Kejagung Susun Daftar Koruptor, Polisi Siap Buru; Perjanjian Ekstradisi Indonesia - Singapura
Kejaksaan Agung (Kejagung) bergerak cepat. Dua hari menjelang penandatanganan perjanjian ekstradisi RI-Singapura, lembaga pimpinan Abdul Rahman Saleh itu mulai menginventarisasi para buron kasus korupsi yang bersembunyi dan mengendalikan bisnisnya di Singapura.
Plt JAM Pidana Khusus (Pidsus) Hendarman Supandji mengatakan, data para buron yang kabur ke Singapura diperlukan ketika diminta lembaga terkait untuk memulangkan mereka. Saat ini kami berusaha menghimpun nama-nama para buron, kata Hendarman di gedung Kejagung kemarin.
Ditanya jumlah buron di Singapura, Hendarman menjawab tidak ingat. Pokoknya, banyak deh, kata jaksa senior itu. Sebelumnya, dari bahan evaluasi kinerja Kejagung 2006, setidaknya ada 18 buron yang kabur ke luar negeri, termasuk di Singapura. Di antaranya, Sudjiono Timan (kasus korupsi Badan Pembinaan Usaha Indonesia/BPUI), Bambang Soetrisno dan Adrian Kiki Ariawan (keduanya terpidana seumur hidup BLBI Bank Surya), serta Eko Edi Putranto dan Sherny Kojongian (keduanya terpidana 20 tahun kasus BLBI Bank Harapan Sentosa/BHS).
Hendarman belum dapat memastikan bahwa perjanjian ekstradisi dapat memulangkan para buron tersebut. Sebab, alumnus Hukum Undip itu mengaku belum membaca poin-poin isi perjanjian ekstradisi. Harus ada klarifikasi dulu antara dua negara, apakah termasuk korupsi. Sebab, kalau korupsi, tentu kan harus ada kesepakatan rumusan bagaimana bisa diekstradisi, imbuh jaksa berkacamata itu.
Hendarman berharap semua jenis kejahatan masuk dalam isi perjanjian ekstradisi. Nggak hanya korupsi, kasus narkotika, perdagangan perempuan, dan kasus terorisme seharusnya masuk (dalam perjanjian ekstradisi), jelasnya. Dengan demikian, manfaat perjanjian ekstradisi tak hanya untuk kejaksaan, tetapi juga Mabes Polri.
Di bagian lain, Kepala Polri Jenderal Sutanto merasa yakin Polri dapat menyeret para koruptor yang kabur ke Singapura dengan adanya perjanjian ekstradisi antara Indonesia dan Singapura.
Sutanto mengatakan hal itu di Palembang kemarin, usai meresmikan Rumah Sehat Sederhana (RSH) untuk anggota Polri dan PNS di lingkungan Polri. Perjanjian ekstradisi itu bagus sekali karena semua tersangka yang melarikan diri ke Singapura dapat dijangkau secara hukum. Ini suatu kemajuan yang kita sambut baik, kata Sutanto.
Menurut dia, dengan adanya perjanjian ekstradisi, kendala yang dihadapi Polri dalam memburu tersangka korupsi yang kabur ke Singapura dapat diatasi.
Meskipun Kejagung dan Mabes Polri melakukan persiapan matang menyambut penandatanganan perjanjian ekstradisi Indonesia dan Singapura, implementasi perjanjian tidak segera dapat dijalankan karena masih membutuhkan ratifikasi oleh parlemen masing-masing negara.
Pakar hukum internasional Hikmah Hanto mengkhawatirkan dalam proses ratifikasi nanti parlemen akan memodifikasi sehingga mempersulit ekstradisi tersebut. Jadi, begitu kesepakatan ditandatangani tidak bisa langsung diimplementasikan, masih menunggu proses ratifikasi parlemen kata Hikmah Hanto.
Dalam proses ratifikasi tersebut, lanjutnya, koruptor-koruptor yang bersembunyi di Singapura sudah mempersiapkan langkah untuk melarikan diri ke negara lain lagi sehingga niat untuk mengekstradisi koruptor yang tinggal di Singapura tidak bisa direalisasikan.
Menurut Hikmah, Singapura tidak mempunyai banyak kepentingan dengan perjanjian ekstradisi tersebut, tapi Indonesia yang lebih banyak memiliki kepentingan karena diduga banyak pelaku korupsi Indonesia yang bersembunyi di Singapura.
Singapura, menurut Hikmah, lebih mementingkan perjanjian kerja sama militer yang ditandatangani berbarengan dengan ekstradisi tersebut. Dengan perjanjian kerja sama militer, Singapura akan lebih diuntungkan karena mempunyai tempat untuk latihan militer di Indonesia. Selain itu, Singapura juga mempunyai kepentingan agar dalam tindak terorisme, pelaku warga negara Singapura bisa diekstradisi ke negara yang bersangkutan.
Sayang, hingga tadi malam, pejabat Departemen Pertahanan masih tertutup soal isi draf perjanjian pertahanan yang akan disepakati. Wartawan yang menunggu di Kantor Dephan sejak pagi hari juga tidak mendapatkan keterangan yang signifikan. Menhan dan Dirjen Strategi Pertahanan akan menjelaskan panjang lebar setelah perjanjian itu resmi ditandatangani. Jadi, ditunggu saja, ujar Kepala Biro Humas Departemen Pertahanan Brigjen Edy S. Butar-Butar.
Sementara itu, Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan kalangan LSM mewanti- wanti pemerintah agar jeli dalam perjanjian ekstradisi Indonesia-Singapura. Ketua DPR Agung Laksono maupun Indonesia Corruption Watch menegaskan pasal-pasal perjanjian harus menyangkut soal pelaku korupsi, bukan hanya pidana umum. Di sisi lain, perjanjian itu diakui sebagai suatu hal progresif yang digagas kedua negara. (agm/rdl)
Sumber: Jawa Pos, 26 April 2007