KH Hasyim Muzadi: Rakyat Permisif terhadap Korupsi
Kesediaanya menjadi calon wakil presiden dari calon presiden Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan, Megawati Soekarnoputri, menimbulkan kontroversi di kalangan Nahdlatul Ulama (NU). Ia akhirnya dinon-aktifkan oleh Syuriah Pengurus Besar NU pada 15 Mei 2004.
Keputusannya itu bukannya tanpa syarat. Ia baru menyatakan persetujuannya ketika Megawati menjamin bahwa Hasyim bisa mewujudkan segala gagasan yang ia bangun selama menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU sejak tahun 1999 jika terpilih menjadi wapres.
Gagasan dan langkah yang dibangunnya selama di NU, pertama, adalah membangun ukhuwah nahdliyah, yakni ia ingin mewujudkan NU sebagai tenda besar bagi seluruh orang NU lintas politik, lintas golongan, lintas profesi, dan lintas strata sosial, dan nonpartisan.
Kedua, membangun ukhuwah islamiyah dengan mendekati sejumlah organisasi Islam lainnya seperti Muhammadiyah, Al-Irsyad, bahkan Hisbut Tahrir Indonesia. Tujuannya agar tidak terjadi ekstremisme di Islam, tidak ada pertikaian antar-umat Islam, dan mengangkat citra umat Islam di dunia internasional.
Ketiga, membangun kerja sama lintas agama dengan Gerakan Moral Nasional Indonesia. Di situ ada Syafii Maarif, Nurcholish Madjid, Roeslan Abdulgani, Julius Kardinal Darmaatmadja SJ, Pendeta Andreas Yewangoe, dan Ibu Gedong Bagoes Oka (almarhum).
Keempat, membangun ukhuwah wathoniyah agar NU menjadi titik temu seluruh elemen bangsa mulai dari yang paling kanan dan paling kiri.
Kelima, memperkenalkan ide-ide Islam di dunia internasional melalui International Conference of Islamic Scholar 23 Februari 2004.
Pria kelahiran Tuban, Jawa Timur, 8 Agustus 1943, itu sering dikategorikan pengamat sebagai ulama NU struktural. Alumnus Pondok Modern Darussalam Gontor, Ponorogo, Jatim, tersebut merintis karier di NU sebagai Ketua Ranting NU Bululawang, Malang, Jatim, tahun 1964. Secara berjenjang, ia menjadi Ketua Pengurus Cabang NU Malang (1973-1977), Ketua Pengurus Wilayah NU Jatim (1992-1999) sebelum terpilih menjadi Ketua Umum Tanfidziyah PBNU 26 November 1999. Dari alumni Gontor itu hanya saya dan Pak KH Idham Chalid (1956-1984) yang menjadi Ketua Umum PBNU, kata Hasyim suatu ketika.
Dari riwayat hidupnya, ternyata Hasyim pernah mengenyam pengalaman di bidang politik praktis. Suami Hj Muthamimah dengan enam anak ini menjadi Ketua Dewan Pimpinan Cabang Partai Persatuan Pembangunan Malang tahun 1973-1977.
Berikut petikan wawancara Kompas dengan Hasyim Muzadi dalam perjalanan dengan pesawat carter dari Surabaya (Jawa Timur) untuk berkampanye di Manado (Sulawesi Utara) hari Rabu (2/6) silam.
Apa visi Anda tentang Indonesia masa depan?
Tujuan visioner dari langkah kita adalah, pertama, Indonesia yang berdaulat dalam politik dalam arti luas. Kedua, punya kemandirian dalam bidang ekonomi. Tentu dalam konteks tidak eksklusif, tetapi punya kemandirian. Ketiga, bermartabat dalam budaya, agama, dan kepribadian. Visi ini tentu harus diwadahi dalam misi. Misinya tentu berwadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) sebagaimana pendiri-pendiri negara. NKRI ini harus ditopang pertama kali dengan moral kebangsaan. Moral kebangsaan itu bagaimana moral agama, lintas agama, moral etnis, moral seluruh rakyat, ini disatukan sebagai moral kebangsaan untuk mendukung NKRI itu. Dari moral kebangsaan ini akan kita tancapkan pilar-pilar bangsa dalam bidang politik, ekonomi, hukum, pendidikan, budaya, keamanan, sosial, dan integritas Indonesia. Sekarang ini yang rontok moral kebangsaan itu sehingga pilar-pilar itu dengan sendirinya akan runtuh. Paling tidak retak-retak. Oleh karena itu, dalam menegakkan pilar-pilar bangsa itu diperlukan, pertama, kepemimpinan nasional yang kokoh dan bisa mengarahkan gerakan populis sebagai solidarity maker (perekat).
