya sendiri. Guna menghilangkan jejak kejahatannya, Verres bahkan mengadili dan menghukum sang pemilik koleksi yang ia rampok. Pejabat tinggi ini juga menerima sogok dari preman-preman. Ketika Cicero berhasil membawa kasus ini ke pengadilan, Verres menyogok para penegak hukum dan petugas peradilan.
Menurut Budi Hardiman, tidak perlu kata-kata eksplisit khusus untuk menjelaskan bahwa hal serupa terjadi di Indonesia. Cukup nama Verres diganti dengan nama pejabat yang terbukti korup, lalu kasus-kasus mereka dispesifikkan: entah soal impor sapi fiktif, kasus BLBI, penggelembungan dana bencana (juga model penggelembungan hasil suara dan skandal kasus daftar pemilih tetap alias DPT pemilu), atau apa pun yang telah dan masih mungkin terjadi.
”Kasus Verres yang dibeberkan Cicero menyediakan sebuah ’matriks’ yang pas untuk memahami anatomi kejahatan korupsi pejabat di negeri ini,” tutur Budi Hardiman.
Didorong sikap permisif
Kalau dalam beberapa tahun terakhir—juga hari ini—kita seperti disuguhi tontonan terhadap pelanggaran moral dan etika kekuasaan yang begitu vulgar, yang bisa membuat perut jadi mual, boleh jadi itulah tipikal dari watak kekuasaan yang sesungguhnya ada di negeri ini. Alih-alih memaknai jabatan sebagai perwujudan dari tanggung jawab, dan kedudukan sebagai risiko, yang terjadi justru pertama-tama kekuasaan diterjemahkan sebagai kesempatan mendapatkan fasilitas dan berbagai kemudahan.
Ironisnya, persepsi yang keliru tentang kekuasaan ini begitu tumbuh subur di masyarakat kita. Padahal, seperti diingatkan oleh budayawan-sosiolog Ignas Kleden, kedudukan dan jabatan itu sesungguhnya bukanlah anugerah yang pantas dirayakan. Jabatan adalah suatu tanggung jawab dengan sederet implikasi yang sudah menunggu.
”Mestinya, seseorang yang diberi kedudukan dan jabatan, pertama-tama ia harus menghadapinya sebagai suatu risiko. Ini yang tidak disadari bahwa kekuasaan itu semacam racun yang harus ada justru untuk mengobati sakit. Begitulah analoginya. Sebab itu, ia (kedudukan dan jabatan) merupakan suatu risiko, bukan semacam gula-gula yang serba manis,” tutur Ignas Kleden.
Ungkapan bahwa kedudukan dan jabatan sebagai suatu amanah, yang kerap dikemukakan saat seseorang ditunjuk untuk mendudukinya, juga hanya sebatas slogan tanpa pemahaman yang benar tentang konsekuensi-konsekuensinya. Belum muncul kesadaran bahwa apa yang disebut sebagai amanah sesungguhnya penuh dengan ”tabu- tabu” yang tidak boleh dilakukan dalam kekuasaan.
Di sini kata kuncinya adalah pembatasan! Mengapa? Ignas Kleden mengingatkan ada dua hal yang harus menjadi catatan. Pertama, kekuasaan cenderung memperbesar diri dan tidak pernah membatasi diri. Kedua, kekuasaan cenderung selalu membenarkan diri dan tidak tidak pernah mau disalahkan.
Menyikapi watak dasar kekuasaan yang demikian, mestinya kekuasaan dilaksanakan secara terbatas. Kekuasaan juga harus selalu dikontrol dan dikritik. Mengingat watak dasar kekuasaan cenderung memperbesar diri dan selalu membenarkan diri, maka harus ada rambu-rambu berupa kontrol diri dan kontrol sosial.
Dalam konteks kekuasaan, kontrol diri dan kontrol sosial menjadi penting bagi para pejabat yang memiliki kesempatan menyelewengkan kekuasaan yang ada pada dirinya. Meski harus disadari bahwa terlalu berlebihan bila masyarakat berharap adanya pemimpin panutan, yang punya kapasitas moral di atas rata-rata, namun setidaknya seseorang yang memiliki kekuasaan harus meningkatkan kontrol atas dirinya sendiri.
”Dalam konsep demokrasi dan kepemimpinan, seorang pemimpin sama dengan orang kebanyakan. Kita hanya bisa berharap dia orang saleh, tapi dia sesungguhnya tidak memiliki kelebihan kapasitas secara moral. Namun, yang perlu dituntut dari dirinya—mengingat dia punya kekuasaan—dia harus bisa mengekang diri sendiri lebih besar daripada orang kebanyakan,” kata Ignas Kleden.
Tuntutan ini bisa dipahami, mengingat sebagai penguasa ia memiliki kesempatan untuk menyeleweng. Di sinilah pentingnya menciptakan semacam mekanisme kontrol yang lebih keras atas diri sendiri bagi seorang pejabat publik.
”Kalau yang bersangkutan tidak bisa mengontrol dirinya agar tidak menyeleweng, maka dia harus dikontrol secara sosial. Lewat mekanisme kontrol sosial, dia dipaksa selalu berjalan dalam koridor moral tersebut,” jelas Ignas Kleden.
Celakanya, bukan kontrol sosial yang berkembang di negeri ini. Justru alam pikir feodal yang masih dominan. Peningkatan status seseorang diposisikan dengan sendirinya membawa peningkatan kekayaan, kesejahteraan, dan lain sebagainya. Seolah-olah pengembangan kekuasaan selalu berakibat peningkatan kekayaan. Kemakmuran seakan-akan hanya akibat dari peningkatan status.
”Sementara itu, tidak pernah dipertanyakan bagaimana itu (peningkatan kekayaan dan kesejahteraan) bisa terjadi. Ini kan tidak benar,” katanya.
Tanpa disadari, masyarakat kita yang masih berada dalam alam pikiran feodal ini punya peran besar dalam menyebarluasnya kelakuan-kelakuan yang korup. Bahkan, tak jarang masyarakat kagum bila ada pejabat, termasuk di tingkat rendah sekalipun, di lingkungannya bisa menyumbang ini dan itu. Padahal, mereka tahu gaji seseorang sebagai pejabat sebetulnya tidak mampu untuk memberikan berbagai sumbangan semacam itu. Tidak ada kecenderungan untuk mempertanyakan dari mana asal-usul uang sumbangannya.
”Dengan kata lain, sikap permisif masyarakat jugalah yang ikut membuat korupsi berkembang. Alhasil, orang tidak takut korupsi karena masyarakat hanya melihat hasilnya. Masyarakat tidak mempertanyakan bagaimana mungkin seseorang menjadi kaya karena suatu jabatan,” ujar Ignas Kleden.
Jadi, sebetulnya masyarakat menciptakan semacam impunity terhadap perilaku korup di kalangan pejabat…. (ken)
Sumber: Kompas, 8 Mei 2009