Kejaksaan Dinilai Mengejar Kuantitas
Komisi Hukum Dewan Perwakilan Rakyat mengkritik kinerja Kejaksaan Agung. Menurut Arbab Paproeka, anggota Komisi Hukum dari Fraksi Partai Amanat Nasional, dari hasil penilaian Komisi Hukum DPR, pengusutan kasus-kasus korupsi oleh kejaksaan hanya mematok target kuantitas. Padahal, kata dia, yang lebih penting adalah pengembalian kerugian negara. Sebenarnya ini bagian terpenting dari pengusutan kasus korupsi, ujar Arbab di Kendari, Sulawesi Tenggara, Sabtu lalu.
Bahkan dia mengatakan ada pendapat sinis yang menyatakan kejaksaan bersikap tebang pilih dalam mengusut kasus korupsi. Menurut Arbab, DPR berencana memanggil Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh untuk mengevaluasi kinerja kejaksaan. Kami masih mengumpulkan bahan evaluasi hingga ke daerah-daerah, katanya.
Arbab juga menyebutkan akan mempertanyakan adanya surat edaran Jaksa Agung kepada semua kepala kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri yang isinya melarang memberikan penangguhan penahanan terhadap tersangka korupsi. Meski mendukung pemberantasan korupsi, Arbab menilai surat edaran itu sebagai pelanggaran hak asasi manusia. Penangguhan penahanan dijamin undang-undang, ujarnya.
Juru bicara Kejaksaan Agung, I Wayan Pasek Suartha, membantah jika lembaganya disebut melakukan tebang pilih dalam pemberantasan korupsi dan hanya mengejar kuantitas. Menurut dia, jika terdapat bukti kuat, kasus korupsi pasti akan diproses sesuai dengan prosedur. Itu tergantung siapa yang menilai, kata Suartha saat dihubungi kemarin.
Dia mencontohkan, sudah banyak kasus korupsi yang diproses penyidikannya, disidangkan, dan diputus oleh pengadilan. Kasus-kasus tersebut, kata dia, berasal dari berbagai kalangan, seperti bekas menteri, pengusaha, gubernur, bupati, dan anggota DPRD.
Kejaksaan, kata Suartha, juga selalu berusaha agar kerugian negara akibat perbuatan korupsi dapat dikembalikan. Kendati begitu, Suartha mengakui upaya mengejar pengembalian kerugian negara bisa gagal. Sebab, kata dia, ada koruptor yang lebih pintar dalam menyembunyikan aset. Memberantas korupsi tidak semudah yang diucapkan, ujarnya.
Adapun soal surat edaran perihal larangan pemberian penangguhan penahanan, kata Suartha, itu agar tersangka korupsi tidak kabur atau jadi buron. Agar saat dieksekusi orangnya masih ada, ujarnya.
Suartha menegaskan surat edaran itu tidak melarang pemberian penangguhan penahanan. Menurut dia, kepala kejaksaan tinggi dan kejaksaan negeri harus meminta izin kepada Jaksa Agung jika akan memberikan penangguhan. Pemberian izin itu bagian tugas Jaksa Agung dalam mengendalikan penanganan perkara di Indonesia. DEDY KURNIAWAN | TITO SIANIPAR
Sumber: Koran Tempo, 30 Oktober 2006