Kembali ke Laptop!

Salah satu ciri khas komedian Tukul Arwana saat membawakan acaranya di salah satu stasiun TV adalah Kembali ke Laptop! Seperti ungkapan Pusing-pusing-pusiiing dan Kasihan deh lo yang pernah dipopulerkan Peggy Melati Sukma, ungkapan Kembali ke laptop pun sangat mesra di telinga banyak orang. Efeknya, barang bernama laptop semakin populer. Bahkan, orang gaptek pun (gagap teknologi) sekarang tahu barang itu, meski belum pernah memegangnya.

Di beberapa universitas dengan fasilitas wireless fidelity (WiFi), laptop menjadi tren mahasiswa berduit. Bagi mereka, menenteng buku tak lagi menjadi style mahasiswa masa kini. Sebab, tren mahasiswa kekinian adalah jika mereka ke mana-mana menjinjing laptop.

Ternyata, tak hanya mahasiswa yang terkena wabah virus laptop. Anggota DPR pun tak mau ketinggalan. Mereka dengan segera mengusulkan agar setiap anggota dewan dibekali sebuah laptop. Harganya pun tak tanggung-tanggung, Rp 22 juta per unit.

(Lagi-Lagi) Tak Rasional
Rencana pengadaan laptop semakin menambah panjang daftar kebijakan irasional negara. Belum usang dari ingatan kita tentang PP 37/2006 yang menjadi bukti hilangnya harga diri wakil rakyat, kini pengadaan laptop senilai miliaran rupiah berganti mencuat. Jika rapel, gaji, dan tunjangan tak bisa ditambah, laptoplah gantinya, mungkin demikian opini publik terhadap anggota dewan saat ini.

Publik pun semakin gemas dengan wakil rakyat di Jakarta. Mereka bukannya memikirkan kasus lumpur Lapindo yang kian menyengsarakan, banyaknya korupsi, dan segudang permasalahan lain di negeri ini. Tapi, anggota dewan malah mengurusi PP 37 Tahun 2006, syarat capres sarjana, dan pengadaan laptop.

Wakil rakyat seharusnya merakyat/Jangan tidur waktu sidang soal rakyat/Wakil rakyat bukan paduan suara/Hanya tahu nyanyian lagu setuju. Sepenggal lirik Surat buat Wakil Rakyat karya Iwan Fals setidaknya menjadi saksi sinis publik terhadap wakil rakyatnya. Mereka dinilai telah semakin jauh dari rakyat.

Sebenarnya, logika atas pengadaan laptop sungguh irasional. Sebab, logika utama yang dibangun adalah agar kinerja anggota dewan meningkatkan. Itu mengisyaratkan bahwa selama ini kinerja dewan dianggap belum maksimal dan membuahkan hasil yang signifikan. Dengan demikian, kebutuhan akan laptop sangat urgen (mendesak dan penting).

Logika semacam itu pernah ditunjukkan negara pada era Orde Baru. Yakni, ketika Harmoko berkunjung ke Timor-Timur yang baru berintegrasi dengan Indonesia. Ketika itu, Harmoko melihat provinsi termuda tersebut sangat terbelakang. Mengacu pada standar UNESCO, negara maju adalah negara yang setiap tiga penduduknya memiliki satu televisi. Maka, untuk membuat provinsi ke-27 itu take-off (lepas landas), negara kemudian mengirimkan televisi ke Timor-Timur secara besar-besaran.

Sesat pikir itu rupanya berulang dalam pengadaan laptop. Asumsi bahwa jika tiap tiga penduduk memiliki satu televisi, berarti negara dikategorikan maju kembali terjadi. Yakni, jika anggota dewan memiliki laptop, kinerjanya dapat meningkat. Benarkah demikian?

Tentu hal tersebut adalah sesat pikir sedalam-dalamnya. Sebab, kinerja DPR yang buruk tak mungkin karena tidak memiliki laptop. Toh kalaupun tak punya, sangat lucu jika anggota dewan tak kuasa membeli laptop dengan gaji sebesar itu. Jika mereka tak punya, itu bukan karena gajinya yang kecil, tapi lebih pada rasa ketidakbutuhan dan bahkan tak bisa dalam pengoperasian.

Pengadaan laptop sebenarnya malah menimbulkan, meminjam istilah William Ogburn dan Mayer Nimkoff, cultural lag (kesenjangan budaya). Dalam teori tersebut, perubahan satu aspek kebudayaan yang tidak diikuti aspek kebudayaan lain akan menimbulkan krisis kesenjangan (dalam Jalalludin Rahmat, Rekayasa Sosial).

Hal itu nantinya terjadi pada kebijakan pengadaan laptop. Yakni, pengadaan laptop sebagai bagian dari perubahan teknologi, namun tidak diikuti perubahan mentalitas kerja. Dengan demikian, yang terjadi adalah krisis kesenjangan.

Akibatnya, pengadaan laptop hanya menjadi bonafiditas elitisme dan hedonistis anggota dewan. Sementara itu, rakyat yang diwakilinya hidup dalam serba keterbatasan. Kesenjangan tersebut disebabkan kebijakan irasional yang dikeluarkan negara.

Kembali ke Laptop
Dalam acaranya, Tukul Arwana terkenal dengan style Kembali ke laptop. Esensi utama yang didapat penonton adalah dagelan yang menertawaan kejelekan dan kebodohan dirinya. Parodi ndeso ala Tukul menjadi bentuk paradi baru dengan format memanfaatkan kejelekan diri sendiri. Jarang memang, ada pelawak yang sengaja menjelek-jelekkan dirinya -yang sudah jelek- sebagai bagian dari lawakan.

Nah, jika DPR tetap bersikeras mengegolkan kebijakan irasional semacam pengadaan laptop, itu sama saja dengan menertawakan dirinya di hadapan publik. Seperti halnya Tukul yang sengaja menjual kejelekan dirinya agar mendapat imbalan besar.

Demikiankah yang terjadi pada anggota dewan kita? Yakni, untuk mendapatkan imbalan lebih berupa laptop, mereka harus ditertawakan publik terlebih dahulu. Entahlah.

Hendra Try Ardianto, mahasiswa Ilmu Pemerintahan Universitas Gadjah Mada. Aktif dalam Forum Persma Sosial-Humaniora UGM, Jogjakarta

Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 26 Maret 2007

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan