Kejaksaan Tidak Cabut Laporan
Koalisi Sipil Tolak Kriminalisasi Aktivis Antikorupsi
Kejaksaan Agung tidak berniat mencabut laporannya ke Markas Besar Kepolisian Negara Republik Indonesia terhadap dua aktivis Indonesia Corruption Watch, Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Bahkan, Kejaksaan siap untuk membuktikan kebenaran laporannya itu.
Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung Didiek Darmanto mengatakan, kejaksaan melaporkan perbuatan Emerson dan Illian yang dinilai sebagai tindak pidana. ”Kami menilai itu fitnah dan pencemaran nama baik. Yang dilaporkan sampai saat ini tidak ada komunikasi dengan kami,” katanya, Rabu (14/10) di Jakarta.
Apakah kejaksaan ingin perkara ini terus dilanjutkan hingga ke pengadilan? ”Kalau kejaksaan, ya. Ingat, bukan hanya masyarakat, Kejaksaan juga pencari keadilan. Sebagai penuntut umum pun juga mencari keadilan,” ujar Didiek lagi.
Pada 7 Januari, Kejagung melaporkan Emerson dan Illian ke Mabes Polri terkait dengan pernyataan mereka dalam berita berjudul ” Uang Perkara Korupsi Kok Malah Dikorupsi: Kenapa Duit 7 Triliun Belum Masuk Negara” di harian Rakyat Merdeka edisi 5 Januari 2009. Siaran pers tanggal 6 Januari 2009 yang ditandatangani Kepala Pusat Penerangan Hukum Kejagung M Jasman menyebutkan, pernyataan Emerson dan Deta itu merupakan fitnah dan penghinaan terhadap institusi kejaksaan.
Illian dan Emerson dijadwalkan diperiksa sebagai tersangka pada Kamis ini. Mereka dikenai sangkaan melanggar Pasal 311 dan 316 Kitab Undang-undang Hukum Pidana.
Soal rencana pemeriksaan itu, Didiek menolak berkomentar sebab penanganan perkara itu ada di tangan polisi. ”Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan saja belum ada, kok, dari polisi kepada jaksa,” kata Didiek.
Terkait pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya, Didiek mengakui, Kejagung sebagai institusi. Namun, laporan pada Mabes Polri dilakukan jaksa Widoyoko yang memperoleh surat perintah dari Kepala Puspenkum Kejagung, yang memperoleh delegasi dari Jaksa Agung Hendarman Supandji.
Mengenai dapat tidaknya institusi sebagai pihak yang merasa dicemarkan nama baiknya, Didiek menegaskan, ”Yang menilai pengadilan.”
Tolak kriminalisasi
Di Jakarta, Koalisi Sipil membuat pernyataan bersama menolak kriminalisasi terhadap aktivis hak asasi manusia (HAM) dan antikorupsi seperti yang menimpa aktivis ICW. Kriminalisasi itu menunjukkan bahwa pemerintah saat ini meniru pola represif, antikritik, dan otoriter sebagaimana Orde Baru.
Pernyataan itu disepakati perwakilan Lembaga Bantuan Hukum (LBH), Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Perhimpunan Bantuan Hukum dan Hak Asasi Manusia Indonesia (PBHI), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), The Indonesian Legal Resource Center (ILRC), dan Imparsial, Rabu.
”Penetapan Emerson dan Illian Deta sebagai tersangka dilakukan ketika lembaga mereka sangat intens mengadvokasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terkait kriminalisasi yang dilakukan terhadap dua pimpinan KPK,” kata Direktur Manajerial Imparsial Rusdi Marpaung, yang membacakan pernyataan bersama itu.
Koordinator Kontras Usman Hamid dan dua pengacara LBH Jakarta sebelumnya juga ditetapkan sebagai tersangka ketika mengadvokasi masyarakat. ”Kriminalisasi dan penggunaan kekuatan negara untuk membungkam kerja masyarakat menggunakan pasal pencemaran nama baik adalah ancaman terhadap demokrasi,” kata Rusdi.
Jika aktivis antikorupsi dan pembela HAM mudah dijadikan tersangka, hal yang sama juga dialami masyarakat. ”Kasus Prita Mulyasari adalah contoh konkret kriminalisasi warga negara hanya karena menyampaikan keluh kesah tentang pelayanan publik,” papar Rusdi.
Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat menambahkan, kriminalisasi pembela HAM di Indonesia meningkat drastis sejak Presiden Susilo Bambang Yudhoyono berkuasa. Sampai kini sudah 21 aktivis dijadikan tersangka oleh Polri. (idr/aik)
Sumber: Kompas, 15 Oktober 2009