Kejagung Terima Laporan Praktik Suap dan Pemerasan dalam Penentuan Suara Caleg
Bukan hanya Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) yang mencium indikasi korupsi pelaksanaan pemilu legislatif 9 April. Kejaksaan Agung (Kejagung) juga mengaku menerima banyak laporan indikasi adanya praktik suap dan pemerasan dalam penentuan suara calon legislatif.
''Beberapa Kajari (kepala kejaksaan negeri) mendapat laporan adanya indikasi itu. Lalu, Kajari meminta petunjuk,'' kata Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (JAM Pidsus) Marwan Effendy kepada koran ini kemarin (26/4). Namun, dia tidak menjelaskan jumlah daerah yang telah menerima laporan dugaan suap dan pemerasan itu.
Modus praktik suap itu, antara lain, mengisi contrengan di surat suara yang hanya mencontreng nama partai dengan menambahkan contrengan nama si caleg. Modus yang lain ialah mengalihkan surat suara rekan separtainya dengan nama diri si caleg itu, berikutnya menyatakan sah dengan mengubah surat suara yang tidak sah dari partainya atau partai lain untuk diri si caleg bersangkutan. ''Hal itu dilakukan si caleg dengan bekerja sama dengan panitia pemilihan kecamatan (PPK) dan komisi pemilihan umum daerah (KPUD) yang tentunya dengan imbalan sejumlah uang,'' ungkap Marwan.
Mantan Kapusdiklat Kejagung itu melanjutkan, pihaknya telah memberikan petunjuk kepada seluruh Kajari dan Kajati. Isinya, suap dan pemerasan yang dilakukan PPK dan KPUD dapat dikenakan delik pidana korupsi. ''Itu karena PPK dan KPUD termasuk yang digolongkan pegawai negeri oleh undang-undang karena menerima insentif dari negara,'' terang Marwan.
Namun, lanjut Marwan, dalam kasus dugaan suap dan pemerasan, cukup sulit menemukan alat bukti. Penindakan bisa dilakukan jika ditemukan adanya bukti transaksi. Misalnya, pengiriman uang dengan transfer atau pelaku tertangkap tangan saat transaksi. ''Dua pihak juga pasti tidak akan mengaku,'' ujar mantan kepala Kejaksaan Tinggi Jatim itu.
Sebelumnya Kejagung menyebutkan, hingga sekarang pihaknya sudah menerima 352 kasus terkait tindak pidana pemilu. ''Perkara pidana pemilu 352 kasus,'' kata Jaksa Agung Muda Pidana Umum (Jampidum) Abdul Hakim Ritonga.
Menurut Jampidum, di antara 352 kasus pidana pemilu itu, yang sudah masuk prapenuntutan 186 kasus, penuntutan 57 kasus, dan 109 kasus sudah putus. ''Sisanya, 243 kasus, belum putus,'' ujatnya. Dia menambahkan, paling banyak yang menjadi terpidana kasus pemilu adalah calon legislatif (caleg). (fal/kim)
Sumber: Jawa Pos, 27 April 2009