Keharusan Akuntabilitas Dana Kampanye
Berdasar temuan Lembaga Survey Indonesia (LSI), naik turunnya partai tidak an sich dipengaruhi modal dana yang dimiliki parpol. Tapi, lebih dari itu, kinerja dan citra publik parpol di mata masyarakatlah yang akan lebih menentukan partisipasi pilihan masyarakat atas parpol tersebut. Di satu sisi, masyarakat sudah semakin mengerti tentang literasi politik. Di sisi lain, masyarakat sudah jenuh dengan keuntungan sesaat, tapi berefek panjang karena ketiadaan pendidikan politik dalam pemilu.
Meski demikian, parpol mana pun pasti ingin mendapatkan pendulum suara sebanyak mungkin dalam pemilu. Atas dasar itu, ia tak segan-segan mengucurkan dana besar sebagai langkah memuluskan keinginannya. Kapitalisasi pemilu semacam itu memperbanyak catatan buram sistem kepartaian.
Karena itu, perlu pengaturan dana kampanye dalam pemilu, yang menyangkut dari mana dana pemilu yang diperoleh parpol dan bagaimana mengatur dana pemilu agar tidak terjadi kapitalisasi pemilu.
Problem Belanja Pemilu
Berkaca pada pengalaman pelaksanaan beberapa pemilu lalu, dana kampanye menjadi bagian yang kurang diawasi secara ketat. Ada banyak kelonggaran yang memberikan peluang kepada partai politik melakukan segala cara untuk mendapatkan dana kampanye.
Akibatnya, sulit meminta pertanggunggugatan parpol peserta pemilu, baik secara politik maupun secara hukum, terhadap segala bentuk penyelewengan yang dilakukan. Dalam konteks ini, ada beberapa fenomena yang perlu dicermati.
Pertama, potensi munculnya money laundry melalui parpol. Kelonggaran aturan dana pemilu memungkinkan sumber dana yang masuk ke parpol adalah dana siluman yang sengaja disumbangkan kepada parpol.
Kedua, jual beli nomor urut kursi jadi. Hal tersebut terjadi bila pimpinan parpol hanya memberikan nomor urut jadi kepada pemilik modal sebagai dana kampanye. Kemungkinan seperti itu harus diantisipasi karena ada sinyalemen praktik memperdagangkan nomor urut pada daerah pemilihan kepada orang-orang yang sangat berminat menjadi anggota legislatif, tapi tidak mempunyai posisi menentukan dalam partai.
Ketiga, teknik dan mekanisme auditing dana parpol. Dalam RUU Pemilu, memang diberlakukan rekening khusus secara berjenjang mulai tingkat pusat, provinsi, dan kabupaten/kota. Bahkan, dana dan rekening kampanye dipisahkan dari dana dan rekening parpol.
Tapi, dalam praktiknya, parpol tidak menjelaskan secara terbuka mengenai sumber, besaran, dan penggunaan dana yang dimaksud. Karena itu, amat tepat jika RUU Pemilu mengatur agar belanja barang untuk keperluan pemilu dihitung sebagai sumbangan pemilu yang diekuivalenkan dengan uang.
Keempat, keterbukaan audit. Meski sudah diatur ada audit dana kampanye oleh akuntasi publik, dalam praktiknya, akuntan juga belum memenuhi prinsip-prinsip keterbukaan serta akuntabilitas. Sebab, bisa jadi lembaga akuntan publik juga terimbas politik uang, sehingga tidak lagi independen.
Sesuai mekanisme di Amerika Serikat, Federal Commision Election (KPU) membuka akses informasi kepada siapa saja yang ingin mengetahui besaran dana kampanye parpol tertentu. Lebih dari itu, para penyumbang pun bisa diketahui.
Praktik tersebut secara tidak langsung merupakan proses partisipasi politik yang bertanggung jawab bagi masyarakat terhadap parpolnya. Artinya, mekanisme sumbangan parpol jangan seperti model menanam saham yang pada saatnya ditagih kepada parpol yang disumbang.
Pengaturan Dana Pemilu
Untuk mengantisipasi perilaku pragmatis dan kontraproduktif terhadap demokrasi yang berkaitan dengan akuntabilitas dana kampanye, ada beberapa hal yang perlu mendapatkan perhatian dalam UU Pemilu 2009.
Pertama, ditentukan ambang batas maksimal penggunaan dana untuk belanja iklan dan kampanye. RUU Pemilu 2009 memang sudah mengatur batas sumbangan dari perseorangan sebesar Rp 1 miliar dan dari lembaga Rp 5 miliar.
Pertanyaannya, apakah pembatasan pemasukan dana juga berarti menjadi batas atas pengeluaran atau belanja kampanye? Kalau diartikan begitu, parpol mana pun yang melebihi batas tersebut harus ditindak tegas oleh KPU.
Kedua, belanja barang harus dikonversi dengan uang. Artinya, penghitungan belanja barang diaudit sesuai uang yang dikeluarkan. Dengan demikian, harga barang yang dibeli untuk keperluan kampanye harus sesuai harga yang beredar di pasaran. Jika tidak, rentan muncul penyalahgunaan uang untuk pembelian barang. Pengaturan tersebut berguna agar kapitalisme politik tidak bersemayam di perpolitikan Indonesia.
Ketiga, pemisahan rekening khusus dilakukan dengan membedakan antara rekening kampanye dan rekening partai, selanjutnya dilaporkan kepada akuntan publik yang bertugas mengaudit. Jika ada pemasukan ke rekening yang tak jelas identitas dan asal usulnya, harus dikembalikan ke kas negara. Jika dalam keadaan seperti itu parpol peserta pemilu masih menggunakan untuk kepentingan pemilu, KPU harus menindak tegas.
Keempat, penegakan supremasi hukum terhadap segala pelanggaran pemilu, khususnya terkait dengan dana kampanye. Selain aturan tentang mekanisme penyelidikan dan penetapan pembatalan sebagai peserta pemilu, juga harus dimasukkan pada kategori tindak pidana pemilu.
Karena itu, untuk pelanggaran ketentuan penerimaan sumbangan dana kampanye, selain pencalonannya sebagai peserta pemilu dan pencalonan legislatif dibatalkan pengadilan, penyimpangan dan penyelewengan dananya juga diusut. Ketentuan tersebut penting agar pemilu ke depan bisa berjalan sesuai prinsip tata kelola yang baik, memenuhi asas akuntabilitas dan transparansi.
Ali Masykur Musa, wakil ketua umum DPP PKB, anggota Panja RUU Pemilu
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 25 Februari 2008