Kejaksaan dan Kepolisian Perlu Lakukan Percepatan Penanganan Perkara Korupsi Kepala Daerah
Pernyataan Pers
Untuk memberantas korupsi di Indonesia yang sangat sistemik diperlukan upaya luar biasa dan dukungan atau dorongan banyak pihak termasuk melibatkan partisipasi masyarakat. Salah satu cara mendorong upaya pemberantasan korupsi lebih optimal adalah dengan cara mencabut atau menghapus kebijakan atau aturan yang dinilai menghambat pencapaian pemberantasan korupsi di Indonesia.
Aturan yang dinilai menghambat upaya pemberantasan korupsi antara lain kebijakan yang mengharuskan adanya persetujuan tertulis atau izin dari presiden apabila penyidik dari kepolisian dan kejaksaan akan melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan / atau wakil kepala daerah dalam perkara tindak pidana termasuk tindak pidana korupsi. Hal ini diatur dalam Pasal 36 Undang Undang Nomor 32 Tahun 2004 Tentang Pemerintahan Daerah.
Perkara korusi yang memerlukan izin pemeriksaan sungguh luar biasa. Pemerintah menyebutkan sejak Oktober 2004 hingga 26 Agusutus 2011, Presiden telah mengeluarkan 164 permohonan persetujuan tertulis atau izin untuk melakukan pemeriksaan kepala daerah dan/atau kepala daerah dalam perkara korupsi. Dalam catatan ICW pada periode 2004-2010 terdapat sedikitnya 36 perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah terhambat penuntasannya karena menunggu persetujuan Presiden.
Selain menghambat upaya pemberantasan korupsi, keharusan persetujuan tertulis atau izin dari Presiden untuk melakukan pemeriksaan dalam perkara korupsi terhadap kepala daerah dan/ wakil kepala daerah adalah bertentangan dengan prinsip peradilan yang independen, persamaan kedudukan di dalam hukum dan menimbulkan perlakukan diskriminatif, menghambat asas peradilan yang cepat sebagaimana yang diatur dalam UUD 1945 dan peraturan perundang-undangan lainnya.
Bahwa perlakuan istimewa kepada kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah yang diduga melakukan tindak pidana khususnya korupsi, dalam bentuk keharusan ada persetujuan tertulis atau izin dari Presiden, telah bertolak belakang dengan Inpres Nomor 5 Tahun 2004 tentang Percepatan Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Dengan adanya keharusan mendapat persetujuan tertulis atau izin dari Presiden untuk melakukan pemeriksaan terhadap kepala daerah dan/ atau wakil kepala daerah akan memperlambat atau menghambat pemberantasan korupsi maupun kebijakan antikorupsi yang telah dikeluarkan oleh Presiden SBY sejak tahun 2004
Sejumlah pertimbangan tersebut, kemudian menjadi dasar bagi Koalisi Masyarakat Anti Korupsi yang yang diwakili oleh Feri Amsari, Teten Masduki, Zainal Arifin Mochtar Husein, Indonesia Corruption Watch mengajukan permohonan uji materiil ketentuan yang mengharuskan adanya izin pemeriksaan kepala daerah sebagaimana diatur dalam Pasal 36 UU Pemda. Para pemohon meminta Mahkamah Konstitusi mencabut ketentuan tentang izin pemeriksaan bagi Kepala Daerah/dan Wakil Kepala Daerah dalam perkara korupsi (Pasal 36 UU Pemda) karena bertentangan dengan UUD 1945.
Permohonan Judicial Review dilakukan pada 28 September 2011 dan dalam proses beracara di MK para pemohon memberikan kuasa para advokat dan pembela hukum publik yang terdiri dari dari Alvon Kurnia Palma, S.H dkk.
Proses persidangan di MK kemudian menghadirkan sejumlah ahli, saksi dan mendengarkan pendapat dari pemerintah dan DPR. Nurkholis (Wakil Ketua Komnas HAM) menyatakan iziin pemeriksaan melanggar Hak Asasi Manusia dan Prinsip equality before the law serta Prinsip nondiskriminatif yang diatur dalam UUD 45. Saldi Isra (Guru Besar Hukum Tata Negara) menyatakan Keharusan adanya izin bagi Kepala Daerah telah menciptakan perlakuan yang tidak sama bagi semua pejabat public dan telah menciptakan inkonsistensi dalam penegakan hukum.
Chandra M Hamzah (mantan pimpinan KPK) menyebutkan tanpa adanya keharusan izin dari Presiden, kinerja KPK dalam melakukan pemeriksaan kepala daerah dan wakil kepala daerah tidak mengalami hambatan. KPK secara institusi juga memberikan dukungan agar ketentuan izin pemeriksaan terhadap kepala daerah dicabut oleh MK.
Hampir setahun sejak permohonan diajukan, pada 26 September 2012 MK memutuskan mengabulkan sebagian permohonan dari Koalisi Masyarakat Sipil. MK menyatakan sepanjang masih dalam tahap penyelidikan dan penyidikan, penegak hukum, dalam hal ini Polri dan kejaksaan, dapat langsung memeriksa kepala daerah tanpa meminta izin kepala negara. MK juga beralasan bahwa izin Presiden pada tahap penyelidikan dan peyidikan berpotensi menghambat proses hukum. Selain alasan itu, ketentuan tersebut secara tak langsung mengintervensi sistem penegakan keadilan.
MK berpendapat persetujuan tertulis Presiden tidak memiliki rasionalitas hukum yang cukup. Pasalnya, sebagai subyek hukum, kepala daerah pun harus mendapat perlakuan yang sama di hadapan hukum. Meski begitu, izin dari kepala negara harus dikantongi pada saat tindakan penahanan terhadap kepala daerah. Alasannya, penahanan tersebut dikhwatirkan berpotensi menghambat roda pemerintahan daerah.
Putusan MK sesungguhnya merupakan “angin segar” bagi upaya pemberantasan korupsi. Dengan dihapuskannya ketentuan mengenai izin pemeriksaan kepala daerah maka hambatan birokrasi dalam penanganan korupsi dapat teratasi ini. Oleh karenanya pemerintah dalam hal ini Kejaksaan dan Kepolisian perlu melakukan percepatan penanganan dan penuntasan perkara korupsi yang melibatkan kepala daerah.
Jakarta, 2 Oktober 2012
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi