Kena Dua Tahun, Romli Akui Korban
Sidang Korupsi Biaya Akses Sisminbakum
Sidang korupsi biaya akses Sistem Administrasi Badan Hukum (Sisminbakum) Depkum HAM dengan terdakwa Romli Atmasasmita di Pengadilan Negeri Jakarta Selatan akhirnya tuntas. Majelis hakim menjatuhkan vonis dua tahun penjara untuk mantan Dirjen Administrasi Hukum Umum (AHU) tersebut.
Selain pidana penjara, hakim memberikan hukuman denda Rp 100 juta subsider dua bulan kurungan. Romli juga dikenai uang pengganti USD 2 ribu dan Rp 5 juta. "Dibayarkan paling lambat satu bulan setelah putusan memiliki kekuatan hukum tetap," tutur Ahmad Yusak selaku ketua majelis hakim saat pembacaan putusan kemarin (7/9).
Majelis hakim berpendapat, Romli terbukti melanggar UU Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Tipikor), yakni pasal 3 jo pasal 18 jo pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. "Terdakwa terbukti ikut menikmati uang bagian akses fee sisminbakum," ungkap hakim Albertina.
Meskipun dalam sidang membantah telah menerima uang USD 2 ribu dan Rp 5 juta, menurut hakim, pernyataan terdakwa dinilai tidak beralasan. "Itu berdasar keterangan saksi-saksi di bawah sumpah serta saling bersesuaian antara satu dan lainnya," terang Yusak.
Dia menyatakan, seharusnya biaya akses yang diterima Ditjen AHU dari Koperasi Pengayoman Pegawai Departemen Kehakiman dan HAM (KPPDK) adalah uang negara. Namun, terdakwa dinilai mengarahkan uang itu untuk dibagi-bagikan kepada pegawai Ditjen AHU sebagai biaya transportasi dan ongkos makan. "Terdakwa telah menguntungkan orang lain dan diri sendiri," jelasnya.
Majelis hakim juga menyebut Romli terbukti melawan hukum. Yakni, dia membuat perjanjian pembagian biaya akses 60:40 persen antara KPPDK dan Ditjen AHU.
Yusak menegaskan, hukuman yang dijatuhkan itu bukan balas dendam, melainkan pembinaan bagi terdakwa. Apalagi, Romli dianggap berjasa, antara lain, sebagai pegawai Depkum HAM dan guru besar Universitas Padjadjaran. Bahkan, dia termasuk dalam tim perumus UU Pemberantasan Tipikor yang kini menjeratnya.
Romli dan tim kuasa hukumnya langsung menyatakan banding. Dia menyebut hakim telah memutus berdasar fakta yang keliru. "Yang paling penting, saya tidak menikmati uang tersebut," ucap Romli.
Dia menegaskan tidak pernah menandatangani bukti penerimaan bagian fee itu. Romli justru menyebut, jika layanan itu salah, yang paling bertanggung jawab adalah Menkeh HAM (Menkum HAM) Yusril Ihza Mahendra hingga Hamid Awaludin. "Saya dikorbankan," akunya. Demikian juga soal tidak disebutnya nama pengusaha Hartono Tanoesoedibjo dalam putusan.
Juniver Girsang selaku kuasa hukum Romli menambahkan bahwa kliennya tidak bisa dipersalahkan dalam kebijakan tersebut. "Belum pasti bahwa itu (biaya akses, Red) adalah uang negara," ungkap dia. Dia lantas menyebut BPKP tidak pernah menyatakan ada kerugian negara. "Putusan pengadilan dipaksakan," sambungnya.
Dalam layanan sisminbakum, notaris dikenai pungutan dengan dalih fee akses Rp 1,35 juta. Jumlah itu tidak termasuk penerimaan negara bukan pajak (PNBP) sebesar Rp 200 ribu. Pungutan tersebut dinilai menguntungkan rekanan, yakni PT Sarana Rekatama Dinamika (SRD), yang mendapatkan bagian 90 persen. Sisanya, 10 persen, menjadi bagian KPPDK. Selama Romli menjabat Dirjen AHU mulai April 2001 hingga April 2002, jumlah penerimaan Rp 1,31 miliar. (fal/iro)
Sumber: Jawa Pos, 8 September 2009