Koalisi Anti Mafia Hutan Menolak RUU Pemberantasan Perusakan Hutan
Koalisi Anti Mafia Hutan menolak Rancangan Undang-undang Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H), karena RUU ini mempunyai banyak cacat yang nantinya malah merugikan masyarakat. Koalisi menilai RUU ini berbahaya dan dikhawatirkan malah melindungi mafia hutan yang sesungguhnya.
Yance Arizona dari Epistema Institute yang juga tergabung dalam Koalisi Anti Mafia Hutan, mengatakan, “Ketika kita bicara soal hutan, sebenarnya kita bicara soal 65-70% dataran Indonesia. Jumlah dataran Indonesia itu 190 juta hektar, sementara kawasan hutan itu jumlahnya 129 juta hektar. Jadi ini bicara lebih dari setengah republik,” Yance menekankan betapa besarnya persoalan hutan Indonesia, baru dari wilayahnya saja.
“Di dalam 129 juta hektar kawasan hutan itu ada 33.000 desa, ini pernyataan Menteri Kehutanan sendiri. Kira-kira ini jumlah 40% desa di Indonesia. Berarti ada 40% desa di Indonesia yang punya situasi terancam dengan adanya kawasan hutan. Kita tahu yang dimaksud dengan kawasan hutan di lapangan itu bukan kumpulan kayu saja. Tapi termasuk kawasan-kawasan yang dikuasai Kementerian Kehutanan. Jadi kalau kita bicara perusakan hutan, ini dikhawatirkan bisa menjadi upaya Kementerian Kehutanan untuk mengamankan tanah-tanah yang menjadi otoritas atau aset mereka,” jelas Yance.
Kehutanan Indonesia menyimpan banyak luka memilukan. Dari tahun ke tahun, konflik-konflik kehutanan terus merebak. Sampai tahun 2012, terdapat 72 kasus konflik kehutanan yang melibatkan 1,3 juta hektar dari 129 juta hektar lahan hutan di 17 provinsi. Berdasarkan data Paguyuban Petani Hutan Jawa (PPHJ), selama tahun 1999-2011 tercatat 34 petani meninggal dunia dan 73 petani luka-luka akibat ditembak dan dianiaya terkait konflik kawasan hutan.
Konflik-konflik ini terjadi akibat ketidakadilan dan ketidakpastian kepemilikan kawasan hutan. Salah satu pangkal persoalan adalah pengaturan hutan di UU Kehutanan No. 41 Tahun 1999. Tapi, alih-alih membereskan persoalan, pemerintah malah mengeluarkan RUU Pemberantasan Perusakan Hutan (RUU P2H) yang punya banyak cacat.
Pembahasan RUU ini pun terkesan diam-diam. Bahkan, para pegiat LSM baru mengetahui adanya RUU ini beberapa hari yang lalu. Selain tidak melibatkan publik dan prosesnya yang tertutup, isi RUU ini menimbulkan banyak persoalan yang bila jadi disahkan, akan memperparah silang sengkarut kehutanan.
Koalisi setidaknya mencatat sepuluh poin permasalahan dalam RUU P2H yang sedang dibahas dengan diam-diam di DPR ini.
Pertama, tidak jelasnya definisi “terorganisir” dalam pasal-pasal RUU yang mengatur tentang kejahatan terorgansir. Ini dapat mengakibatkan kriminalisasi masyarakat lokal. “Bisa salah tafsir. Bukannya menangkap pembalak liar, bisa-bisa malah menangkap masyarakat adat. Makna pembalakan sebagai ‘penebangan kayu tanpa izin’ ini, sempit sekali definisinya,” ujar Rakhma Mary dari Perkumpulan untuk Pembaharuan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa).
DD Shineba dari Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mengungkapkan, “Kami duga RUU P2H ini untuk memperkuat investasi sektor kehutanan dan melemahkan posisi masyarakat. Karena kayu yang diatur dalam RUU ini, hanya yang diameter 10 cm. Misalnya kayu diameter 10 cm ini digotong dua orang, ini sudah dianggap kejahatan terorganisir.”
Kedua, tidak ada penjelasan mengenai definisi peladang tradisional sehingga membuat penerapan RUU ini tak jelas.
Ketiga, penjelasan makna “pembalakan liar” yang hanya dipersepsikan sebagai penebangan kayu tanpa izin. Padahal seharusnya, pembalakan liar ikut memasukkan pemanfaatan hasil hutan kayu di luar kawasan izin. Di luar target volume yang diizinkan, dan dalam radius tertentu dari kawasan yang dilindungi.
Keempat, sistematika RUU yang tidak memisahkan pembalakan liar dan penggunaan kawasan hutan secara tidak sah, padahal keduanya menyangkut rezim kebijakan yang tumpang tindih.
Kelima, sertifikasi kayu tidak dimasukkan sebagai upaya pencegahan pembalakan liar.