Kedua, di bawahnya harus ada manajer pemerintahan yang andal sekalipun dia tidak presiden dan tidak wakil presiden. Di bawahnya harus ada kabinet yang profesional. Dia harus punya loyalitas kepada bangsa dan pemimpin bangsa, punya kecakapan dan kejujuran. Dia harus bersih. Kabinet ini harus berada dalam satu komando secara unit. Boleh saja seorang menteri berasal dari berbagai macam partai politik, tetapi begitu masuk kabinet, loyalitasnya pada partai berhenti ketika loyalitasnya pada negara dimulai (loyalty of his/her party ends when loyalty to his/her country begins). Kalau tidak, tidak usah masuk kabinet.
Nah, kabinet saja sebenarnya belum menjamin adanya pemulihan Indonesia karena sistem yang kita punya belum sistem yang mengerucut, tetapi sistem yang melebar. Hubungan antara eksekutif dan legislatif harus diperhatikan benar karena seorang presiden memang dia bisa jadi karena pilihan rakyat, tetapi untuk kerja dia harus dengan parlemen.
Maka, jangan lupa kita melihat potensi parlemen itu. Potensi ini sudah punya wawasan kebangsaan yang solid ataukah masih sangat pelangi. Itu akan menentukan gerak kerja dari kabinet itu.
Kemudian, kita tidak punya lagi Garis-garis Besar Haluan Negara (GBHN) sehingga semua program pemerintah diajukan oleh pemerintah sendiri. Masalahnya sekarang, bisa disetujui oleh parlemen atau tidak. Di sinilah maka yang diperlukan adalah sehatnya partai-partai itu. Ini jangan lolos dari pengamatan kita. Partai-partai ini kalau sehat dan punya hubungan lintas partai yang sehat pula, dia punya wawasan kebangsaan, baru wawasan kepartaian, dia akan bagus.
Kita harus tahu bahwa eksekutif juga harus berdampingan dengan yudikatif sehingga kalau kita melihat presiden dan wakil presiden bukan sesuatu yang otomatis untuk semuanya beres sekaligus. Ini yang harus dipersepsikan kepada masyarakat agar masyarakat tidak putus asa. Masyarakat melihat bahwa presiden itu majikan negara, padahal tidak.
Masyarakat harus tahu apa yang bisa dilakukan oleh pemerintahan dan apa yang tidak bisa dilakukan oleh pemerintahan. Ini harus jelas di rakyat.
Konstelasi ini harus bisa secara populis mengangkat partisipasi masyarakat karena, tanpa partisipasi masyarakat, tidak satu presiden pun yang akan berhasil. Tidak mungkin. Apalagi sekarang ada penjenjangan pada pemerintahan, tidak sentralistis. Jadi, di mana pemerintah pusat, di mana pemerintah provinsi, ini tidak otomatis. Ini kalau tidak ada koordinasi dan kepercayaan, maka akan terjadi fragmentasi di dalam gerak pemerintahan itu yang menyulitkan partisipasi masyarakat. Ini semuanya harus terbaca oleh masyarakat.
Untuk menutupi kelemahan Megawati yang manajemen pemerintahannya kurang, apa Anda bisa menutupinya, sementara Anda juga tipe pemimpin solidarity maker?
Itu harus di bawah presiden. Jadi, menteri koordinator harus menteri senior yang efektif membidangi bidangnya. Kemudian dia harus lapor kepada presiden atau wakil presiden. Bu Mega sebagai solidarity maker pun mesti dibantu. Belum lagi masalah manajerial pemerintahan. Jadi, di bawah solidarity maker harus ada manajer pemerintahan (governmental manager). Di bawah governmental manager, itu orang profesional pada bidangnya.
Kalau terpilih, program 100 hari nanti apa?
Tentu kita tidak bisa menghitung harinya. Kita hanya bisa menghitung permulaan. Yang harus dilakukan adalah soliditasi kabinet dan tata hubungan lintas lembaga negara. Tanpa itu, nonsens. Baru setelah itu aksi. Aksi itu prioritas.
Prioritas itu ada prioritas sektoral, ada prioritas operasional. Prioritas sektoral adalah penegakan hukum, termasuk pemberantasan korupsi. Jangan lupa kesatuan dan persatuan masyarakat. Jangan lupa pengembangan ekonomi kecil. Ini semua harus komprehensif.
