Kenaikkan Gaji Pejabat Direalisasikan Mulai Januari 2010
Start 2010, Menkeu Cabut Aturan Lama
Kontroversi seputar rencana kenaikan gaji pejabat negara tak membuat pemerintah berubah keputusan. Bahkan, rencana itu siap direalisasikan mulai Januari 2010. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, anggaran untuk remunerasi pejabat negara sudah masuk pos belanja pegawai.
Pejabat yang dimaksud ialah presiden, wakil presiden, menteri, panglima TNI, jaksa agung, gubernur, bupati, ketua DPR/DPD, ketua MPR, anggota DPR, DPRD, termasuk hakim. ''Sistem ini sudah siap berdasarkan anggaran. Jika kebijakan politiknya sudah disetujui, ini bisa mulai 1 Januari 2010,'' ujarnya dalam konferensi pers di Kantor Departemen Keuangan kemarin (28/10).
Menurut Sri Mulyani, selama ini penetapan remunerasi pejabat negara menggunakan payung hukum berupa UU Nomor 12 Tahun 1980
Namun, lanjut dia, undang-undang itu tidak sesuai dengan kondisi sekarang karena tak mengatur remunerasi lembaga negara baru seperti DPD, Mahkamah Konstitusi, maupun Komisi Yudisial. ''Ini membuat tidak adanya keseragaman dalam pemberian gaji dan tunjangan pejabat negara,'' katanya.
Untuk merespons perkembangan tersebut, kata Sri Mulyani, sejak 2005, presiden sudah menginstruksi Menkeu dan menteri pendayagunaan aparatur negara (Men PAN) menyusun suatu kebijakan yang utuh dan komprehensif agar tercapai suatu sistem remunerasi pejabat negara yang adil dan tepat.
Menurut dia, dasar hukum pengaturan remunerasi pejabat negara yang berlaku saat ini tersebar dalam lebih dari 35 peraturan perundangan dalam bentuk peraturan pemerintah, keppres, perpres, keputusan menteri keuangan, dan SK Sekjen kementerian/lembaga. Akibatnya, tidak ada konsistensi dalam penetapannya. ''Jadi, jika ada peraturan pemerintah yang baru, 35 peraturan itu akan dicabut supaya tidak tumpang tindih,'' terangnya.
Lalu, berapakah kenaikan gaji atau remunerasi yang akan dinikmati para pejabat nanti? Sri Mulyani mengatakan, besaran yang dimasukkan dalam program remunerasi belum bisa disampaikan. ''Yang jelas sudah masuk APBN 2010. Aplikasinya akan disesuaikan, tapi belum bisa saya sampaikan karena PP-nya belum dibuat,'' ujarnya.
Sri Mulyani justru memaparkan kebijakan belanja pegawai dalam lima tahun terakhir yang mengutamakan perbaikan gaji PNS, TNI-Polri, dan pensiunan serta veteran. Terutama kelompok penghasilan terendah (golongan I dan II).
Misalnya, PNS golongan IA yang pada 2004 memperoleh penghasilan Rp 674.050 naik menjadi Rp 1.892.220 pada 2010. Tamtama/bintara dari Rp 1.271.600 menjadi Rp 2.505.180 atau naik dua kali lipat. Tunjangan veteran juga naik dari Rp 526.000 menjadi Rp 1.260.000. ''Sementara itu, gaji presiden dan menteri tidak naik,'' sebutnya.
Menurut Sri Mulyani, berdasar hasil evaluasi, secara rata-rata uang tunai yang diterima pejabat negara relatif rendah. Hal itu bisa dilihat dari perbandingan dengan gaji pejabat di negara-negara lain. Bahkan, lanjut dia, selama 8 tahun besaran gaji pokok, tunjangan, dan fasilitas menteri di Indonesia tidak pernah berubah.
Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi E.E. Mangindaan menambahkan, dalam reformasi birokrasi, pemerintah mengutamakan bidang penataan kelembagaan atau bagaimana membuat struktur organisasi sesuai kondisi yang ada.
''Kami harus segera menyiapkan peraturan perundang-undangan. Antara lain, dalam waktu dekat harus ada undang-undang kepegawaian atau aparatur negara. Kalau sudah ada, ini akan sangat membantu dalam hal penetapan remunerasi,'' jelasnya.
Menurut Sri Mulyani, remunerasi pejabat negara yang berlaku saat ini terdiri atas tiga komponen. Pertama, gaji pokok atau salary. Kedua, tunjangan atau allowance yang terdiri atas tunjangan jabatan, tunjangan keluarga, tunjangan kehormatan, uang sidang, tunjangan komunikasi intensif, dan lain-lain yang bervariasi pada setiap lembaga negara.
Ketiga, fasilitas atau benefit yang terdiri atas kendaraan dinas, rumah jabatan, kesehatan, listrik dan telepon, sopir pribadi, operasional harian, bantuan BBM, pengawalan dan pelayanan pimpinan, dan lain-lain yang bervariasi pada setiap lembaga negara.
Sri Mulyani menyebutkan, jika diperhitungkan hanya dalam bentuk uang tunai, secara rata-rata penghasilan (gaji dan tunjangan) pejabat negara relatif rendah. ''Karena itu, banyak pejabat negara yang mendapatkan tambahan tunjangan dari masing-masing lembaga berdasar kebijakan internal atau surat Sekjen masing-masing,'' terangnya.
