Kenaikan Gaji Jaksa dan Korupsi
Kejaksaan Agung meminta pemerintah menaikkan tunjangan atau renumerasi para jaksa karena gaji yang mereka terima selama ini dinilai masih rendah dibanding hakim. Menurut Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin, gaji yang diterima para pejabat kejaksaan dan jaksa fungsional sangat minim sehingga mereka bisa tergoda dalam menangani perkara (JP 5/4).
Kejaksaan Agung meminta pemerintah menaikkan tunjangan atau renumerasi para jaksa karena gaji yang mereka terima selama ini dinilai masih rendah dibanding hakim. Menurut Wakil Jaksa Agung Muchtar Arifin, gaji yang diterima para pejabat kejaksaan dan jaksa fungsional sangat minim sehingga mereka bisa tergoda dalam menangani perkara (JP 5/4).
Pertanyaannya, apakah kalau gaji sudah dinaikkan sehingga memenuhi kriteria kesejahteraan hidup, dijamin tidak akan ada lagi jaksa yang menerima suap atau korupsi dalam menangani perkara?
Korupsi dan Mental
Banyak kenyataan yang sudah menunjukkan, jumlah gaji yang tinggi tak menjamin seseorang tidak melakukan tindak korupsi atau menerima suap (gratifikasi).
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan para oknum pejabat di Bulog, Pertamina, Bank Mandiri, serta Bank Indonesia menunjukkan secara riil, tidak adanya korelasi antara gaji yang tinggi dan perbuatan korupsi.
Perbuatan korupsi atau menerima suap lebih banyak berurusan dengan kualitas mental manusia daripada berkaitan dengan jumlah gaji yang diterima. Menurut hadits Nabi Muhammad SAW, kalau manusia diberi dua bukit emas, maka dia masih berkeinginan untuk memiliki bukit emas ketiga, sampai tanah menutup mulutnya atau mati.
Hadits itu memberikan perspektif religius, betapa sesungguhnya manusia memiliki jiwa serakah, seberapa pun besar harta sudah dimilikinya. Hanya iman dan takwa yang tinggi yang bisa membangunkan jiwa manusia untuk menerima dan mensyukuri pemberian Allah, seberapa pun adanya (qanaah).
Dari perspektif kriminologis, korupsi termasuk dalam kategori kejahatan kelas elite atau white collars crime. Menurut penemu teori itu, Sutherland, kejahatan-kejahatan yang dilakukan para elite tersebut berkaitan dengan profesinya. Karena itu, sifatnya eksklusif, sistematis, berjangka lama, dan sulit dibuktikan. Seperti kejahatan jual beli perkara atau mafia peradilan, hanya kalangan profesi advokat, hakim, jaksa, dan polisi yang bisa melakukannya.
Motivasi dilakukannya kejahatan itu lebih pada soal keserakahan (greed) pelaku daripada dorongan kebutuhan (need) untuk menyambung hidup sehari-hari.
Apabila kejahatan kelas bawah atau jalanan (blue collars crime), seperti perampokan atau penodongan, dilakukan oleh pelaku karena desakan kebutuhan hidup, maka kejahatan elite seperti korupsi lebih untuk memenuhi selera atau gaya hidup tinggi para pelakunya.
Mereka sesungguhnya sudah berpenghasilan lebih dari cukup untuk memenuhi standar kesejahteraannya, namun nafsu keserakahan atas selera hidup yang tinggi (hedonisme) menyebabkan mereka harus mencari penghasilan lebih secara ilegal guna mewujudkannya. Mental hedonistis ini tidak serta merta hilang dengan dinaikkannya gaji seseorang.
Moralistis dan Abolisionistis
Upaya penanggulangan kejahatan (korupsi) di kalangan kejaksaan dengan cara menaikkan gaji mereka hanyalah salah satu cara untuk menghapuskan sebab-sebab terjadinya kejahatan (abolisionistis). Namun, pendekatan abolisionistis dengan menaikkan gaji saja dipandang tidak akan mencukupi dan sangat konvensional apabila tidak disertai dengan pendekatan moralistis.
Yakni, membangun moralitas di kalangan aparat kejaksaan, juga penegak hukum lainnya, melalui berbagai sarana untuk memperteguh moral dan mental mereka, agar terhindar dari nafsu untuk berbuat korupsi. Misalnya, melalui pendidikan, pengawasan, dan penegakan etika profesi yang ketat dan tegas, sanksi hukum dan administratif yang berat bagi pelaku, yang akan memberikan efek penjeraan (deterent) kepada yang lain, serta pembangunan kultur kerja yang religius.
Dalam kaitan ini, pembentukan organisasi-organisasi dan kegiatan-kegiatan yang relevan untuk penanggulangan korupsi di kejaksaan sangatlah direkomendasikan.
Dalam tubuh kejaksaan saat ini sudah ada Komisi Kejaksaan. Sejauh mana efektivitas komisi ini dalam ikut membangun kultur kejaksaan yang antikorupsi, itu sangat tergantung kepada efektivitas program kerja yang mereka lakukan serta daya terima lembaga kejaksaan atas hasil kerja Komisi Kejaksaan.
Praktik sinergi yang tidak harmonis antara Komisi Yudisial dan Mahkamah Agung, yang sering bersitegang dan kontradiktif dalam merespons kebijakan antarlembaga mereka, tidaklah perlu dicontoh oleh Kejaksaan Agung dan Komisi Kejaksaan.
Sayang, selama ini kita belum mendengar kiprah Komisi Kejaksaan yang berarti dalam melakukan pengawasan kinerja kejaksaan. Terungkapnya kasus dugaan penerimaan suap yang melibatkan jaksa Urip Tri Gunawan, yang juga memakan korban penggantian jabatan Jampidsus dan direktur penyidikannya, belum membuat Komisi Kejaksaan berkiprah secara signifikan untuk ikut membenahi kinerja kejaksaan. Informasi tentang apa program-program kerja mereka mendatang pun, publik kurang tahu.
Berkaitan dengan semua paparan di atas, usul kenaikan gaji para jaksa sebagai bagian dari reformasi birokrasi memang perlu mendapatkan respons positif dari pemerintah. Namun, berharap bahwa kenaikan gaji itu akan memberantas praktik korupsi di tubuh kejaksaan akan sangat simplisitis atau menyederhanakan persoalan. Tentu saja, apabila tidak diikuti langkah-langkah moralistis dan abolisionistis lainnya secara simultan.
Ernanto Soedarno, advokat dan ketua Alumni Fakultas Hukum Universitas Airlangga
Tulisan ini disalin dari Jawa Pos, 9 April 2008