Kepalsuan Dana Kampanye
Saturday, 01 October 2016 - 00:00
Kementerian Dalam Negeri merilis estimasi pengeluaran biaya pilkada calon kepala daerah tahun 2015. Data tersebut semakin menegaskan bahwa pemilu yang kita lakukan berbiaya tinggi.
Litbang Kementerian Dalam Negeri menyebutkan, setidaknya seorang calon gubernur membutuhkan biayaRp 20 miliar hingga Rp 100 miliar dalam pilkada serentak 2015. Sementara angka yang juga besar mencapai Rp 30 miliar dibutuhkan untuk pilkada pada tingkat kabupaten/ kota (Kompas, 27/9).
Kajian Kemendagri ini kontras jika dibandingkan dengan laporan resmi pasangan calon kepala daerah yang disetorkan kepada Komisi Pemilihan Umum Daerah (KPUD). Kontradiksi tersebut dapat dilacak dalam dokumen Laporan Penerimaan dan Pembelanjaan Dana Kampanye (LPPDK) pasangan calon. Nilai perbedaannya sangat besar.
Data pemantauan partisipatif sejumlah penggiat pemilu yang difasilitasi Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI menunjukkan bahwa mayoritas pasangan calon kepala daerah pada pilkada serentak 2015 yang lalu melaporkan penerimaan dan pengeluaran dana kampanye hanya berada pada rentang ratusan juta rupiah.
Perbedaan yang mencolok tersebut semakin menguatkan dugaan manipulasi laporan dana kampanye dalam dokumen LPPDK oleh pasangan calon bukanlah isapan jempol belaka. Laporan dana kampanye hanya diletakkan untuk menggugurkan syarat administrasi pemilu belaka. Parahnya, paradigma tersebut turut menghinggapi penyelenggara pemilu. Buktinya, belum pernah ada dalam sejarah pemilu di Indonesia, pasangan calon didiskualifikasi karena temuan manipulasi dana kampanye.
Padahal, korupsi pemilu dimulai dari manipulasi dana kampanye itu sendiri. Sarah Birch dari Essex University menegaskan, korupsi pemilu dapat mendorong korupsi di sektor-sektor lain. Teori ini sangat relevan jika kita mengaitkan korupsi kepala daerah yang seolah tiada ujung. Kecurangan pendanaan pemilu melahirkan praktik lancung dalam perizinan, permainan pengadaan, dan lain-lain.
Alur pembenahan
Utak-atik sistem pendanaan kampanye sesungguhnya sudah cukup sering dilakukan di pelbagai peraturan perundang-undangan yang relevan terkait pemilu. Semisal pembatasan penerimaan dan belanja kampanye oleh pasangan calon.
Bahkan, dalam UU Pilkada, empat dari tujuh jenis kegiatan kampanye sudah dibiayai negara. Tujuannya untuk menekan belanja kampanye (campaign spending) sehingga diharapkan turut menekan angka potensial korupsi setelah terpilih.
Harus diakui, ledakan cost electoral tidak bisa dilepaskan dari bergesernya pendekatan kandidat berinteraksi dengan pemilih yang semakin mengandalkan media massa (Marcus Mietzner). Fenomena tersebut tidak hanya terjadi di Indonesia, tetapi juga terjadi di pelbagai belahan negara lain. Pergeseran ini yang membuat belanja kampanye semakin menggila.
Oleh karena itu, pendekatan untuk membenahi tidak dapat semata hanya melalui jalur subsidi kepada kandidat atau membatasi uang masuk-keluar. Tugas penyelenggara harus bergeser untuk memastikan pasangan calon tidak menerima dan mengeluarkan pendanaan yang ilegal (illegal financing).
Tanpa bermaksud merendahkan pembentuk undang-undang, perubahan pengaturan dana kampanye selama ini belum masuk ke jantung persoalan. Entah sengaja atau tidak, tetapi itulah realitas yang ada. Semisal ada pengaturan pembatasan belanja kampanye kandidat, tetapi tidak instrumen untuk mengukur berapa sesungguhnya pengeluaran kandidat. Alhasil, laporan dana kampanye selalu dimanipulasi.
Pembenahan pertama yang dapat dilakukan adalah dengan cara menjadikan rekening khusus dana kampanye (RKDK) pasangan calon sebagai satu-satunya akses penerimaan dan pengeluaran kampanye. Rekening khusus selama ini selalu menjadi persyaratan administratif pasangancalon kepala daerah sewaktu mendaftar kepada KPUD.
Namun, tidak ada kewajiban bagi kandidat untuk menggunakan rekening khusus sebagai satu-satunya pintu transaksi kandidat. Akibatnya, sering kali kandidat menggunakan berbagai macam pintu transaksi, seperti melalui anggota keluarga, tim sukses, atau bahkan cukong politik.
Padahal, yang diaudit oleh kantor akuntan publik pasca pemilu hanyalah rekening khusus yang didaftarkan kandidat kepada KPUD. Analoginya, proses audit oleh akuntan hanya memeriksa dompet, tetapi uang justru terletak dan beredar di saku kanan dan kiri.
Setelah aspek rekening khusus dibenahi, langkah selanjutnya membatasi transaksi nontunai (noncash payment) para kandidat. Semua kegiatan kampanye, seperti pembayaran alat peraga, iklan di media cetak/elektronik, dan gedung, harus dilakukan melalui jalur perbankan kepada vendor penyedia jasa. Tentu pembayarannya melalui rekening khusus pasangan calon yang terdaftar.
Libatkan PPATK
Langkah ini diyakini akan menekan uang tunai beredar di masyarakat yang berpotensi menjadi instrumen politik uang kepada pemilih. Pembenahan ini juga turut memberikan dampak ganda bagi persoalan klasik lainnya, seperti jual beli suara.
Sebagai langkah terakhir mengawasi dana kampanye adalah dengan cara melibatkan Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) dalam rezim pemilu. Jika arus kas sudah tertib melalui satu pintu rekening dan semua transaksi dilakukan secara perbankan, melibatkan PPATK menjadi sebuah keniscayaan.
Salah satu kelemahan audit dana kampanye selama ini adalah ketiadaan kelembagaan yang kuat dalam melakukan monitoring uang kandidat yang beredar. Baik KPU, Bawaslu, maupun akuntan publik tidak punya infrastruktur kuat untuk melakukan hal tersebut.
Akuntan publik hanya sebatas melihat aspek kepatuhan laporan dana kampanye yang disampaikan pasangan calon. Tidak melihat transaksi riil dan tidak dibuka ruang yang luas untuk melalukan verifikasi faktual.
Butuh kemauan politik (political will)yang kuat dari pemerintahdan DPR untuk membenahi aspek pengawasan pendanaan kandidat dalam pemilu. Jika tidak dibenahi, ini berarti negara membiarkan kepalsuan dalam laporan dana kampanye terjadi terus-menerus.
Donal Fariz, Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch
------------------
Versi cetak artikel ini terbit di harian Kompas edisi 1 Oktober 2016, di halaman 7 dengan judul "Kepalsuan Dana Kampanye".