Keenam, adanya ketentuan “lelang barang bukti” dalam RUU ini yang membuka jalan bagi pencucian legalitas kayu, dimana kayu lelangan ini akan didapatkan perusahaan lagi dengan harga murah. Demikian juga barang bukti kayu tidak jelas akan diperuntukkan untuk kepentinngan siapa. “Kayu-kayu ini bisa jatuh ke tangan-tangan perusahaan sebagai penadah. Nah, sebenarnya, untuk siapa RUU ini dimaksud?” tanya Rakhma heran.
Ketujuh. RUU ini masih menggunakan peta penunjukan sebagai dasar yuridis batas kawasan hutan. “Hal ini tidak tepat, karena penunjukan kawasan hutan tidak bisa lagi dijadikan dasar untuk memastikan kawasan hutan, sesuai dengan putusan MK No. 45 tahun 2012 yang membatalkan pasal ini. RUU ini jadi salah kaprah,” kata Rakhma lagi.
Kedelapan, tidak adanya pasal-pasal pidana yang dapat menjerat pelaku usaha perkebunan dan pertambangan yang telah melakukan operasi usaha tanpa izin yang sah/ lengkap berdasarkan peraturan yang berlaku.
Kesembilan, tidak ada pasal-pasal pidana yang menjerat pejabat berwenang yang mengetahui namun membiarkan perbuatan di poin kedelapan.
Kesepuluh, pasal 53 di draf RUU P2H ini mengatur pembentukan Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan. Padahal, sebenarnya tanpa pembentukan lembaga ini, pemberantasan kejahatan kehutanan pun sudah ditangani institusi-institusi penegak hukum yang telah ada selama ini, seperti Kejaksaan, Kepolisian, dan KPK.
DD Shineba mempertanyakan pembentukan lembaga ini. “Ini patut diduga apa karena KPK akhir-akhir ini nyasar izin-izin hutan? Karena takutnya nanti, isu-isu di kehutanan ini nanti domain-nya lembaga ini dan KPK tidak bisa masuk. Ini tidak bisa dijawab Panja. Ini dipaksakan untuk segera terbit, dan justru menambah persoalan keruwetan agraria. Kalau ini tetap dikeluarkan, makin ruwet,” tegas DD.
Emerson Yuntho dari ICW mengatakan bahwa Lembaga Pemberantasan Perusakan Hutan ini tidak diperlukan. “Di lembaga ini akan masuk polisi, Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS). Lembaga ini tidak dibutuhkan. Ada tidak ada RUU ini, pemberantasan kejahatan kehutanan sudah berjalan walau belum maksimal. Ini yang perlu kita waspadai. Bahwa jangan-jangan semangatnya itu bukan memberantas mafia hutan, tetapi melindungi mafia sesungguhnya.,” tukas Emerson.
Koalisi Anti Mafia Hutan menuntut agar pembahasan RUU P2H ini dihentikan, dengan segala kekurangan dan cacatnya. Ini bukan berarti koalisi setuju akan perusakan hutan. “Tapi poin kita adalah, bagaimana menyelesaikan akar persoalan. Yaitu, kepastian tentang kawasan hutan. Sudah puluhan orang yang meninggal, ditembak dan dianiaya, karena konflik-konflik kawasan hutan,” kata Yance prihatin.
“Kawasan hutan di Indonesia belum pasti, karena baru 16% yang dikukuhkan dari 159 juta ha. Masih ada judicial review UU No. 41 tahun 1999 berkaitan hutan adat dan masyarakat adat ke MK. Ada pembahasan RUU mengenai perlindungan masyarakat hukum adat. Harusnya ini semua selesai dulu. Baru langkah-langkah berikutnya,” tegas Rakhma Mary.
Koalisi juga menyerukan agar DPR dan pemerintah segera merevisi Undang-undang No. 41 Tahun 1999 tentang kehutanan yang salah satunya memperbaiki ketentuan yang berkaitan dengan tindak pidana bidang kehutanan. “Kita ingin mendorong pemerintah dan DPR memprioritaskan revisi UU Kehutanan. Karena walaupun UU Kehutanan dibuat pada masa awal reformasi, tapi semangat represi Orde Baru masih ada. UU ini ‘kan dibuat sebelum amandemen UUD 1945. Sehingga perlu direvisi untuk disesuaikan dengan semangat konstitusi baru,” kata Yance lagi.
Koalisi Anti Mafia Hutan terdiri dari ICW, Perkumpulan untuk Pembaruan Hukum Berbasis Masyarakat dan Ekologis (HuMa), Epistema Institute, Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (WALHI), Jaringan Kerja Pemetaan Partisipatif (JKPP), Sylvagama, Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), Jaringan Advokasi Tambang (JATAM), Sawit Watch, Indonesia Center for Environment Law (ICEL), Forum Komunikasi Kehutanan Masyarakat (FKKM), dan PUSAKA.