Kejaksaan dan KPK Tandatangani MoU Pemberantasan Korupsi

Jaksa Agung RI Abdul Rahman Saleh dan Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman Ruki menandatangani nota kesepahaman (MoU) mengenai kerjasama pemberantasan korupsi.

Kesepakatan ini merupakan salah satu cara menjawab persoalan koordinasi dan komunikasi antara lembaga penegak hukum dengan tujuan saling membantu dalam pemberantasan korupsi secara optimal, kata Abdul Rahman Saleh usai penandatanganan MoU di Sasana Baharuddin Lopa, Gedung Utama Kejaksaaan Agung, Jakarta, Selasa.

Menurut Arman -demikian Jaksa Agung biasa disapa-, Kejaksaan dan KPK merupakan dua institusi yang menjadi tulang punggung pemberantasan korupsi di Indonesia sehingga kerjasama yang erat dan kemampuan mensinergikan keduanya merupakan upaya penting dalam menghasilkan output yang optimal dalam percepatan pemberantasan tindak pidana khusus itu. Penandatanganan MoU Kerjasama Pemberantasan Korupsi itu, kata Jaksa Agung, dilakukan dalam rangka penyambutan Hari Anti Korupsi Internasional yang ditetapkan oleh PBB untuk diperingati setiap 9 Desember.

Menurut dia, dalam penanganan perkara korupsi, baik Kejaksaan maupun KPK memiliki kewenangan yang sangat besar karena keduanya dapat melakukan penyidikan atas perkara pidana korupsi dan menuntut terdakwa ke muka peradilan serta melaksanakan putusan pengadilan yang bersifat final.

Adanya kewenangan yang sama pada lebih dari satu lembaga tersebut dapat berpotensi menimbulkan tumpang tindih dalam pelaksanaan tugas atau saling lempar tanggung jawab, sehingga MoU itu diperlukan untuk mengatur koordinasi dan komunikasi antara lembaga penegak hukum. Kerjasama ini meliputi bantuan personel dan kerjasama operasional, kata Jaksa Agung.

Ia merinci, bantuan yang dapat diberikan Kejaksaan antara lain bantuan personel jaksa penuntut umum dan penggunaan fasilitas pusdiklat di Ragunan untuk kegiatan pelatihan, sementara pihaknya bisa meminta bantuan KPK untuk tenaga ahli informasi dan teknologi (IT), juga masalah peralatan penyadapan dan perekaman canggih yang dimiliki komisi tersebut.

Untuk kerjasama operasional, KPK dapat bekerjasama melakukan upaya paksa penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan. Juga dalam hal menitipkan tahanan di Rutan Kejaksaan atau meminjam lokasi pemeriksaan, kata Abdul Rahman. Untuk masalah penitipan tahanan, katanya, Kejagung sedang menggodok wacana mengenai rencana perluasan ruang tahanan sebagai antisipasi banyaknya kasus korupsi.

Ketika disinggung mengenai fungsi supervisi (kegiatan pengawasan, penelitian dan pengambilalihan penyidikan) sebagai bagian dari kerjasama operasional yang diatur MoU tersebut, Jaksa Agung menjelaskan ada indikator khusus sebelum kasus itu dipindahtangankan. Misalnya terjadi KKN dalam penyelidikan atau penyidikannya, katanya mencontohkan.

Kewenangan KPK
Dalam kesempatan tersebut, Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki mengatakan bahwa komisi yang diketuainya itu memiliki kewenangan untuk percepatan pemberantasan korupsi. Fungsi penyelidikan dan penyidikan, menurut Ruki, tetaplah merupakan tugas utama institusi kepolisian dan kejaksaan. Analoginya seperti pemain asing di klub sepakbola yang bertugas merangsang pemain lokal, dalam hal ini polisi dan kejaksaan. Bila sudah produktif ya KPK kembali ke tugas utamanya, kata Ruki.

Disinggung mengenai kemungkinan KPK membuka kembali kasus-kasus yang berstatus SP3 (Surat Penghentian Penyidikan) seperti KPK, Ruki menjelaskan bahwa KPK bisa mencabut SP3 dengan syarat adanya temuan bukti baru (novum). SP3 dikeluarkan oleh polisi maupun kejaksaan dengan alasan faktor hukum tidak cukup, tindak pidana tersebut bukan tipikor atau tidak cukupnya alat bukti. Bila kami buka tapi tidak ada bukti baru ya sama saja, demikian Taufieqqurahman Ruki. ant/pur

Sumber: republika, 7 Desember 2005

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan