Kepanikan Jenderal Polisi
PARA pejabat Mabes Polri sedang disorot. Kasusnya seputar temuan sekaligus pengaduan lembaga antikorupsi Indonesia Corruption Watch (ICW) soal rekening para jenderal polisi yang bernilai miliaran rupiah. Simpanan berbentuk miliaran rupiah dan ribuan dolar tersebut dianggap tidak sebanding dengan gaji serta tunjangan yang mereka terima setiap bulan.
Temuan ICW itu sebenarnya bukan data baru. Awal Juni 2010, ICW secara berhati-hati sudah merilis ke sejumlah wartawan. Saat itu, datanya masih samar-samar karena hanya menyebut angka rupiah dalam jumlah besar tanpa seorang pun pemilik rekening. ICW membeberkan ada 15 rekening perwira polisi yang diduga tidak wajar. Salah satunya adalah rekening milik jenderal senilai Rp 95 miliar.
Namun, beberapa hari ini, data isi rekening tidak wajar itu terungkap gamblang setelah sebuah majalah berita mingguan (MBM) Tempo memuatnya sebagai laporan utama edisi penerbitan 28 Juni-4 Juli 2010. Laporan yang ditulis hingga delapan halaman itu berjudul Rekening Gendut Perwira Polisi.
Ada tiga angle plus beberapa foto lengkap dengan grafis rincian nama perwira serta isi rekeningnya. Perwira itu mulai Irjen MS (Rp 8,55 miliar dan USD 59.814 serta mobil BMW dan Alphard), Irjen SYW (Rp 6,53 miliar), Irjen BD (Rp 4,68 miliar), Irjen BH (Rp 2,09 miliar plus USD 4.000), serta Komjen SD (Rp 1,58 miliar).
Pemberitaan tersebut membikin merah telinga para pejabat Mabes Polri. Entah ada mobilisasi atau tidak, ada saksi yang memergoki beberapa polisi berseragam dan berpistol memborong Tempo sejak Senin lalu (28/6). Mabes Polri bereaksi atas sinyalemen bahwa aksi borong Tempo tersebut merupakan perintah dari sejumlah perwira polisi.
Dalam pernyataan resminya, Mabes Polri membantah sinyalemen tersebut. Kadivhumas Mabes Polri Irjen Pol Edward Aritonang justru meminta wartawan mengambil foto polisi yang memborong majalah berita politik tersebut.
Aksi borong majalah itu sebenarnya tidak perlu terjadi. Sebab, dari isi laporan, pemberitaan seputar rekening bermasalah tersebut tidak perlu diributkan. Pihak pembuat berita, yakni majalah Tempo, juga sudah membuat penulisan berita secara berimbang dengan menampilkan pernyataan dari pemilik rekening. Sebaliknya, aksi borong tersebut justru memunculkan kesan bahwa perwira kepolisian kebakaran jenggot atas isi laporan itu.
Para perwira polisi seharusnya menyerahkan kepada masyarakat untuk menilai benar tidaknya informasi tersebut. Kalaupun isi pemberitaan itu dianggap sebuah aib, tentunya para perwira harus menyikapi dengan bijak.
Mereka tentu tidak harus lagi mengumpulkan harta dengan cara-cara yang mungkin menurut undang-undang tidak wajar. Mereka sebaiknya segera mengevaluasi diri dengan menunjukkan kinerja sesuai tata pemerintahan yang baik (good governance).
Bagi aparat hukum di luar kepolisian, pemberitaan tersebut bisa menjadi bekal untuk penelusuran lebih lanjut. Sesuai UU No 25/2003 tentang Pencucian Uang, penyidikan kasus transaksi mencurigakan (suspicious transaction) di sebuah rekening memang menjadi kewenangan penyidik Mabes Polri.
Namun, itu tidak berarti upaya mengusut kasus tersebut tertutup. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) bisa saja menggunakan perangkat perundang-undangan pemberantasan korupsi untuk mengusut temuan rekening tidak wajar tersebut. Selain itu, Satgas Pemberantasan Mafia Hukum serta Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) bisa memainkan peran untuk mengklarifikasi temuan ICW tersebut. (*)
Tulisan ini merupakan tajuk rencana Jawa Pos, 30 Juni 2010