Kekerasan terhadap Pembela HAM Masih Marak
DALAM menjalankan aksinya, para pembela Hak Asasi Manusia (HAM) di negeri ini masih terancam dengan kasus kekerasan. Laporan yang diluncurkan Imparsial menunjukkan, selama periode 2005-2009, telah terjadi 138 kasus kekerasan yang menimpa pembela HAM.
"Upaya pembatasan terhadap pembela HAM bukan lantaran masalah hukum, tapi sarat motif politik," kata Koordinator Peneliti Imparsial Al Araf dalam jumpa pers di kantor Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, kemarin (18/10).
Usaha pembatasan itu dilancarkan dengan berbagai tindakan. Bentuk kekerasan seperti penyiksaan atau penganiayaan sebanyak 46 kasus; penangkapan sewenang-wenang 29 kasus; dan tindakan intimidasi, ancaman kekerasan maupun teror 25 kasus. Sisanya adalah kasus kriminalisasi, perusakan dan perampasan properti, penyanderaan, pelarangan buku, dan pembunuhan.
Laporan Imparsial mengklasifikasikan pembela HAM dalam profesi yang beragam. Wartawan, petani, mahasiswa, dan peneliti juga tak luput dari tindakan ini. Sementara pelaku kekerasannya, antara lain aparat polisi, TNI, serta sekelompok orang tak dikenal atau biasa disebut preman.
Menurut Al Araf, ada tiga tujuan tindakan kriminalisasi terhadap pembela HAM. Pertama, mengancam pelaku pembela HAM. Kedua, untuk membatasi ruang kerja aktivis yang bersifat kritis. Ketiga, untuk menciptakan demoralisasi terhadap pembela HAM supaya takut terhadap kekuasaan negara.
Sejumlah tuduhan digunakan untuk mengkriminalisasi pembela HAM, seperti penghinaan, penghasutan, kebencian terhadap pemerintah, dan pencemaran nama baik. Hal yang terakhir ini merupakan tuduhan yang paling sering diterapkan dalam dua tahun terakhir.
Sebagai contoh, tuduhan pencemaran nama baik yang menimpa dua aktivis Indonesian Corruption Watch Emerson Yuntho dan Illian Deta Arta Sari. Keduanya ditetapkan sebagai tersangka oleh kepolisian karena mengungkapkan data audit Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang jumlah kasus penanganan korupsi yang ditangani oleh kejaksaan. ICW menyebutkan, uang yang berhasil diselamatkan institusi pimpinan Hendarman Supandji tersebut hanya menyentuh angka Rp382,67 miliar.
Al Afar menilai, tuduhan kepada para pembela HAM dengan mudah disangkakan lantaran sejumlah pasal dalam KUHP bersifat karet, seperti Pasal 510, 310, 311, 315, 160 dan 156. "Kami meminta agar revisi pasal-pasal karet segera dilakukan dan supaya Presiden menginstruksikan kejaksaan dan kepolisian agar tak memakai pasal itu lagi."
Sementara itu, Koordinator Human Rights Working Group (HRWG) Rafendi Djamin mengaku khawatir atas fakta yang ditemukan tim peneliti Imparsial itu. Menurutnya, kekerasan terhadap pembela HAM justru meningkat pada dua tahun terakhir. "Ini bertentangan dengan semangat reformasi hukum dan HAM serta komitmen pemerintah sendiri," ujarnya.[by : Melati Hasanah Elandis]
Sumber: Jurnal nasional, 19 Oktober 2009