Kejaksaan Banten Minta Presiden Keluarkan Izin Pemeriksaan
Selisih harga proyek dan hasil audit sebesar Rp 14 miliar.
Kejaksaan Tinggi Banten mendesak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengeluarkan izin pemeriksaan Bupati Tangerang Ismet Iskandar dalam kasus korupsi proyek jalan lingkar selatan. Ismet akan diperiksa sebagai saksi dalam proyek yang merugikan negara sebesar Rp 14 miliar itu.
Surat permintaan izin memeriksa Ismet sudah dikirimkan Kejaksaan Tinggi Banten pada 16 Oktober lalu. Sampai sekarang izin belum juga turun, kata Kepala Kejaksaan Tinggi Banten Suhaemi kepada Tempo di Serang kemarin. Suhaemi menilai Ismet bertanggung jawab atas pelaksanaan proyek senilai Rp 95 miliar tersebut.
Suhaemi mengatakan, jika sampai 60 hari sejak surat permintaan izin dikirimkan Presiden belum memberi jawaban, Kejaksaan Tinggi Banten akan langsung memeriksa Bupati Tangerang tersebut. Aturannya memang begitu, jadi kita tunggu saja, katanya.
Dalam kasus ini Kejaksaan Tinggi Banten telah menetapkan dua orang tersangka, yakni mantan Kepala Dinas Pekerja Umum Binamarga dan Pengairan Kabupaten Tangerang Maryoso serta mantan Kepala Badan Pengelola Keuangan Daerah Kabupaten Tangerang Muchtar Lutfi.
Namun, setelah menetapkan dua tersangka, kejaksaan belum memeriksa Ismet Iskandar sebagai pihak yang dinilai bertanggung jawab atas proyek tersebut. Kami maunya juga cepat agar kasusnya bisa dilimpahkan, kata Suhaemi.
Pengusutan kasus ini berawal dari hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan pada 16 Juni 2006, yang menemukan indikasi kerugian negara sebesar Rp 14 miliar. Dalam laporan tersebut, BPK menilai Ismet Iskandar lalai mengambil kebijakan sehingga pelaksanaan proyek menyimpang dari peraturan.
Kelalaian Bupati Ismet, kata Suhaemi mengutip laporan BPK, antara lain atas penunjukan langsung pelaksana proyek serta perhitungan bunga dan kajian atas kontrak sepenuhnya dilakukan oleh tim evaluasi. Bupati juga menyetujui pembayaran tahap pertama tanpa memperhatikan prestasi fisik pekerjaan.
Suhaemi mengatakan dari hasil pemeriksaan sementara memang terjadi kerugian negara sebesar Rp 14 miliar Sebab, dari nilai kontrak sebesar Rp 95 miliar terkoreksi sebesar Rp 81 miliar, katanya. Sehingga, kata dia, selisih harga sebesar Rp 14 miliar antara nilai kontrak proyek dan hasil audit Badan Pemeriksa Keuangan. Faidil Akbar
Sumber: Koran Tempo, 20 November 2006