Koalisi Laporkan Daftar Hitam "Hakim iPod"
Koalisi Masyarakat Sipil Antikorupsi melaporkan Hakim “A” dan “G” ke Komisi Yudisial, terkait penerimaan suvenir iPod dari resepsi pernikahan mewah anak Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi. Kedua hakim diduga enggan melaporkan suvenir berbentuk pemutar musik keluaran Apple seharga Rp 700 ribu itu. Diperkirakan sekitar 3.000 tamu mendapatkan suvenir serupa.
Koalisi yang merupakan gabungan Indonesia Corruption Watch, Indonesia Legal Roundtable, dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia menyerahkan “daftar hitam” para hakim ini ke kantor Komisi Yudisial pada Rabu (30/4) lalu. Koalisi menilai para hakim yang tidak mau melaporkan dugaan gratifikasi ke Komisi Pemberantasan Korupsi diragukan integritasnya. Koalisi juga meminta Komisi Yudisial mencoret nama-nama mereka dari daftar calon hakim agung di kemudian hari.
Anggota koalisi dan peneliti ICW Emerson Yuntho menyatakan Komisi Yudisial perlu segera berkoordinasi dengan Komisi Pemberantasan Korupsi. Apalagi, belum lama ini KPK baru saja menerbitkan surat pernyataan bahwa suvenir iPod dalam hajatan nikah itu merupakan barang gratifikasi yang wajib dilaporkan ke KPK dan dapat disita negara.
Koalisi Aksi ini menjadi peringatan bagi para ‘wakil Tuhan di muka bumi” lainnya yang masih nekad menerima gratifikasi dan tak mau patuh melaporkannya pada komisi antikorupsi .
“Fatwa” KPK dirilis setelah sebelumnya ada beberapa hakim yang enggan melaporkan kepada KPK, karena dianggap bukan gratifikasi. Namun beberapa hakim lain akhirnya bersedia melapor ke komisi.
Peneliti ICW Emerson Yuntho menyayangkan para hakim yang enggan melapor, mengingat hakim dianggap “Wakil Tuhan di muka Bumi” dan mengemban tuntutan moral dan etika yang tinggi dalam menjalankan profesinya yang mencerminkan wajah keadilan Indonesia.
“Hakim-hakim yang tidak melaporkan gratifikasi ini menjadi preseden buruk dalam upaya mendorong pemberantasan korupsi dan mencederai citra pengadilan di mata publik.,” kata Emerson minggu lalu.
Pelaporan gratifikasi dimandatkan Pasal 16 Undang-Undang KPK, yang mewajibkan pegawai negeri atau penyelenggara negara untuk melaporkan dalam jangka waktu 30 hari segala bentuk gratifikasi. Selain itu, Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim menyebutkan hakim boleh menerima pemberian yang nilainya tidak lebih dari Rp 500 ribu. Maka, iPod seharga Rp700 ribu ini tak boleh diterima hakim.
Namun, masih ada upaya berdalih dengan menggunakan Surat Himbauan Ketua KPK Nomor B. 143/01-13/01/2013 yang menyebutkan bahwa gratifikasi diberikan dalam perkawinan tidak perlu dilaporkan. Padahal, aturan ini juga mensyaratkan bahwa penerima dan pemberi gratifikasi tidak berpotensi menimbulkan konflik kepentingan.
“Dalam peristiwa ini, ada kemungkinan munculnya konflik kepentingan antara Nurhadi sebagai Sekretaris Mahkamah Agung, dengan para tamunya yang mayoritas berprofesi sebagai hakim,” kata Emerson.
Menurut Emerson, kalaupun ada hakim yang ngotot berdalih gratifikasi iPod tidak menimbulkan konflik kepentingan, Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi secara jelas memandatkan KPK sebagai lembaga yang berhak menilai apakah sebuah gratifikasi berpotensi menimbulkan konflik kepentingan atau tidak.
Berdasarkan “fatwa” KPK, para hakim yang saat ini belum lapor masih punya kesempatan hingga hari ini.
“Jika hingga tenggat waktu berakhir dan masih ada hakim yang nekat tidak melaporkan, maka ia dapat dikategorikan hakim yang tidak berintegritas dan tidak layak menyandang jabatan sebagai hakim, maupun mengikuti proses pemilihan pejabat publik seperti hakim agung,” tandas Emerson.