Kenaikan Gaji DPRD DKI
Gubernur DKI Jakarta Sutiyoso menaikkan pendapatan DPRD DKI secara drastis melalui Peraturan Gubernur Nomor 114/2005 tentang belanja DPRD DKI. Kenaikan pendapatan itu meliputi kenaikan dari sisi penghasilan tetap yang meliputi uang representasi, tunjangan keluarga, uang paket, tunjangan beras, ataupun tunjangan jabatan. Sebagai contoh, nilai penghasilan tetap anggota sampai Ketua DPRD yang sebelumnya berkisar Rp 5-6 juta, dengan Peraturan Gubernur Nomor 114/2005 menjadi Rp 6-8 juta. Selain itu, peraturan gubernur tersebut menaikkan belanja penunjang DPRD yang signifikan pula. Ambil contoh, kenaikan insentif khusus atau uang lelah untuk Ketua DPRD yang lebih dari tiga kali lipat, yakni sebelumnya Rp 600 ribu menjadi Rp 2 juta
Pertanyaan mendasar yang patut kita ajukan, layakkah menaikkan gaji DPRD DKI, apalagi dalam jumlah yang signifikan pada kondisi sosial-ekonomi kekinian kita? Saya sangat yakin kalau pertanyaan dijadikan pertanyaan jajak pendapat atau survei bagi penduduk DKI, dugaan saya lebih dari 90 persen akan mengatakan tidak layak. Terlebih-lebih lagi kalau responden yang dipilih itu adalah masyarakat kecil yang saat ini masih bergumul dengan dampak dari kebijakan kenaikan harga bahan bakar minyak yang sangat signifikan, 1 Oktober lalu. Mengapa tidak layak?
Pertama, kenaikan gaji anggota DPRD DKI tersebut tidak layak jika kita lihat setting kehidupan sosial ekonomi rakyat yang pada umumnya sangat memprihatinkan seperti kondisi sekarang ini. Para pejabat publik, seperti kepala pemerintahan daerah ataupun anggota legislatifnya, seharusnya mampu berempati dengan kondisi rakyat pada umumnya untuk menunjukkan kebersamaan dalam menjalani masa sulit akibat kebijakan kenaikan harga BBM. Oleh Presiden dikatakan, kebijakan tersebut akan memaksa kita merasakan short pain untuk mendapatkan kebaikan dalam jangka panjang (long term gain).
Bagaimana mungkin seorang wakil rakyat mendapat kenaikan gaji yang signifikan besarnya pada saat yang bersamaan terdapat kondisi kesejahteraan rakyat yang sedang merosot tajam. Pada satu sisi, kita melihat ada kebijakan yang berakibat penurunan kesejahteraan rakyat yang signifikan seperti pada kasus kenaikan harga BBM lalu. Adapun pada sisi lain, lahir pula kebijakan yang menaikkan kesejahteraan pejabat, seperti pada kasus Peraturan Gubernur DKI Nomor 114/2005. Melihat kenyataan tersebut, saya rasa sulit bagi seseorang yang berpandangan obyektif untuk tidak mengatakan bahwa logika pemerintah perlunya short pain untuk mendapatkan long term gain adalah logika yang kehilangan hujjah-nya dalam realitas. Dengan bahasa lain, kita bisa mengatakan bahwa kenaikan gaji para anggota DPRD DKI dalam jumlah yang cukup signifikan tersebut sangat tidak cerdas secara moral.
Kedua, jika kebijakan menaikkan gaji itu kemudian disambut mesra oleh para anggota legislatif DPRD DKI, tak pelak lagi, hal ini akan memperparah apatisme sosial, khususnya di kalangan rakyat kecil yang dipaksa menonton perilaku para pejabat publik mereka. Anda dapat membayangkan, betapa tekanan ekonomi masyarakat kecil yang sudah berat akan semakin berat melalui tekanan psikis. Ini ketika mereka melihat partai dan orang yang mereka pilih untuk memperjuangkan kepentingan mereka bukannya berempati dengan sama-sama mengencangkan ikat pinggang dalam kondisi yang serba sulit seperti saat ini, tapi ingin sejahtera sendiri dan mengabaikan mereka.
