Kinerja Ekonomi-Politik Pemerintah Yudhoyono

Pertumbuhan ekonomi selama 2007 mencapai target 6,3 persen dari produk domestik bruto (PDB) sehingga sejalan dengan target pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan 2007. APBN adalah cermin stabilitas ekonomi makro yang membantu melihat peningkatan atau penurunan kinerja. Pencapaian ini dipandang lebih baik dibanding pertumbuhan ekonomi 2005 sebesar 5,5 persen dari target 5,8 persen. Pencapaian ini didorong dari sektor konsumsi rumah tangga, ekspor bersih, dan investasi.

Sementara itu, defisit diperkirakan hanya 1,2 persen dari PDB. Dari pos penerimaan negara, data Departemen Keuangan 29 Desember 2007 mencatat realisasi penerimaan pajak mencapai 13,3 persen dari PDB atau lebih tinggi dari target APBN-P 2007 sebesar 13,1 persen dari PDB. Dari penerimaan pajak dalam negeri, diperkirakan realisasi mencapai 12,7 persen dari PDB atau lebih tinggi dari target APBN-P 2007 sebesar 12,6 persen. Realisasi kenaikan dari pos penerimaan pajak terjadi pada semua jenis pajak. Misalnya, PPh migas mencapai 6 persen di atas target APBN-P 2007, PPN naik 2,9 persen, dan PBB naik 13,5 persen. Namun, PPh nonmigas mengalami penurunan 5,2 persen dari target APBN-P 2007.

Adapun penerimaan negara bukan pajak (PNBP) 2007 diperkirakan mencapai 5,8 persen dari PDB atau lebih tinggi dari target APBN-P sebesar 5,3 persen.

Kenaikan disumbangkan oleh peningkatan dividen BUMN yang cukup signifikan serta penerimaan sumber daya alam (migas dan nonmigas). Pos penerimaan lainnya adalah Bea-Cukai, yang mengalami kenaikan melonjak hingga 110,7 persen dari target APBN-P 2007, dengan perincian: cukai pita naik 7 persen di atas target, bea masuk naik 15,1 persen, dan pajak ekspor bea keluar naik 37 persen. Kenaikan pajak ekspor bea keluar disebabkan harga minyak sawit mentah yang mengalami kenaikan.

Pada pos belanja negara, hingga akhir 2007 realisasinya mencapai 20,3 persen dari PDB atau lebih tinggi dari asumsi awal yang 20 persen dari PDB. Belanja pemerintah pusat terealisasi 2,7 persen di atas APBN-P 2007 berupa belanja modal yang diperkirakan mencapai 89,4 persen, lebih tinggi dari angka pada 2006 sebesar 82,4 persen dan 2005 sebesar 60 persen; sedangkan belanja barang hanya mencapai 84,8 persen atau menurun dibanding 2006 sebesar 85 persen dan 2005 sebesar 68,9 persen; belanja sosial (bencana alam, BOS, dan lain-lain) realisasinya mencapai 96,9 persen selama 2007, meningkat dibanding 2006 sebesar 91,3 persen. Adapun belanja daerah naik 1,3 persen dari perkiraan awal.

Pertumbuhan investasi
Namun, pertumbuhan investasi selama 2007 tidak mencapai target 12,3 persen. Berdasarkan catatan Departemen Keuangan, indikator investasi pada pembentukan modal tetap bruto (PMTB) diperkirakan hanya tumbuh 7,9 persen hingga akhir tahun. Hal ini menandakan masih belum adanya ketidakpastian menanamkan modal di Indonesia. Bentuk ketidakpastian bisa karena ketidakpastian hukum yang mempengaruhi ketidakpastian dana yang harus dikeluarkan pihak investor dalam melakukan investasi pada satu sisi dan di sisi lain kualitas infrastruktur sebagai hambatan pada sisi penawaran (supply-side constraint) yang mengurangi daya tarik investasi dalam rangka meningkatkan kapasitas perekonomian negara agar tumbuh berkesinambungan.

Kegagalan mencapai target pertumbuhan investasi lebih banyak disebabkan oleh kondisi faktor eksternal. Salah satu faktor eksternal itu adalah peningkatan harga berbagai komoditas di sejumlah sektor bisnis, utamanya agrobisnis. Misalnya dalam industri kakao, pada 2007 Asosiasi Kakao Indonesia (Askindo) gagal memenuhi target ekspor sebanyak 600 ribu ton. Askindo memperkirakan realisasi ekspor hanya mencapai 500 ribu ton. Meski gagal memenuhi target ekspor, sumbangan devisa dari kakao tetap tinggi, sebesar US$ 900 juta, meningkat hingga 20 persen dari tahun sebelumnya karena harga pasar dunia cukup baik. Peningkatan devisa hingga 20 persen berkat insentif dihilangkannya pajak pertambahan nilai 10 persen kepada pelaku industri. Membaiknya harga kakao di pasar dunia mendorong beberapa investor berencana menanamkan modalnya di Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tengah pada 2008. Karena itu, diharapkan pemerintah pada 2008 tetap memfokuskan perhatian pada pengembangan perekonomian negara agar tetap tumbuh, meski pada 2009 akan diselenggarakan pemilu.

