Kerja Keras yang Minimalis!!
Badan Kehormatan DPR RI (BK-DPR) akhirnya menetapkan sanksi kepada mereka yang diduga menerima dana taktis Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP). Keputusan ini dibuat setelah proses verifikasi yang berjalan cukup alot, penuh kerja keras dan memakan waktu yang cukup lama. Sayangnya penerapan sanksi yang merupakan keluaran terpenting dari proses itu dinilai masih sangat minimalis.
BK DPR hanya memberikan sanksi tegas kepada Fahri Hamzah (FPKS) berupa teguran keras dan pelarangan menjadi pimpinan alat kelengkapan DPR hingga masa jabatannya berakhir. Bersama berkas Fahri, BK melanjutkan berkas dari 2 terlapor lainnya, yaitu Endin AJ. Soefihara (PPP) dan Awal Kusumah (FPG) ke Komisi Pemberantasan Korupsi. Sedangkan 2 terlapor terakhir, yaitu Slamet Effendi Yusuf (FPG) dan AM. Fatwa (FPAN) dianggap tidak melanggar kode etik. Penerapan sanksi yang sangat minimalis mengundang reaksi negatif dari masyarakat. BK DPR dituduh tebang pilih, kurang independen, bahkan sengaja membatasi kewenangannya.
Minimalisasi Peran
Persoalan utama menyoal kinerja BK DPR adalah inisiatif yang lemah. Segencar apapun pemberitaan media atas persoalan dugaan pelanggaran kode etik di DPR tidak mampu membuat BK DPR bergeming untuk memprosesnya sesuai mekanisme Tata Tertib DPR. Sikap menunggu laporan masyarakat menyebabkan BK DPR tak ubahnya asesoris yang secara formal seakan menunjukan sudah ada lembaga kontrol internal di DPR. Hal ini memang persoalan sistem, karena Pasal 85 Undang-undang Susunan Kedudukan (UU No. 22 tahun 2003) memang mengsyaratkan adanya laporan masyarakat sebagai bahan awal pemeriksaan BK DPR.
Terkait dengan kasus aliran dana DKP, ICW dan Koalisi Penegak Citra DPR sebagai masyarakat sudah mengambil inisiatif melaporkan ke BK DPR. Harapannya, BK DPR akan menjadikan laporan ini sebagai titik masuk untuk memproses kasus aliran dana DKP di DPR secara lebih komprehensif. Sayangnya, harapan ini masih jauh panggang dari api. Alih-alih mengembangkan ke konteks persoalan yang lebih luas terkait aliran dana DKP, BK DPR justru menjadikan laporan masyarakat untuk membatasi cakupan pemeriksaan dan pemberian sanksi.
Pemeriksaan dan Sanksi BK DPR tidak beranjak dari jumlah 5 orang yang dilaporkan masyarakat. Padahal, jumlah anggota DPR penerima dana DKP yang terungkap terus membengkak dari 5 orang, kemudian menjadi 9 orang, kemudian menjadi 34 orang dan terakhir 38 orang anggota. Membatasi diri pada orang-orang yang terlapor oleh masyarakat saja menunjukan BK DPR tidak menempatkan dirinya sebagai penegak citra DPR. Penempatan posisi BK DPR sekarang ini seakan-akan hanya menjadi perpanjangan tangan dari protes masyarakat terhadap polah anggota DPR terkait Kode Etik. Hal ini juga sangat mengindikasikan bahwa BK DPR diskriminatif dan tebang pilih dalam menerapkan aturan main internal DPR yang bisa jadi hanya ampuh bagi mereka yang tidak memiliki bekingan politik yang kuat.
Terkait pelaksanaan kewenangan, BK DPR juga belum sepenuhnya menjalankan ketentuan seperti yang diatur di dalam Tata Tertib DPR Pasal 59, dimana BK DPR dapat melakukan penyelidikan dan verifikasi atas aduan masyarakat. Fakta dalam pemrosesan kasus aliran dana DKP, BK DPR tidak melakukan penyelidikan tetapi hanya melakukan verifikasi atas laporan. Hal ini menyebabkan temuan BK terbatas pada mereka yang mengaku atau disebutkan secara eksplisit dalam laporan penerima dana di DKP dan pengakuan para saksi. BK tidak mampu menelusuri aliran dana DKP ke DPR yang masuk lewat alat kelengkapan DPR dalam kaitan dengan pembahasan RUU Perikanan dan anggaran bersama DPR. Hal ini juga membuat para penerima, baik anggota DPR periode 1999-2004 dan 2004-2009 serta pada masa Menteri Freddy Numberi masih banyak yang luput dari pemeriksaan BK DPR.
Reduksi Tafsir Penyalahgunaan Wewenang
Selain meminimalisasi perannya, BK DPR juga melakukan justifikasi yang keliru terhadap penerima dana DKP yang digunakan untuk kepentingan sosial. Seharusnya alasan menerima dana untuk kepentingan sosial oleh anggota DPR tidak dapat menjadi alasan untuk menganulir tindakan pelanggaran kode etik. Pelanggaran kode etik yang sangat mungkin diterapkan oleh BK DPR berkaitan dengan aliran dana DKP ke DPR adalah Pasal 11 Kode Etik DPR tentang larangan menerima imbalan dan Pasal 14 tentang penyalahgunaan jabatan untuk kepentingan pribadi, keluarga, sanak famili dan kroni.
Alasan menerima dana untuk kepentingan sosial tidak dapat dibenarkan. Ini karena anggota DPR bersangkutan sebenarnya mengetahui bahwa dana yang diberikan oleh Rokhmin adalah dana DKP yang notabene adalah anggaran publik. Dana ini juga langsung diterima dari Rokhmin. Karena model pemberiannya dalam konteks relasi elit yang menjadi pejabat Negara, dana ini dapat diduga kuat diterima karena jabatan yang dimiliki oleh para penerima sebagai anggota DPR. Dalam konteks penganggaran, anggota DPR yang menerima dana atas kepentingan sosial atau kepentingan lainnya dari DKP dapat dikategorikan korupsi karena dana yang diberikan tidak dianggarkan secara resmi lewat APBN dan sasaran penerima anggaran tidak sesuai dengan tugas pokok dan fungsi DKP. Atas hal ini, penerima dana atas kepentingan sosial juga dapat dikategorikan sebagai tindakan penyalahgunaan wewenang dan harus dikenakan sanksi tegas oleh BK DPR. Apalagi beberapa yang termasuk kategori ini sudah mengaku.
Namun demikian, tindak lanjut pelanggaran kode etik oleh BK DPR ke Komisi Pemberantasan Korupsi terkait dengan dugaan gratifikasi merupakan langkah positif. Ketentuan soal menerima imbalan dan hadiah di dalam Kode Etik DPR memang memiliki implikasi korupsi. Tindakan ini ini juga dapat dijerat dengan Pasal 12 B UU No. 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Kerja keras BK DPR atas kasus DKP memang patut diberikan apresiasi meski masih minimalis. BK DPR tidak boleh menganggap persoalan ini sudah selesai. BK DPR harus menindak anggota lain yang masih luput dari pemeriksaan dan lebih menggiatkan investigasi sebagai bagian dari proses pemeriksaan atas pelanggaran kode etik.***
Ibrahim Fahmy Badoh (Koordinator Divisi Korupsi Politik Indonesia Corruption Watch)
Tulisan ini disalin dari Koran Sindo Sore, 12 Juli 2007