Kepentingan Lain Dicurigai Ikut Tunggangi Revisi UU
Rencana revisi Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 mengenai Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Antikorupsi) membuat keseriusan pemerintah dipertanyakan. Revisi tanpa evaluasi bisa menimbulkan kecurigaan terhadap kepentingan lain yang menunggangi.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Revisi UU KPK” yang digelar di Universitas Padjadjaran, Kamis (7/4). Hadir sebagai pembicara, mantan Wakil Ketua KPK Amien Sunaryadi, Wakil Ketua KPK Chandra M Hamzah, ahli hukum dari Universitas Gadjah Mada, Zainal Arifin Mochtar, dan anggota DPR, Ruhut Sitompul.
Amien menuturkan, revisi UU dilakukan untuk mengevaluasi pelaksanaan yang sudah berlangsung. Namun, hingga kini tidak pernah ada analisis ataupun evaluasi yang dilakukan pemerintah. ”Bila UU KPK dulu disusun dengan argumen bahwa pemerintah kurang efektif memberantas korupsi, adakah hasil riset yang menyatakan sebaliknya sehingga harus ada revisi,” katanya.
Revisi UU Pemberantasan Tipikor ataupun UU KPK, menurut Amien, membuat masyarakat curiga bahwa ada kepentingan lain yang menunggangi. Kekhawatiran lain adalah revisi disusun hanya melibatkan ahli hukum tanpa melihat kenyataan di lapangan.
Chandra menambahkan, seharusnya revisi UU antikorupsi juga meminta masukan dari KPK ataupun penegak hukum lain sehingga bisa diketahui hambatan dalam penegakan hukum untuk kemudian disempurnakan. Faktanya, beberapa pasal justru memperburuk keadaan. Salah satunya, lanjut Chandra, adalah Pasal 50 yang menyebut penuntutan bisa dihentikan apabila tersangka mengembalikan uang korupsi dengan jumlah di bawah Rp 25 juta. ”Hal tersebut menyakitkan masyarakat karena musuh terbesar justru korupsi di pelayanan publik yang nominalnya hanya Rp 500.000,” ujarnya.
Zainal Arifin Mochtar menuturkan, revisi dua UU itu bisa menjadi peluang bagi terjadinya kejahatan yang lain. ”Pemberantasan korupsi selalu menggoyahkan partai politik, untuk itu dukungan publik harus tetap tinggi,” katanya.
Wakil Jaksa Agung Darmono mengatakan, ada-tidaknya hukuman mati dalam RUU antikorupsi belum final karena masih akan dibahas. Namun, kejaksaan belum pernah menggunakan hukuman mati dalam tindak pidana korupsi. ”Penerapannya tentu sangat selektif,” kata Darmono. (ELD/FAJ)
Sumber: Kompas, 8 April 2011