Meskipun gagal mencapai target pertumbuhan investasi, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menyatakan tren investasi menunjukkan kinerja yang positif. Hal ini bila dibandingkan dengan pencapaian pada 2006 yang hanya tumbuh 2,9 persen. Menurut dia, banyak bukti yang menunjukkan kinerja investasi yang positif seperti belanja pemerintah yang mengalami peningkatan, penjualan semen, dan meningkatnya impor barang-barang modal sebagai indikator.

Pengangguran
Pertumbuhan ekonomi Indonesia yang mencapai 6,3 persen pada 2007 didorong oleh faktor kecenderungan suku bunga yang turun, inflasi yang relatif terkendali, kurs rupiah yang kuat (dolar Amerika melemah) dengan volatilitas yang sempit, serta kinerja ekspor yang impresif yang mendorong neraca pembayaran dan cadangan devisa yang mengalami kenaikan. Secara teoretis, skenario pertumbuhan ekonomi 1 persen akan menyerap tenaga kerja sebesar 300 ribu orang. Jika pertumbuhan ekonomi 6,3 persen, berarti tenaga kerja yang terserap diperkirakan sebesar 1.860.000 orang.

Korelasi kinerja ekonomi berpengaruh langsung pada kondisi politik. Bila pemerintah berhasil meningkatkan pertumbuhan ekonomi melalui pertumbuhan investasi, otomatis akan berpengaruh pada pengurangan tingkat pengangguran dan penurunan angka kemiskinan. Kita tahu kedua isu krusial tersebut merupakan isu politik strategis, sehingga akan mempengaruhi sentimen publik terhadap pemerintah yang berkuasa. Pada 2007 jumlah orang miskin secara nasional masih tergolong besar, mencapai 37,16 juta orang atau 16,58 persen dari 224 juta penduduk Indonesia. Adapun angka pengangguran secara nasional masih bertahan pada posisi 10,55 juta orang atau 9,75 persen dari total angkatan kerja.

Data di atas menandakan bahwa faktor distribusi dan produksi masih menjadi agenda pemerintah pada 2008, agar pertumbuhan ekonomi berkorelasi positif terhadap pengurangan pengangguran dan pengentasan masyarakat dari kemiskinan. Pada sisi produksi, kenaikan harga minyak akan mempengaruhi tingkat produksi industri nasional. Kenaikan harga minyak akan meningkatkan biaya penggunaan bahan bakar minyak, demikian juga pada peningkatan biaya transportasi dan distribusi hasil produksi industri tersebut. Harga minyak di atas asumsi US$ 60 per barel juga akan meningkatkan defisit APBN 2008. Saat ini harga minyak terus bertahan pada angka US$ 90 per barel sehingga diperkirakan mempengaruhi peningkatan APBN sebesar Rp 7-10 triliun.

Sementara itu, pada sisi distribusi, pemerintah wajib memperluas akses pada terciptanya pekerjaan, sehingga angkatan kerja bisa terserap dan penduduk miskin bisa berkurang. Skenario pemberantasan kemiskinan melalui program PNPM, bantuan langsung mandiri, kemudahan kredit bagi usaha mikro, kecil, dan menengah seyogianya dipercepat realisasinya pada 2008. Karena itu, APBN 2008 dapat berfungsi sebagai stimulus dalam menciptakan lapangan kerja, baik secara langsung maupun tidak langsung, seperti percepatan penyediaan infrastruktur fisik berupa jalan dan jembatan di seluruh pelosok negeri.

Di samping itu, kontrol yang ketat terhadap pengeluaran pemerintah melalui pos APBN 2008 selalu ditingkatkan agar kebocoran dapat ditekan semaksimal mungkin. Apalagi agenda politik Pemilu 2009 kian mendekat, sehingga partai-partai politik melalui para politikus di parlemen dan pemerintah akan berusaha melakukan penggalangan dana pemilu agar dapat memenangi pesta demokrasi lima tahunan tersebut. Bila kedua isu krusial ini dapat tertangani pada 2008, pemerintah Yudhoyono-Kalla pasti akan mendapatkan apresiasi rakyat pada Pemilu 2009 mendatang.

Muslimin B. Putra, pemerhati kebijakan ekonomi-politik pada Pusat Kajian Kebijakan Nasional, Jakarta

Tulisn ini disalin dari Koran Tempo, 4 Januari 2008

BAGIKAN

Sahabat ICW_Pendidikan