Kesenjangan Hasil Pembangunan Antarwilayah di Indonesia
Penentuan dana alokasi umum (DAU) secara intensif telah digodok oleh Panitia Kerja DPR beberapa waktu lalu.
Penentuan dana alokasi umum (DAU) secara intensif telah digodok oleh Panitia Kerja DPR beberapa waktu lalu. Saat ini, masyarakat sedang menunggu bagaimana pemerintah daerah mengelola anggaran yang telah dialokasikan untuk masa satu tahun ke depan.
Penentuan DAU tersebut, khususnya untuk 2005 dan 2006, merupakan pengejawantahan dari Undang-Undang Nomor 33/2004 tentang Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Daerah. Hal ini sekaligus sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari pelaksanaan otonomi daerah yang diatur dalam UU Nomor 32/2004.
DAU antara lain ditujukan untuk mendekatkan pelayanan kepada publik sehingga bisa mencegah high cost economy. Selanjutnya dapat mendorong terselenggaranya pemerintahan yang lebih efisien, merata, dan demokratis. Konsep merata merupakan kata kunci yang mendasari DAU tersebut, yang sekaligus sebagai jawaban atas pengalaman yang cukup pahit selama Orde Baru.
Pada masa Orde Baru terkesan ada yang kurang fair, antara lain pemerintah lebih mengutamakan pertumbuhan daripada pemerataan, lebih berpihak pada usaha besar daripada usaha kecil, dan lebih terkonsentrasi di perkotaan daripada di pedesaan. Dengan demikian, diberlakukannya perimbangan keuangan dimaksudkan agar kesenjangan (fiscal gap) bisa teratasi, yang pada gilirannya diharapkan kesenjangan hasil pembangunan antarwilayah bisa diperkecil dan sedapat mungkin dihilangkan.
Seperti diketahui, pembagian DAU didasarkan atas lima komponen, yaitu luas wilayah, jumlah penduduk, produk domestik regional bruto, indeks kemahalan, dan indeks pembangunan manusia. Kelima komponen tersebut mencerminkan bobot masalah yang dihadapi di daerah. Semakin besar bobot masalahnya, semakin besar dana yang diterima. Dengan kriteria seperti itu diharapkan kesenjangan hasil pembangunan antarwilayah, khususnya antarkabupaten/kota, diharapkan semakin berkurang.
Namun sayang, harapan untuk lebih memeratakan hasil pembangunan antarwilayah masih belum juga terwujud. Kenyataan ini dapat dilihat dari berbagai indikator sosial ekonomi, khususnya pada aspek pendidikan dan kesehatan. Dua indikator tersebut dapat mencerminkan kinerja pembangunan infrastruktur pelayanan publik. Sebagai ukuran kinerja pada aspek pendidikan, maka output-nya antara lain dapat dilihat dari rata-rata lama sekolah (mean years schooling), sedangkan dari aspek kesehatan sebagai output-nya dapat diukur dari umur harapan hidup (life expectancy).
Pada 2002 misalnya, rata-rata lama sekolah tertinggi di Indonesia tercatat di Kota Pekanbaru dan Kota Banda Aceh, yaitu 11,1 tahun, sedangkan yang terendah tercatat di Kabupaten Jayawijaya dengan rata-rata lama sekolah 2,2 tahun. Selain itu, terdapat kesenjangan rata-rata lama sekolah antardaerah kabupaten/kota se-Indonesia pada 2002 selama 8,9 tahun.
Pada 2004, rata-rata lama sekolah tertinggi di Indonesia tercatat masih di Kota Banda Aceh, yakni 11,2 tahun, sedangkan yang terendah tercatat di Kabupaten Asmat, yaitu 2,2 tahun. Selain itu, terdapat kesenjangan rata-rata lama sekolah antarkabupaten/kota se-Indonesia pada 2004 selama 9,2 tahun. Dengan demikian, terlihat bahwa selama 2002-2004 kesenjangan pendidikan antarwilayah kabupaten/kota belum menunjukkan penyempitan, malah melebar. Hal ini merupakan indikasi bahwa perimbangan keuangan yang salah satunya untuk lebih memeratakan pendidikan antarkabupaten/kota belum menunjukkan keberhasilan.
Sementara itu, dari angka umur harapan hidup menunjukkan, pada 2002, angka tertinggi di Indonesia tercatat di Kabupaten Tabanan, yakni 73,7 tahun, sedangkan yang terendah di Kabupaten Sampang, yaitu 56,2 tahun. Selain itu, terdapat perbedaan angka umur harapan hidup antarkabupaten/kota se-Indonesia pada 2002 selama 17,5 tahun.
Pada 2004, angka umur harapan hidup tertinggi di Indonesia tercatat di Kabupaten Tana Toraja, yaitu 73,9 tahun, dan terendah tercatat di Kabupaten Lombok timur, yakni 57,8 tahun. Adapun kesenjangan angka umur harapan hidup antardaerah kabupaten/kota se-Indonesia pada 2004 tercatat 16,1 tahun.