Kemudian tata operasionalnya ke bawah adalah bagaimana soliditas pemerintah ke bawah. Jadi saya tidak menghitung berapa harinya, tetapi menghitung langkahnya, yaitu konsolidasi kabinet dan konsolidasi lintas lembaga negara.
NU sudah berkomitmen untuk memberantas korupsi, tetapi itu baru tataran gerakan moral. Bagaimana mewujudkannya?
Kenapa saya maju sebagai cawapres, itu justru untuk merealisasikan ide-ide saya. Saya tetap seperti yang dulu. Aku masih seperti yang dulu. Jadi tidak ada perubahan visioner, Hasyim Muzadi sekarang bukan Hasyim Muzadi yang lain. Hasyim Muzadi hari ini adalah Hasyim Muzadi yang dulu juga.
Saya sudah mengemukakan persatuan di kalangan NU, persatuan di kalangan umat Islam yang visioner, lintas agama, wawasan kebangsaan, pemberantasan korupsi, dan wawasan internasionalisme. Wawasan ini semuanya yang akan saya bawa. Seberapa ruang yang saya bisa membawa, ini tergantung bagaimana peran saya nanti. Tetapi saya tidak bisa terus-menerus berteriak, kemudian saya tidak tahu teriakan saya ini lari ke mana.
Maka sekarang, saya minta teman-teman yang bersama-sama berteriak dengan saya tetap berteriak, biar saya yang menerima di sektor kekuasaan. Hanya sekarang dilihat bagaimana peluang yang mungkin, bukan kemauan yang mungkin. Kalau kemauan sudah jelas seperti itu, tetapi kita lihat peluang yang mungkin seperti apa. Tetapi saya sudah ada komitmen dengan Bu Mega bahwa ide saya ini ada jaminan bisa dilakukan di pemerintahan.
Apakah itu termasuk kewenangan untuk menentukan Jaksa Agung?
Sebenarnya untuk penegakan hukum tidak hanya Jaksa Agung dan Kepala Polri. Ada empat komponen di situ, yaitu penyidikan dari polisi, unsur penuntutan dari jaksa, unsur pengadilan dari mahkamah, dan unsur advokat. Apakah keempatnya ini bergerak pada keadilan hukum, atau bisnis hukum, atau dia menggunakan hukum untuk tujuan di luar hukum.
Ini harus dibereskan dulu. Tetapi untuk penegakan empat unsur ini diperlukan komitmen pemimpin nasional. Tanpa pemimpin nasional, nonsens ini bisa jalan. Kalau ini sudah jalan, ini tidak cukup. Produk hukumnya ada di DPR. Sementara yudikatif ada hubungan langsung dengan DPR, tetapi tidak ada hubungan langsung dengan eksekutif.
Maka, ini harus dihitung. Kalau tidak dihitung, akan ada yang tersisa dalam gerakan penegakan hukum dan pemberantasan korupsi. Di sini diperlukan dukungan moral rakyat. Oleh karena itu, gerakan moral yang saya lakukan tempo hari itu pada eselon masyarakat madani (civil society). Itu diperlukan untuk melakukan keberanian moral (moral courage) dari aparat. Jangan sampai rakyat ini permisif terhadap korupsi. Orang dikasih duit diam-diam saja.Kenapa diam-diam saja? Ada dua faktor. Pertama, mereka tidak tahu duit itu dari mana. Kedua, rakyat itu memang miskin. Jadi, orang miskin itu lebih gampang ditindas dengan uangnya sendiri daripada dikembangkan menjadi orang yang tidak miskin.
Ada gambaran siapa orang Jaksa Agung dan Kapolri?
Pokoknya, Kepala Polri harus punya loyalitas kepada negara. Dia punya kecakapan pada bidangnya. Dia bersih. Tetapi perlu ditambah satu lagi, yaitu berani. Untuk keberanian, tidak bisa berani sendiri tanpa jaminan pemimpin nasional. Pemimpin nasional harus menjamin kamu berani selama kamu benar, kamu tidak dicopot. Kamu boleh untuk menyidik siapa saja, termasuk presiden dan wakil presiden. Kalau tidak begitu, tidak bisa. Ini bukan hanya Kepala Polri, tetapi juga Jaksa Agung.
Ada yang bilang Anda minta kepada Megawati mengkhususkan dalam bidang pengawasan. Bisa dijelaskan?
Ya. Kita kan tahu PDI-P itu besar dalam jumlah, tetapi tidak besar dalam sistem. Maka ini harus dibantu. Ibu Mega kan seorang wanita. Dia lebih mendahulukan nurani daripada rasio. Sebagusnya, karena pengawasan itu harus formal betul, maka kalau memang ada kepercayaan, kasihkan koordinasi itu kepada saya.
