Keraguan Perlu Dijawab Kinerja
Penuntasan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK selalu menarik perhatian publik. Tentu saja, karena KPK saat ini masih menjadi lembaga yang diharapkan mampu memberantas korupsi yang sudah memasuki semua lini. Dan tentunya setelah kepercayaan publik terhadap institusi penyidik kejaksaan dan kepolisian merosot.
Sayangnya, meski harapan masyarakat cukup tinggi terhadap KPK, harapan itu belum mampu dijawab secara memuaskan. Alhasil, kritik masih cukup banyak dilontarkan. Dalam pemberantasan korupsi KPK masih dinilai tebang pilih. Kewenangan khusus yang dimiliki KPK pun masih dikhawatirkan hanya menjadi sarana balas dendam.
Penuntasan kasus korupsi yang dilakukan oleh KPK selalu menarik perhatian publik. Tentu saja, karena KPK saat ini masih menjadi lembaga yang diharapkan mampu memberantas korupsi yang sudah memasuki semua lini. Dan tentunya setelah kepercayaan publik terhadap institusi penyidik kejaksaan dan kepolisian merosot.
Sayangnya, meski harapan masyarakat cukup tinggi terhadap KPK, harapan itu belum mampu dijawab secara memuaskan. Alhasil, kritik masih cukup banyak dilontarkan. Dalam pemberantasan korupsi KPK masih dinilai tebang pilih. Kewenangan khusus yang dimiliki KPK pun masih dikhawatirkan hanya menjadi sarana balas dendam.
Terkait persoalan ini Anas Najamuddin dari Parle berbincang dengan Febri Diansyah Peneliti Hukum dari Indonesian Corruption Watch (ICW). Berikut petikannya:
Menurut ICW pemberantasan korupsi sejauh ini bagaimana, khususnya terkait kinerja KPK?
Menurut kami saat ini masih ada 4 persoalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. Pertama, persoalan disorientasi. Maksudnya, aktor yang ditangkap sekarang masih sebatas aktor kelas bawah dan bukan aktor utama. Kami mencatat di tahun 2007 dari 62 persen kasus korupsi yang ditangani, 60 persennya terkualifikasi aktor kelas bawah sedang aktor kelas atas hanya 2 persen saja. Padahal kalau yang ditangkap hanya pelaku kelas teri tidak akan ada deterrent effect yang nyata. Ini dari aspek aktor.
Persoalan kedua, institusi pemberantasan korupsi yang harusnya memberantas korupsi dan memimpin perubahan justru menjadi institusi terkorup. TI mengatakan institusi terkorup kepolisian, kejaksaan, DPR, dan pengadilan. Institusi itu harusnya menjadi fokus pemberantasan korupsi oleh KPK dari aspek sektor.
Poin ketiga, dalam kasus BI misalnya, harus diungkap aktor intelektualnya bukan hanya orang yang sudah dinyatakan menjadi tersangka. Dengan mencuatnya kasus penangkapan jaksa dalam kasus BI, kalau kami ditanya apakah KPK sudah baik maka jawabnya KPK sudah melakukan awalan yang baik. Tetapi itu akan menjadi kontra produktif ketika KPK tebang pilih atau menggunakan mekanisme pemberantasan korupsi sebagai sebuah serangan kepada lawan politik saja.
Poin keempat, berkaitan dengan soal keterbukaan informasi. Sampai sekarang kita tahu bahwa RUU Kebebasan Memperoleh Informasi Publik yang berubah menjadi RUU Kebebasan Informasi Publik sampai sekarang masih ditunda-tunda pengesahaan oleh DPR. Dan pemerintah masih menolak BUMN sebagai badan publik yang bisa diakses informasinya.
Tingkat keberhasilan pemberantasan korupsi, menurut Anda ukurannya kira-kira seperti apa?
Ada beberapa ukuran misalnya kita melihat seberapa banyak kasus yang ditangani berdasarkan laporan masyarakat. Misalnya ada sekian ribu laporan masyarakat, dari jumlah itu ada berapa persen yang dikatakan sebagai kasus korupsi lalu berapa persen yang sudah ditangani. Kalau KPK sudah menindaklanjuti laporan itu seberapa besar deterrent effect yang timbul dari pemberantasan korupsi. Deterrent effect atau efek jera bisa kita ukur dari aktor yang terungkap.
Soal prioritas kasus yang ditangani bagaimana?
Sampai sekarang setidaknya saya melihat KPK tidak punya prioritas itu.
Kalau menurut Anda yang dapat menjadi prioritas penanganan?