Dengan demikian, terdapat sedikit penyempitan kesenjangan angka umur harapan hidup selama 2002-2004, yang merupakan indikasi adanya perbaikan kinerja di bidang kesehatan. Meskipun demikian, tanpa mengecilkan substansi keberhasilan dari perimbangan keuangan untuk pengelolaan kesehatan, penyempitan kesenjangan yang telah dicapai tersebut masih dirasakan belum cukup memadai.
Dengan pencapaian angka umur harapan hidup terendah dan tertinggi pada 2004 tersebut, Indonesia setara dalam soal angka umur harapan hidup di beberapa negara Afrika untuk yang terendah, serta beberapa negara di Eropa Timur, Asia Timur, dan Karibia untuk yang tertinggi.
Secara keseluruhan, indikasi kesenjangan kinerja pembangunan dapat dilihat dari indeks pembangunan manusia (IPM). Pada 2002, IPM tertinggi di Indonesia tercatat di Jakarta Timur, yakni menunjukkan angka 76, sedangkan terendah di Jayawijaya dengan angka 47. Jadi terdapat perbedaan 29,0 poin.
Selanjutnya, pada 2004, secara nasional IPM tertinggi di Jakarta Selatan dengan angka 77,4, sedangkan terendah di Kabupaten Asmat dengan angka 45,7. Jadi tercatat perbedaan 31,7 poin. Melebarnya kesenjangan IPM tersebut, yang merupakan indikasi bahwa secara keseluruhan perimbangan keuangan untuk lebih menyetarakan hasil pembangunan antarwilayah di Indonesia, dari sisi kualitas hidup belum menunjukkan keberhasilan.
Kenyataan itu sekaligus sebagai koreksi bahwa besarnya anggaran yang diterima bukan jaminan akan proporsional mengurangi bobot masalah yang dihadapi daerah. Ryaas Rasyid, bekas Menteri Otonomi Daerah, menengarai hal itu disebabkan oleh tidak berjalannya pengawasan dan bimbingan dari pusat sebagaimana dikatakannya kepada majalah Gatra (edisi khusus 2005). Digambarkan, di beberapa daerah ditemukan bahwa prioritas pembangunan masih bertumpu pada hal yang kurang masuk akal, seperti pembangunan kantor mewah, rumah dinas dan mobil mahal, serta jalan-jalan ke luar negeri. Sementara itu, infrastruktur pelayanan publik, seperti pendidikan dan kesehatan, terabaikan.
Bimbingan dan pengawasan masih merupakan hal yang dilematis bagi pemerintah pusat. Jika hal itu dilakukan secara intensif, kemandirian otonomi daerah akan terkurangi. Namun, apabila dilepas, penggunaan anggaran menjadi tidak terarah. Hal ini sekaligus merupakan petunjuk bahwa sebenarnya pelaksanaan otonomi daerah belum layak dilakukan secara mutlak tapi harus bertahap.
Kemandirian sebagai otonomi daerah tampaknya tidak langsung terjadi seketika, tapi secara berangsur-angsur. Kenyataan ini paling tidak tecermin dengan diterbitkannya Undang-Undang Nomor 32/2004 sebagai pengganti Undang-Undang Nomor 22/1999, yang menyebutkan bahwa sebagian kewenangan daerah ditarik ke pemerintah pusat.
Bagaimanapun kita tidak boleh mundur. Otonomi daerah harus tetap berjalan untuk lebih menumbuhkan asas demokrasi di tengah kehidupan masyarakat. Lebih dari itu, otonomi daerah diharapkan dapat mempercepat kemakmuran. Namun, mengingat hasil pembangunan yang belum seperti yang diharapkan, wajar apabila masyarakat saat ini bertanya bagaimana kinerja pemerintah daerah mereka? Padahal visi dan misi yang diungkapkan ketika mereka masih menjadi calon dalam pemilihan kepala daerah begitu menjanjikan.
Maka sudah saatnya pemerintah daerah perlu mengkaji ulang pelaksanaan pembangunan. Sudahkah menyentuh kehidupan masyarakat yang paling mendasar, seperti penciptaan kesempatan kerja, pengurangan kemiskinan, serta kemudahan dalam akses pendidikan dan kesehatan?
Jika persoalan itu bisa diatasi saja, sudah sangat berarti bagi masyarakat yang saat ini semakin terpuruk kehidupannya. Lebih dari itu, kesenjangan hasil pembangunan yang menganga lebar bisa semakin dikurangi.
Razali Ritonga, Kepala Subdirektorat Analisis Konsistensi Statistik BPS Jakarta
Tulisan ini disalin dari Koran Tempo, 29 November 2005