Ada opini selama PDI-P berkuasa selama hampir tiga tahun ini, korupsi malah naik?
Korupsi dalam 32 tahun tentu lebih besar dari korupsi tiga tahun. Itu kepala rumah tangga siapa pun juga paham. Hanya yang tiga tahun ini tidak bisa memberesi yang 32 tahun sehingga setelah berkuasa menjadi 32 + 3, menjadi korupsi 35 tahun. Jadi, tidak bisa diambil kesimpulan bahwa setelah PDI-P berkuasa, korupsinya makin meningkat. Lho, meningkat itu dari jumlah berapa? Rp 1.500 triliun itu utangnya siapa? Kalau dibilang bahwa setelah dipimpin PDI-P korupsi lebih besar, yang ngomong itu tidak jujur. Mestinya mereka ngomong, korupsi dulu itu besar sekali, belum bisa diberantas oleh penguasa yang baru, di penguasa ini ada korupsi selama tiga tahun.
Kenapa sekarang Anda punya optimisme korupsi bisa diberantas?
Karena Bu Mega plus PDI-P ada komitmen mau saling berbagi pikiran, mau saling mengisi, karena kita tahu PDI-P adalah organisasi yang seperti NU juga. Dia padat massa, tetapi tidak padat profesional sehingga kerja sama ini kemudian menjadi kerja sama setara. Bukan saya masuk kemudian saya jadi pembantu.
Bagaimana dengan tradisi amplop di berbagai lembaga, termasuk NU?
Itu bukan hanya NU. Semua rakyat kita masih permisif terhadap korupsi. Misalnya setiap pemilihan kepala desa, kata rakyat, ya sudah daripada ini kosongan, yang kasih Rp 10.000 itu yang saya pilih. Jadi itu budaya yang permisif terhadap korupsi, termasuk di dalamnya tentu kiai sebagai bagian dari semuanya itu. Tetapi kiai tidak bisa disalahkan karena dia tidak tahu dia itu korup atau tidak. Dia tidak tahu asalnya duit dari mana. Tetapi penggunaannya insya Allah penggunaan yang tidak untuk memperkaya diri, karena tidak ada kiai yang menjadi kaya karena dikasih ceperan korupsi itu. Mesti jadi apalah begitu.
Selain karena PDI-P lebih dulu melamar dibandingkan dengan Golkar, sebetulnya apa alasan Anda bergabung dengan Megawati dan PDI-P?
Pertama memang keduluan. Kedua, saya ingin membuat civil society. Civil society paling bagus itu antara orang NU dan orang nasionalis abangan. Dia tidak tersentuh struktur. Nah, pengembangan civil society di masa reformasi ini belum berkembang. Masih kira-kira seperlima berkembang. Nah, ini kalau balik lagi pada birokratisasi masyarakat, ini akan layu sebelum berkembang. Maka NU dengan nasionalis di akar rumput itu harus disatukan segera untuk dibingkai dalam civil society.
Anda yakin bisa menggaet suara warga NU?
Saya tidak mengetengahkan keyakinan, tetapi saya mengetengahkan perjuangan. Jadi, pokoknya perjuangan saya ini optimal, selebihnya terserah Yang Maha Kuasa karena pemimpin nasional itu menurut saya bukan pangkat, tetapi derajat. Kalau pangkat, orang bisa mengklaim karena dia ada stratanya. Kalau derajat, itu separuh ikhtiar manusia, separuh pemberian Tuhan.
Jadi, pokoknya saya bekerja, niat saya baik, sudah. Dikabulkan Allah, saya akan terima. Misalkan tidak dikabulkan Allah, mungkin itu yang terbaik untuk saya. Jadi saya nothing to lose.
Berarti Anda punya skenario gagal?
Kalau misalnya saya gagal dalam pemilu, ya saya kembali mengabdi pada NU, baik sebagai ketua maupun tidak. Wong saya jadi NU mulai ketua ranting semenjak 40 tahun yang lalu. Saya juga ada pesantren (Hasyim mendirikan Pondok Pesantren Mahasiswa Al-Hikam di Jalan Cengger Ayam, Malang, tahun 1992-Red). Di situlah saya bisa mengabdi.
Kenapa saya maju? Ingin membawa seonggok ide yang hanya pada wacana ini, lelah saya lama-lama. Sementara yang lain tidak nyahut sama sekali. Ini harus dibawa sendiri sebisa-bisanya. (Subur Tjahjono)
Sumber: Wawancara rubrik sosok harian Kompas, 22 Juni 2004