Kejagung-KPK Adu Cepat
Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) beradu cepat menyelidiki dugaan korupsi dalam penjualan dua kapal tanker raksasa (very large crude carrier/VLCC) PT Pertamina. Dua lembaga penegak hukum itu antusias memperoleh berbagai indikasi awal kerugian negara atas perkara yang melibatkan mantan Menteri Negara BUMN Laksamana Sukardi tersebut.
Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh menegaskan, kejaksaan selalu berkoordinasi dengan KPK untuk mengusut kasus korupsi tersebut. Dia membantah kejaksaan mengulangi penyelidikan yang dilakukan KPK. Saatnya nanti (hasil penyelidikan kejaksaan) akan disinergikan, nggak ada repetisi (pengulangan), tegas Arman -sapaan Abdul Rahman Saleh- di Jakarta.
Menurut dia, KPK dan kejaksaan wajar menyelidiki objek perkara korupsi yang sama. Penyelidikan akan berhenti jika salah satu lembaga tersebut menemukan unsur kerugian negara yang bisa meningkatkan penanganan ke tahap penyidikan. Nah, sekarang siapa dulu yang akan menemukan. Kalau kami menemukan dulu, ya kami akan masuk (koordinasi dengan KPK), kata pejabat kelahiran Pekalongan tersebut.
Arman membantah bahwa penyelidikan kasus VLCC itu bermuatan politis, meski pengaduannya berasal dari anggota DPR.
Sebelumnya, Plt JAM Pidana Khusus Hendarman Supandji mengaku bahwa kejaksaan punya beberapa alat bukti, sehingga ikut menyelidiki kasus VLCC. Salah satunya, putusan Mahkamah Agung (MA) yang mengabulkan temuan Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) bahwa ada potensi kerugian negara serta persekongkolan persaingan tidak sehat dalam tender penjualan VLCC.
Petrus Selestinus, orang dekat Laks -sapaan Laksamana Sukardi-, menyesalkan penyelidikan kasus VLCC oleh kejaksaan itu. Anggota Tim Pembela Demokrasi Indonesia (TPDI) itu mengungkapkan, penyelidikan tersebut tumpang tindih dengan yang pernah dilaksanakan KPK. Kejaksaan seharusnya menunggu selesainya penyelidikan di KPK, tegasnya saat dihubungi koran ini tadi malam.
Jika kejaksaan punya alat bukti, seharusnya mereka menyerahkannya ke KPK. Petrus mencurigai ada nuansa politis di balik penyelidikan VLCC tersebut. Sebab, kejaksaan menindaklanjuti pengaduan anggota DPR tanpa mengonsultasikan lebih dulu kepada KPK.
Soal dijadikannya putusan MA sebagai alat bukti penyelidikan, dia lagi-lagi menganggap bahwa temuan KPPU tersebut penuh nuansa politis. Kalau temuan persekongkolan tersebut melibatkan Laks, itu jelas dipaksakan. Itu seharusnya menjadi tanggung jawab direktur utama, ungkapnya.
Laks merupakan komisaris utama (komut) saat penjualan VLCC. Yang menjadi direktur utama (dirut) adalah Ariffi Nawawi.
Sutrisno Iwantono, mantan ketua pemeriksa kasus VLCC dari KPPU menyatakan, pihaknya menemukan terjadinya persekongkolan di balik tender VLCC. Persekongkolan tersebut menimbulkan potensi kerugian negara miliaran rupiah. Temuan kami diperkuat putusan kasasi di MA. Itu membuktikan bahwa persekongkolan tersebut memang ada, katanya saat dihubungi koran ini kemarin.
Menurut dia, persekongkolan terjadi saat pelaksanaan tender yang menetapkan perusahaan asal Swedia, Frontline Ltd, sebagai pemenang tender VLCC.
Sutrisno menambahkan, dari hasil pemeriksaan, KPPU hanya menelusuri praktik persaingan tidak sehat tanpa menetapkan pejabat negara yang bertanggung jawab. Soal siapa (pejabat negara) yang terlibat, itu menjadi wewenang kejaksaan dan KPK, ujarnya.
Sesuai UU No 5 Tahun 1999, KPPU tidak berwenang menyelidiki pertanggungjawaban pidana pejabat negara di balik persekongkolan jahat sebuah tender.
Kasus VLCC bermula dari pembelian kapal tanker pada 2002 dari Hyundai Heavy Industries (HHI), Korea Selatan. Harga pembelian USD 65 juta per unit. Namun, pada 2004, kapal pengangkut minyak itu tiba-tiba dijual lagi seharga Rp 184 miliar per unit ke Frontline Ltd. Hal tersebut memunculkan kecurigaan terjadinya potensi kerugian negara.
Menurut kajian KPPU, penjualan tersebut merugikan negara Rp 102 miliar per unit, mengingat harga penjualannya lebih rendah dari harga pasar.
Kasus tersebut sempat diadukan ke KPK. Di tengah penyelidikan, KPK belum menemukan kerugian negara. Kasus VLCC lantas bergulir menjadi isu politis di Senayan. Meski belum ditemukan kerugian negara, Pansus DPR tetap mendesak agar pemerintah mengusut kasus tersebut.
Salah satunya, pemerintah diminta menyelamatkan uang negara yang diperkirakan dari selisih transaksi VLCC tersebut. DPR juga meminta agar kejaksaan mengusut. (agm)
Sumber: Jawa Pos, 26 Maret 2007