Ketiga, anggaran negara kita sangat terbatas. Dengan argumentasi ini pemerintah pusat menaikkan harga BBM agar dana APBN masih bisa dialokasikan untuk pembangunan, tidak terkuras habis oleh subsidi BBM. Seharusnya logika ini juga eksis di tingkat pemerintah daerah bahwa keterbatasan anggaran tersebut berkonsekuensi kita harus mengalokasikan dana terbatas tersebut untuk pos-pos pengeluaran yang mempunyai skala prioritas tertinggi dalam memberikan kontribusi bagi kesejahteraan rakyat.
Sungguh ironi yang memilukan kalau kemudian anggaran yang terbatas tersebut lebih diprioritaskan untuk menaikkan gaji anggota DPRD. Padahal di sisi lain kita lihat masih banyak rakyat miskin yang butuh sekolah, fasilitas kesehatan yang kurang memadai, atau infrastruktur publik yang belum mampu menjadikan daerah Jakarta bebas dari banjir rutin setiap musim hujan tiba. Mengalokasikan dana negara yang terbatas tersebut untuk membangun fasilitas pendidikan, kesehatan, serta infrastruktur publik lainnya jelas akan memberi dampak multiplier terhadap perekonomian, baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Sementara itu, pengeluaran anggaran berupa pengeluaran rutin berupa kenaikan gaji dan tunjangan anggota Dewan tidak punya dampak multiplier terhadap perekonomian DKI.
Keempat, DPRD punya posisi tawar yang tinggi terhadap pemerintah sehingga sangat mungkin kenaikan gaji anggota Dewan ini ada win-win solution di dalamnya. Sebagaimana kita ketahui, DPRD di era reformasi merupakan entitas politik yang sangat powerful bagi pihak eksekutif daerah. Menaikkan gaji DPRD itu bisa menjadi sarana untuk mendorong sikap Dewan menjadi kooperatif terhadap pemerintah. Dengan politik akomodasi ini, eksekutif bisa berharap DPRD lebih nyaman dan tenang, dan tidak memberikan resistensi yang panjang terhadap kebijakan-kebijakan pemerintah. Dengan demikian, pihak eksekutif akan bisa mengantisipasi guncangan-guncangan politik yang tidak mereka inginkan. Dengan kata lain, kita ingin mengatakan, argumentasi yang sedemikian ini lebih realistis dan masuk akal menjadi latar belakang kenaikan anggota DPRD DKI dibanding dengan argumentasi gubernur yang mengatakan bahwa kenaikan gaji itu bertujuan untuk mencegah DPRD dari korupsi.
Kebijakan gubernur untuk menaikkan pendapatan anggota DPRD ini hampir dapat dipastikan akan disambut mesra oleh mayoritas DPRD DKI. Kendati demikian, kita perlu mengingatkan para anggota DPRD pada umumnya dan khususnya parpol yang menaunginya bahwa walaupun tidak punya kekuatan konstitusional untuk menentang kebijakan gubernur, rakyat tentu saja punya nurani dan akal sehat. Mereka bisa menilai siapa anggota DPRD dan parpol yang berempati kepada mereka, yang berkomitmen memperjuangkan kesejahteraan mereka.
Rakyat sudah cukup cerdas untuk mengetahui bahwa mereka punya kekuatan vote yang nanti dapat mereka gunakan untuk menghukum anggota DPRD dan parpol yang memanfaatkan kedudukan dan fungsi legislasinya sekadar untuk memperjuangkan kepentingan pribadi dan parpolnya. Karena itu, kalau boleh kita mengajukan saran, para legislatif di DPRD DKI sebaiknya menolak kebijakan gubernur melalui Peraturan Gubernur Nomor 114/2005 yang sangat tidak populer tersebut.
Oleh: Andi Irawan
Pengamat Ekonomi, Staf Pengajar Di Universitas Bengkulu Dan Universitas Paramadina, Jakarta
Koran Tempo, 18 Oktober 2005