Kejaksaan Harus Tetap Limpahkan Perkaranya
Meski Kejaksaan Agung mengeluarkan surat ketetapan penghentian penuntutan perkara atau SKP3 untuk mantan Presiden Soeharto, bukan berarti perkara itu berhenti. Bahkan, untuk merealisasikan kredibilitas hukum, Jaksa Agung Hendarman Supandji harus berani menghadirkan Soeharto ke pengadilan.
Kepastian hukum atas perkara mantan presiden itu kini penting karena menjadi simbol penegakan hukum di Indonesia. Apakah Soeharto bersalah atau tidak, biar pengadilan yang memutuskannya, kata anggota DPR Benny K Harman (Fraksi Partai Demokrat, Nusa Tenggara Timur I), Kamis (17/5) di Jakarta.
Benny menjelaskan, SKP3 kala itu dikeluarkan Kejagung karena kondisi kesehatan Soeharto. Disebutkan, karena sakit permanen, Soeharto tak dapat dihadirkan ke pengadilan. Namun, status Soeharto tak berubah, masih tetap tersangka. Selain itu, kala itu kan alasannya kondisional. Jika Soeharto sehat, tentu alasan itu gugur, kata dia lagi.
Bahkan, Benny menandaskan, sehat atau sakit seharusnya Kejagung berani menghadirkan Soeharto ke pengadilan. Ini batu ujian bagi pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan Hendarman Supandji yang dinilai memiliki integritas tinggi, tutur dia.
Sebelumnya, Koordinator Advokasi Imparsial Donny Ardyanto mengatakan, Hendarman harus berani mengabaikan pesan mantan Jaksa Agung Abdul Rahman Saleh saat serah terima jabatan, yaitu menghentikan penuntutan kasus korupsi yang diduga melibatkan Soeharto. Jaksa Agung harus bersikap independen dan tegas dalam perkara itu.
Apalagi selama ini Soeharto terkesan tidak pernah mau hadir dengan alasan sakit. Itu artinya ia tak menghormati pengadilan, tidak menghormati hukum, kata Donny.
Menurut Direktur Pelaksana Imparsial Rusdi Marpaung, pengadilan bagi Soeharto bukan untuk mendiskreditkan mantan penguasa Orde Baru itu. Sebaliknya, pengadilan justru dipakai untuk membangun penghormatan bagi Soeharto. (jos)
Sumber: Kompas, 19 Mei 2007