Kesaksian Anwar Nasution untuk Burhanuddin
Kasus aliran dana Bank Indonesia (BI) bak bola liar. Tak hanya para pejabat bank sentral dan anggota DPR yang terjerat. Tapi, aliran dana BI itu diduga juga mengarah ke penegak hukum.
Tengara itu terungkap dari kesaksian mantan deputi gubernur BI yang kini menjabat Ketua Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) Anwar Nasution dalam sidang kasus korupsi aliran dana BI dengan terdakwa mantan Gubernur BI Burhanuddin Abdullah di Pengadilan Tipikor kemarin (23/7).
''Uang Rp 68,5 miliar dipakai untuk keperluan penyelesaian hukum (bantuan hukum, Red) mantan-mantan pejabat BI yang diduga untuk kepentingan penyogokan," ujar Anwar.
Bantuan hukum untuk lima mantan pejabat BI yang terkena kasus BLBI, yakni Heru Soepraptomo (vonis 1,5 tahun), Hendro Budiyanto (vonis 1,5 tahun), Paul Soetopo (vonis 1,5 tahun), Soedradjad Djiwandono (dihentikan/SP3), dan Iwan R. Prawiranata (dihentikan/SP3) yang diduga bermasalah, juga pernah disampaikan BPK dalam suratnya ke KPK pada 14 November 2006. Itu terjadi di awal pengusutan kasus dana BI.
Menurut Anwar, temuan itu diketahui dari pengakuan Rusli Simanjuntak dan Oey Hoey Tiong. ''Uang itu diserahkan mantan pejabat BI kepada penegak hukum untuk menghentikan perkara mereka masing-masing," ujarnya menjawab pertanyaan majelis hakim Moerdiono. Dia menambahkan, dana itu diperlukan untuk mendapatkan SP3.
Dalam surat berkode rahasia ke KPK, BPK juga mencantumkan nama-nama hakim yang mengurus perkara para mantan pejabat BI dari tingkat pertama sampai tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Selain itu, dicantumkan nama-nama pengacara yang mengurus perkara mantan pejabat plus nilai uang jasa yang mereka terima.
Siapa yang disogok? "Itu urusan penyidik. BPK tidak sampai ke situ. BPK auditor, bukan penyidik," ujarnya. Sedangkan uang Rp 31,5 miliar diakui Anwar sebagai dana untuk memuluskan urusan BI dengan Komisi IX DPR periode 1999-2004.
Menurut Anwar, pembentukan Panitia Sosial dan Kemasyarakatan (PSK) yang mengelola dana Yayasan Pengembangan Perbankan Indonesia (YPPI) dalam rapat dewan gubernur (RDG) 22 Juli 2003 hanya kamuflase. "PSK hanya tameng. Dibentuk 22 Juli, namun uang dicairkan dua minggu sebelumnya," ujar Anwar.
Bukan hanya itu. Pria kelahiran Sipirok, Tapanuli, tersebut juga mengungkapkan modus manipulatif dalam pencairan Rp 100 miliar dari YPPI. "Uang itu diambil dari YPPI saat perubahan status akibat UU yayasan yang baru. Maka, uang hilang dari YPPI Rp 100 miliar tidak ada dalam buku BI. Tidak satu sen pun untuk keperluan sosial," ujarnya.
Sebelum menyerahkan laporan soal dana BI ke KPK, Anwar mengaku memberikan "kesempatan" pada BI untuk memperbaiki keuangan. Caranya dengan mengembalikan Rp 100 miliar dana YPPI yang menyebabkan laporan keuangan BI disclaimer. (ein/agm)
Sumber: Jawa Pos, 24 Juli 2008