Ketidaksamaan dalam "Deponeering"
Deponeering untuk Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi Bibit Samad Rianto dan Chandra M Hamzah adalah deponir pertama yang dikeluarkan Kejaksaan Agung sejak Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan disahkan. Meski dianggap pilihan terbaik untuk kondisi saat ini, tetap saja pilihan deponir itu problematis.
Problematis, setidaknya, jika hal itu dilihat dari kepentingan penegakan hukum (law enforcement). Prinsip equality before the law atau persamaan kedudukan dalam hukum terkebiri. Itulah bahasa yang digunakan Guru Besar Hukum Pidana Universitas Krisnadwipayana, Jakarta, Indriyanto Seno Adji.
Pada dasarnya, jelas Indriyanto, setiap perkara yang cukup bukti harus dilimpahkan ke pengadilan. Deponir atau pengesampingan penuntutan ini juga menjadi preseden buruk bagi penegakan hukum ke depan. Deponir selalu masalah disekualitas, tidak ada persamaan antara kepentingan umum dan kepentingan penegakan hukum.
Memang, UU No 16/2004, khususnya Pasal 35 Huruf (c), memberikan kewenangan kepada Jaksa Agung untuk mendeponir suatu perkara dengan alasan untuk kepentingan umum. Dalam penjelasan disebutkan, kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara atau masyarakat luas.
UU tidak memberikan ketentuan lebih detail tentang hal itu. Parameter kepentingan umum itu debatable. Karena itu, deponeering jarang sekali dipergunakan.
Menurut Indriyanto, sebelum tahun 2004, deponir kurang populer. Ia mengingat deponir yang dikeluarkan Jaksa Agung Ismail Saleh atas kasus Letnan Jenderal (Purn) Yasin dalam konteks pemeriksaan Petisi 50. Selebihnya, jarang digunakan.
Beda dengan Belanda. Di negeri ini, seponeering relatif biasa digunakan. Deponir dalam konteks hukum di Indonesia sama dengan seponeering (dalam konteks hukum di Belanda). Dalam bahasa Belanda, deponeering sebenarnya berarti mendaftarkan (misalnya mendaftarkan merek). Terjadi kesalahkaprahan istilah dalam hukum kita.
Salah satu peristiwa deponeering di Belanda yang terkenal adalah ketika jaksa penuntut umum setempat memutuskan mendeponir kasus dugaan suap kepada Pangeran Bernhard (suami Ratu Juliana) senilai 1,1 juta dollar AS dari perusahaan penerbangan AS, Lockheed Aircraft Corporation, pada 1970-an. Penyelidikan dimulai dan ada indikasi mengenai hal itu.
Saat itu Ratu Juliana mengancam akan turun dari takhta jika kasus itu dibawa ke pengadilan. Untuk menghindari krisis konstitusional, Pangeran Bernhard tidak dihadapkan ke pengadilan. ”Kasus itu dideponir oleh jaksa penuntut umum. Kepentingan keutuhan kerajaan jauh diutamakan. Lagi pula, jika kasus itu diajukan, integritas dari kesatuan kerajaan menjadi terganggu,” kata Indriyanto.
Lantas, ancaman serius apa yang dapat mengganggu kepentingan umum jika kasus Bibit dan Chandra dilanjutkan ke pengadilan? Pelaksana Tugas Jaksa Agung Darmono mengartikan kepentingan umum itu adalah demi kepentingan pemberantasan korupsi.
Indriyanto mencoba menjelaskan hal itu dengan kepentingan terintegrasi nya pemberantasan korupsi di antara lembaga penegak hukum. Deponir lebih menjamin ada keterpaduan antarlembaga penegak hukum. Ada kekhawatiran, apabila kasus itu diteruskan ke pengadilan, lembaga penegak hukum semakin pecah.
Indriyanto melihat ancaman disintegrasi antarlembaga penegakan hukum sangat nyata. Fenomena cicak-buaya menjadi bukti yang kasatmata. Hal ini bisa mengganggu kebijakan negara secara komprehensif dalam pemberantasan korupsi. (ana)
Sumber: Kompas, 2 November 2010