Kemenhan Diminta Buka Informasi Pengadaan Sukhoi
Aspek kerahasiaan dalam pengadaan alat utama sistem pengamanan (alutsista) masih menjadi tameng yang digunakan Kementerian Pertahanan untuk menutup informasi tender proyek bernilai triliunan rupiah itu dari pengawasan publik. Ketertutupan proses dinilai membuka peluang korupsi.
Koalisi Masyarakat Sipil segera mengajukan permintaan informasi kepada Kemenhan selaku penyelenggara proyek pengadaan
alutsista dengan nilai anggaran mencapai Rp 150 triliun. Koalisi meminta kemenhan memberikan informasi mengenai proses
pelaksanaan tender, penunjukan perusahaan perantara (broker), spesifikasi pesawat, kontrak performa, skema pembayaran melalui kredit ekspor, hingga ke sistem pelunasan.
Wakil Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Adnan Topan Husodo mengatakan, pemerintah dalam hal ini Kemenhan harus bersikap terbuka dan menjelaskan polemik dalam pengadaan 6 unit pesawat Sukhoi ini kepada publik. Keterbukaan informasi akan membuka peluang publik mengawasi penggunaan anggaran. "Ketika pemerintah dan DPR menaikkan anggaran alutsista sampai Rp 150 triliun, harus dipastikan penggunaannya efektif dan efisien," tukas Adnan dalam diskusi "Kenaikan BBM Vs Kenaikan Anggaran Alutsista" di lobi kantor Human Right Working Group, Gondangdia, Jakarta, Rabu (28/3/2012).
Beberapa catatan penting yang harus segera dijelaskan diantaranya indikasi mark-up dalam pembelian mesin pesawat. Dari data yang diterima ICW, terjadi selisih USD 3,5 juta untuk pembelian mesin pesawat Sukhoi. Pemerintah mengajukan anggaran USD 6,5 juta untuk satu unit mesin, sementara harga pasaran hanya sekitar USD 3 juta.
Adnan juga mencurigai peran sejumlah purnawirawan TNI yang menjabat sebagai komisaris atau direksi sejumlah perusahaan
rekanan yang biasa menangani proyek-proyek pengadaan persenjataan di TNI.
Indikasi permainan suap dan gratifikasi dalam proyek pengadaan persenjataan juga terlihat dari hasil audit Badan Pemeriksa
Keuangan (BPK). Dalam proyek pengadaan MI 17 pada tahun 2006, BPK menemukan indikasi penggelapan dana oleh broker senilai USD 3,27 jutatelah diaudit, ternyata suplier dan broker tidak memiliki lisensi.
"Melihat kejanggalan yang terjadi dalam pengadaan Sukhoi, sudah waktunya mendorong BPK melakukan audit spesifik, jika perlu menggunakan keahlian auditor teknologi. BPK bisa masuk kesana karena ini anggarann negara. Kita belum pernah dapat hasil dari BPK terkait pengadaan alutsista," terang Adnan.
Terkait ketertutupan informasi proyek pengadaan Sukhoi, ternyata tak hanya dikeluhkan oleh kelompok masyarakat sipil. Komisi I DPR RI yang membawahi bidang pertahanan juga merasa kesulitan mendapatkan laporan lengkap proyek pengadaan pesawat tempur dari Rusia ini.
Anggota Komisi I DPR RI Helmy Fauzi mengatakan, Komisi I hingga saat ini belum menerima salinan kontrak performa yang
menjelaskan secara detail spesifikasi dan volume pesawat serta mesin dan perangkat avionik yang dibeli. "Pada praktiknya kami kesulitan mendapatkan salinan kontrak itu, dengan alasan terlalu detail dan tidak ingin merepotkan. Repot atau tidak, itu urusan kami," kata Helmi.
Helmy meminta Kemenhan memupus alasan kerahasiaan negara untuk menutup partisipasi publik. "Limited exception itu harus ada di UU rahasia negara. Jadi harus jelas apa yg bisa dibuka apa yang tidak," tukasnya.
Ketua Komisi Informasi Pusat (KIP) Abdurrahman Makmun menyarankan masyarakat sipil mengajukan uji informasi publik kepada Kemenhan untuk menguji apakah informasi yang diminta merupakan informasi publik atau rahasia negara. "Dalam sengketa informasi antara LSM dengan Badan Intelejen Negara, misalnya, kemudian disepakati bahwa semua informasi kecuali rencana operasi intelijen adalah informasi publik. Untuk kasus Kemenhan ini kita harus uji dulu," tukas Abdurrahman. Farodlilah