Ketua Tanpa Marwah
Akhir 2017, dalam pertemuan tentang rencana strategis Mahkamah Konstitusi, Ketua MK Arief Hidayat menegaskan pentingnya meningkatkan kepercayaan publik. Hal itu disampaikannya secara berulang di hadapan para pejabat dan pegawai MK yang hadir, termasuk saya.
Saya sangat setuju dengan anjuran itu, mengapa? Sebab, kekuatan utama dari lembaga peradilan bukanlah senjata atau uang, melainkan kepercayaan publik. Sebuah peradilan akan dipatuhi putusannya jika lembaga tersebut tepercaya. Sebaliknya, tanpa kepercayaan masyarakat, apa pun putusannya akan ditertawakan, diolok-olok,dan tidak dianggap.
Namun, hanya selang sebulan, kepercayaan publik itu kembali hancur. Kali ini bukan gara-gara ulah pegawai yang melenyapkan berkas perkara, melainkan karena ulah sang ketua sendiri.
Sebagaimana ramai diberitakan media massa, tanggal 11 Januari, Dewan Etik telah menuntaskan pemeriksaan etik atas hakim terlapor, dalam hal ini Ketua MK. Hasilnya, Ketua MK terbukti melakukan pelanggaran ringan terhadap kode etik perilaku hakim konstitusi.
Pelanggaran ini bukan kali pertama. Pada 2016, Ketua MK juga dijatuhi sanksi serupa dalam perkara pemberian ”katebelece” kepada seorang jaksa di Kejaksaan Negeri Trenggalek kepada Jaksa Agung Muda.
Pasti ada pembelaan dan perasaan tidak bersalah yang muncul dari Ketua MK. Akan tetapi, bukankah sudah disepakati bahwa Dewan Etik dibentuk untuk mengawasi para hakim? Apa pun putusannya harus diterima dengan lapang dada. Toh,wahana pembelaan diri juga sudah diberikan di depan sidang Dewan Etik. Apa pun hasil akhirnya, itulah putusan legal yang sah.
Arief bukan satu-satunya hakim konstitusi yang pernah dijatuhi sanksi etik. Tahun 2011, misalnya, Hakim Konstitusi Arsyad Sanusi juga bernasib sama. Majelis Kehormatan (sebelum terbentuk Dewan Etik) saat itu menyatakan, Arsyad dianggap melanggar kode etik ringan karena membiarkan anggota keluarganya berhubungan dengan pihak berperkara.
Namun, berbeda dengan Arief, sesaat setelah putusan diumumkan, Arsyad Sanusi langsung menyatakan mengundurkan diri dari jabatan hakim konstitusi.
Memperkuat Dewan Etik
Dalam rangkaian pemeriksaan etik, sebagaimana pengalaman penulis terlibat dalam pemeriksaan etik terhadap Akil Mochtar dan Patrialis Akbar, kesulitannya adalah dalam hal pembuktian. Lembaga ini bukanlah lembaga aparat penegak hukum yang berwenang memanggil paksa atau menyadap komunikasi.
Hasilnya bisa kita lihat. Dalam banyak pemeriksaan, lembaga seperti Dewan Etik atau Majelis Kehormatan hanya mengandalkan pada ”kebaikan” para saksi yang mau hadir bersaksi. Jika saksi tidak mau hadir, tidak ada yang bisa dilakukan.
Dalam kasus pelanggaran etik Arief yang kedua, misalnya, saya mendengar ada beberapa saksi dari anggota DPR dipanggil hadir. Namun, dengan berbagai alasan—termasuk beralasan hak imunitas—mereka tak hadir dalam pemeriksaan. Hanya tiga orang yang hadir. Itu pun satu mengaku tidak mengetahui secara langsung. Begitu juga dalam kasus pemeriksaan etik lainnya.
Tidak mudah bagi Dewan Etik menghadirkan saksi yang dibutuhkan.