Sebagai gambaran, sejak 5 tahun lalu hingga kini, gaji presiden RI sebesar Rp 62,74 juta per bulan. Itu terdiri atas gaji pokok Rp 30,24 juta dan tunjangan jabatan Rp 32,50 juta. Gaji wakil presiden RI sebesar Rp 42,16 juta per bulan, yang terdiri atas gaji pokok Rp 20,16 juta dan tunjangan jabatan Rp 22,00 juta. Gaji menteri dan pejabat setingkat menteri Rp 18,648 juta per bulan, yang terdiri atas gaji pokok Rp 5,04 juta dan tunjangan jabatan Rp 13,608 juta.
Jika dibandingkan dengan gaji eksekutif lain, misalnya jajaran Dewan Gubernur Bank Indonesia, gaji eksekutif RI memang jauh lebih rendah. Sebagai gambaran, saat ini anggota Dewan Gubernur BI, termasuk Boediono saat menjabat sebagai gubernur BI, menerima tidak kurang dari Rp 200 juta per bulan.
Demikian juga para eksekutif di BUMN-BUMN besar. Ambil contoh, Sofyan Basyir, Dirut BRI, mengantongi gaji Rp 167 juta per bulan. Itu gaji tertinggi bila dibandingkan dengan bos perusahaan pelat merah yang lain. Selain gaji, Sofyan mendapatkan tantiem sekitar Rp 6,036 miliar sehingga total penerimaan Sofyan sepanjang 2009 adalah Rp 8,04 miliar atau Rp 670 juta per bulan.
Kecemburuan Sosial
Meski pemerintah menyatakan memiliki alasan logis untuk menaikkan gaji para pejabat negara, ketiadaan standardisasi antara remunerasi dan kinerja tetap memantik kontroversi.
Direktur Direktur Pelaksana Lembaga Studi Kebijakan Publik Ichsanuddin Noorsy mengatakan, langkah pemerintah untuk menaikkan gaji pejabat belum pas karena pemerintah sendiri belum memiliki parameter yang jelas untuk menjelaskan alasan kenaikan gaji. ''Jika tetap dilakukan, ini sama saja dengan menyulut sumbu kecemburuan sosial di masyarakat,'' ujarnya ketika dihubungi tadi malam.
Menurut Ichsanuddin, kenaikan gaji pejabat negara harus didahului dengan beberapa parameter. Pertama, apakah layanan publik sudah membaik dan apakah ada jaminan pemerintah bahwa jika gaji pejabat negara dinaikkan, peningkatan pelayanan publik akan pararel.
Kedua, harus ada standar jenjang karir dan penilaian kinerja yang mencerminkan profesionalisme. ''Lihat saja, hingga kini, iklim birokrasi kita masih diwarnai dengan budaya jilat-menjilat. Jadi, tidak ada performance appraisal (penilain kinerja, Red) yang jelas,'' katanya. Jika jaminan tersebut tidak bisa diberikan dan dijelaskan secara gamblang kepada masyarakat, yang muncul kemudian adalah ketidakpuasan publik. ''Dengan demikian, opini publik akan terbentuk bahwa kenaikan gaji hanyalah wujud sikap keserakahan pejabat,'' tegasnya.
Terkait pernyataan Menkeu Sri Mulyani yang menyebutkan gaji pejabat RI lebih rendah daripada negara-negara lain, Ichsanuddin mengatakan itu tidak bisa dijadikan sebagai alasan. Dia menyebutkan, saat ini rasio total belanja pegawai di Indonesia memang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan negara lain.
Dalam APBN 2010, alokasi belanja pegawai Rp 160,31 triliun atau sekitar 15 persen dari total porsi belanja pemerintah Rp 1.047,66 triliun. ''Kalau di negara lain, porsi belanja pegawai memang bisa lebih dari 17 persen,'' sebutnya.
Meski demikian, lanjut dia, kondisi di Indonesia dan di negara-negara lain juga berbeda. ''Di negara lain, yang namanya korupsi, kolusi, dan nepotisme alias KKN, sudah relatif bersih. Lha di Indonesia, KKN para pejabat masih merajalela. Kalau KKN merajalela, artinya masih banyak pejabat yang mengomersialkan jabatan. Jadi, kondisinya berbeda jauh, tidak bisa begitu saja dibandingkan,'' tuturnya.
Ichsanuddin juga menyoroti rencana penggantian mobil dinas menteri dari Toyota All New Camry menjadi Toyota Crown Majesta seharga lebih dari Rp 1,3 miliar. Menurut dia, pergantian mobil dinas itu juga akan memicu pergantian mobil dinas para gubernur yang secara level setingkat dengan menteri, termasuk para pejabat di DPRD.
Dengan begitu, lanjut Ichsanuddin, para pejabat hanya akan mempertontonkan kemewahan kepada rakyat yang hingga kini belum mendapatkan kesejahteraan. ''Jadi, kesimpulannya, sepanjang para pejabat negeri ini belum bisa memberikan jaminan kesejahteraan kepada rakyat, tidak ada ruang bagi mereka untuk seenaknya menaikkan gaji,'' katanya. (owi/iro)
Sumber: Jawa Pos, 29 Oktober 2009