Kejaksaan Dalami Bujukan Henry Leo
Jaksa Agung Hendarman Supandji menyatakan, kejaksaan tidak tinggal diam dan berhenti mengusut dugaan suap dalam pemberian rumah dari Henry Leo kepada mantan Kepala Staf TNI Angkatan Darat R Hartono dan mantan Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara TB illalahi.
Karena unsur suap belum dipenuhi, kejaksaan fokus mendalami dan menggali bujukan Henry dalam pemberian rumah itu.
Akan digali dari Henry Leo bagaimana latar belakang dia memberi itu (rumah). Itu yang masih dilakukan penyelidikan, ujar Hendarman seusai peringatan Hari Kesaktian Pancasila di Lubang Buaya, Jakarta, Senin (1/10).
Aparat kejaksaan belum menemukan unsur suap, bukan tidak menemukan unsur suap. Artinya, pemenuhan unsur suap dari Henry kepada Hartono dan Silalahi akan terus dikejar. Unsur suap itu kan membujuk. Membujuk itu bagaimana latar belakangnya, itu yang akan dikejar, ujar Hendarman.
Meskipun Henry memberi rumah kepada pejabat negara yang terkait dengan aktivitas usahanya, Hendarman mengemukakan, hal itu tidak otomatis dapat dikatakan sebagai usaha penyuapan. Untuk itu, akan digali dari Henry yang saat ini masih diperiksa di kejaksaan soal unsur suap yang masih kabur itu.
Saat pemeriksaan, Hartono mengaku diberi rumah pada tahun 1995 oleh Henry, tersangka dugaan korupsi dana PT Asabri. Paul, anak TB Silalahi, mengaku membeli rumah di Jalan Pantai Kuta VI Ancol Timur E3/1 Kavling Nomor 25, Ancol, Jakarta Utara, seharga Rp 1 miliar pada 30 Desember 1997.
Pengakuan Paul disampaikan menanggapi keterangan istri Henry, Iyul Sulinah. Iyul mengemukakan, rumah itu diberikan Henry.
Bukan koneksitas
Saat di Komisi I DPR, Jaksa Agung menegaskan penanganan kasus penyimpangan uang prajurit senilai Rp 410 miliar dana PT Asabri itu tidak dapat dilakukan dalam bentuk pengadilan koneksitas. Hal itu karena keterlibatan dua tersangka, Mayjen (Purn) Subarda Midjaja dan Henry Leo, berstatus sipil.
Keduanya dikenai tuduhan melanggar Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1971 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, Pasal 1 Ayat 1 Sub a dan b. Penerapan koneksitas juga tidak bisa diterapkan dalam kasus dugaan suap pemberian rumah oleh Henry Leo, kata Hendarman, Senin, saat hadir dalam rapat penjelasan Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan beserta segenap menteri di jajarannya di Komisi I DPR.
Jadi, kalau koneksitas itu perbuatannya harus sama, misalnya bersama-sama merampok. Sementara dalam kasus (dugaan suap) itu perbuatan yang memberi dan menerima berbeda. Tidak sama karena si pemberi dikenai Pasal 210 KUHP yang juga sudah diserap dalam UU tentang Tindak Pidana Korupsi, ujarnya.
Hal itu, lanjut Hendarman, karena si pemberi melakukan perbuatannya tadi dengan tujuan agar si penerima pemberian dapat menggerakkan tindakan yang bertentangan dengan kewajibannya. Sedangkan si penerima akan dikenai Pasal 418 KUHP.
Namun begitu keduanya, pemberi dan penerima, juga masih bisa saling dikenai tuduhan berlapis jika keduanya sama-sama dihukum. Artinya, jika si pemberi dihukum dengan Pasal 210, si penerima juga akan dihukum sama. Begitu juga jika si penerima dihukum dengan Pasal 418, si pemberi juga dihukum dengan pasal sama.
Hendarman menambahkan, saat ini pihaknya selain berhasil menyelamatkan Rp 210 miliar, juga sudah menyita gedung di kawasan Kuningan, Jakarta, senilai Rp 110 miliar. Harapannya uang negara yang bisa diselamatkan masih berkembang lagi.
Nilainya masih belum bisa setara kerugian negara yang diderita, jika dihitung termasuk dengan bunga dan denda selama 10 tahun kasus ini berjalan. Jika semua itu dihitung nilai kerugiannya mungkin bisa sampai Rp 1 triliun, ujar Hendarman.
Dalam kesempatan sama, Panglima TNI Marsekal Djoko Suyanto menyatakan, institusinya sejak awal bersikap proaktif. Kasus itu sudah sempat tersangkut lama dan pihaknya serta Departemen Pertahanan kemudian berkomitmen untuk menuntaskannya. (INU/DWA)
Sumber: Kompas, 2 Oktober 2007