Oleh karena itu, ke depan, perlu dipertimbangkan agar lembaga ini diperkuat. Dalam UU terbaru MK, pengaturan Dewan Etik masih minim, baik dalam keorganisasian maupun dukungan dalam menjalankan tugas.
Sebagai lembaga yang bertugas menjaga harkat dan martabat hakim konstitusi, lembaga ini hanya digawangi oleh dua staf. Dalam bayangan saya, dalam menjalankan tugas, Dewan Etik seharusnya dibantu staf administrasi setingkat eselon 2.
Lembaga ini juga perlu tambahan taji kewenangan. Untuk memudahkan menjalankan tugas, ke depan perlu dipertimbangkan kewenangan untuk memanggil siapa pun yang dianggap tahu kasus yang sedang ditangani, bila perlu dengan cara paksa. Mengingat banyak kasus yang mendera MK, perlu juga kewenangan penyadapan 24 jam terhadap para hakim konstitusi.
Saya membayangkan, para hakim konstitusi tersebut, selama menjabat, seperti hidup dalam rumah kaca. Segala gerak-geriknya terpantau dan terawasi. Sebelum mencalonkan diri, mereka harus mengetahui konsekuensi tersebut. Ibarat mau pentas dalam sebuah pertunjukan, para pemain sudah mengerti konsekuensi dari perannya. Begitu juga dengan seorang hakim.
Jika mereka tidak ikhlas kebebasannya berkurang, jangan pernah bermimpi menjadi hakim konstitusi. Saya meyakini masih banyak orang hebat dan pintar di luar sana yang siap 24 jam disadap ketika terpilih menjadi hakim konstitusi. Satu-satunya ruangan yang tidak boleh disadap adalah Ruang Permusyawaratan Hakim untuk menjaga kerahasiaan sebuah putusan.
Hakim juga manusia
Mengapa cara ekstrem itu dilakukan? Sebab, mereka juga manusia. Dalam beberapa kasus, mereka tergoda. Akil Mochtar dan Patrialis Akbar adalah contoh nyata bahwa mereka manusia biasa yang gampang tergelincir ke lubang kesalahan.
Dua kali melanggar etik sebagaimana dilakukan Arief Hidayat saat ini, juga merupakan bukti tak terbantahkan kalau lembaga ini bukan diisi para malaikat. Oleh karena itu, memperkuat sistem kontrol adalah harga mati.
Lebih dari itu, pengawasan atau kontrol atas hakim konstitusi harus di atas profesi lain. Sebab, ludah mereka—mengutip Satjipto Rahardjo—adalah ludah api (idu geni). Di atas putusan mereka hanya ada langit. Karena itu, sangat berbahaya jika pemilik idu geni itu ternyata bukan negarawan yang sebenar-benarnya.
Saya tak pernah khawatir terhadap para negarawan yang dipancari sinar ketuhanan. Namun, yang saya khawatirkan, masuknya para negarawan administrasi, atau negarawan hasil lobi. Untuk yang terakhir itu, Dewan Etik harus terus memantau karena pertaruhannya adalah putusan MK yang akan ditanggung 250 juta penduduk Indonesia.
Oleh karena itu, menyikapi putusan Dewan Etik untuk yang kedua kalinya, seharusnya Arief Hidayat mundur. Ibarat permainan sepak bola, akumulasi dua kartu kuning adalah kartu merah. Secara gentleman iaharus menyampaikan permohonan maaf kepada masyarakat, lalu mengundurkan diri.
Arsyad Sanusi adalah contoh seorang kesatria bagaimana seorang hakim konstitusi harus bersikap dalam mempertanggungjawabkan sebuah kesalahan. Jika pernyataan mundur itu tidak segera dilakukan, lembaga ini sulit mendapatkan kepercayaan publik. Kalau marwah itu sudah hilang, buat apa juga ngotot bertahan menjadi Ketua MK.
Salam!
Abdul Ghoffar Husnan Peneliti Mahkamah Konstitusi
Tulisan ini disalin dari Harian Kompas, 25 Januari 2018