KPK harus bisa memberantas korupsi di institusi pemberantasan korupsi seperti kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan. Ini harus menjadi prioritas yang pertama dari aspek sektor. Saat ini KPK sudah berani menyentuh kejaksaan khususnya dalam penanganan kasus BI. Walaupun tidak bisa dibilang sudah bagus, kasus Urip dapat menjadi momen. Artinya, bukan Urip-nya yang jadi persoalan tapi bagaimana membongkar struktur korupsi di kejaksaan dengan melakukan pemeriksaan terus menerus. Kalau KPK bisa tempuh ini, mengusut kejaksaan dengan menggunakan momen tersebut dan kejaksaan bisa bersih maka persoalan kedua pemberantasan kasus korupsi kita, terjawab.
Kalau dari aspek aktor, bersihkan level atas dulu baru level bawah akan nurut. Yang penting adalah kalau KPK sering mengatakan ingin membuat rasa takut seharusnya KPK mampu membuat rasa takut pejabat-pejabat tinggi. Bukan hanya penjahat kelas bawah.
KPK selalu dikatakan lembaga yang tebang pilih. Apa mungkin karena tidak adanya acuan penanganan kasus?
Kalau kita melihat itu karena penanganan masih bergantung kebijakan internal. Padahal Undang-Undang 32 Tahun 2002 sudah memberi arahan yang sangat jelas. Bila anggota KPK membaca konsideran (pertimbangan) di UU tersebut, jelas bahwa pembentukan lembaga baru KPK karena pemberantasan korupsi yang selama ini ditangani kejaksaan tidak jalan. Harusnya KPK punya political will kuat dalam menangani kasus-kasus korupsi.
Kami agak ragu apakah KPK sudah melakukan penelitian kompreherensif untuk memberantas korupsi di Indonesia karena selama ini KPK berjalan atas dasar laporan. Belum ada program yang jelas menyangkut pemberantasan korupsi. Misalnya dalam 2 tahun KPK punya target membersihkan institusi kejaksaan. Kalau punya will yang kuat harusnya itu dilakukan.
Belum optimalnya kinerja KPK berkaitan dengan ketidaksiapan personal atau mekanisme pendukung?
Saya tidak melihat itu persoalan personal tetapi banyak orang memang melihat seperti itu. Pada satu sisi ini mungkin benar dan akan menghambat. Misalnya ketika si A menjabat di institusi tertentu dan bersentuhan dengan suatu jaringan tertentu maka ketika ia terpilih tidak akan menyetuh jaringannya itu. Ada kekhawatiran misalnya ketika Antasari menjabat, orang Antasari dalam kejaksaan cenderung tidak akan disentuh, yang ditangkap itu hanya lawan politiknya.
Sekarang kan sudah muncul isu adanya politik balas dendam?
Memang ada kemungkinan seperti itu. Tapi untuk sebuah permulaan itu cukup bagus maksudnya KPK sudah mulai menyentuh kejaksaan. Tapi KPK jangan berhenti sampai di sana. Kalau sampai terjadi KPK hanya menjadi lembaga politik balas dendam.
Kalau masyarakat tidak percaya lagi pada KPK dan menuntut KPK dibubarkan bagaimana?
Jangan dibubarkan itu justru bahaya. Kami khawatir kritik masyarakat terhadap kinerja KPK itu kemudian ditelikung sedemikian rupa oleh sebagian orang dan mengusulkan KPK dibubarkan. Kalau orang per orang yang dipersoalkan, jangan lembaganya yang dituntut dibubarkan. Intinya KPK tetap harus ada, akan menyesatkan pandangan yang menuntut KPK dibubarkan.
Bila mereka baca UNCAC, konvensi PBB tentang lembaga anti korupsi, KPK harusnya merupakan lembaga permanen. Konvensi itu memerintahkan setiap negara yang meratifikasi konvensi punya lembaga anti korupsi khusus, yang memiliki kewenangan khusus. Dan itu di Indonesia berarti KPK. Dalam diskusi awal amendemen kami mengusulkan KPK masuk dalam konstitusi.
Lalu bagaimana menjawab keraguan masyarakat terhadap KPK, khususnya dalam kepemimpinan yang baru?
Kritik masyarakat menyatakan ragu atas seseorang yang memimpin suatu institusi harus dipahami sebagai suatu dorongan untuk institusi itu membuktikan sebaliknya. Karena ekspekstasi atau harapan masyarakat terhadap institusi KPK sangat tinggi perlu menjadi perhatian seluruh pimpinan KPK. Kalau mereka dewasa, mereka akan menjawab keraguan itu dengan peningkatan kinerja.
Tulisan ini disalin dari Tabloid Parle