Koalisi Masyarakat Sipil Tolak BG Jadi Wakapolri
Dalam hal ini, koalisi masyarakat sipil yang terdiri dari Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta, Indonesia Corruption Watch (ICW), KRHN, Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), APIK, Indonesia Legal Resource Center (ILRC), Masyarakat Profesi Penilai Indonesia (MAPPI), Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK).
Menurut Koordinator Divisi Hukum dan Monitoring Peradilan ICW, Emerson Yuntho, pemilihan jabatan sebagai Kapolri maupun Wakapolri seharusnya bukanlah proses politik 'dagang sapi atau balas budi'. Dalam pencalonan BG sebagai Wakapolri atau jabatan strategis lainnya, integritas BG sangatlah diragukan. BG pernah tersangkut kasus dugaan korupsi oleh KPK meskipun dalam perjalanannya dinyatakan gugur akibat putusan praperadilan.
"Meskipun dihentikan, besar kemungkinannya kasus ini dapat dibuka kembali. Hal ini karena bisa saja KPK sewaktu-waktu mengungkit kasus tersebut," papar Emerson saat menjadi salah satu narasumber saat konferensi pers di Kantor Kontras, Selasa (21/4/2015).
Besar kemungkinan jika BG menjadi Wakapolri nanti, posisi tersebut akan dimanfaatkan sebagai ajang balas dendam karena sebelumnya gagal menjadi Kapolri. Hal tersebut, lanjut Emerson, dilakukan dengan menginstruksikan kepada anak buahnya untuk terus melanjutkan kriminalisasi kepada aktivis-aktivis antikorupsi. Di sisi lain, akan ada dualisme kepemimpinan di tubuh Polri jika BG ditunjuk sebagai Wakapolri dan Jenderal Badrodin Haiti yang sudah menjadi Kapolri. "Ini akan ada efek matahari kembar dalam korps Bhayangkara," ujarnya.
Ketidaklayakan BG sebagai Wakapolri juga diutarakan oleh Kepala Bidang Sumber Daya Hukum Masyarakat LBH Jakarta, Alghifari Aqsa. Menurutnya kriminalisasi kerap dilakukan semenjak Presiden Jokowi membatalkan pencalonan BG sebagai Kapolri. "Maka kita menduga kuat bahwa BG adalah aktor dibalik kriminalisasi pimpinan KPK, aktivis antikorupsi, dan akademisi, katanya.
Agenda balas dendam akan menjadi potensi besar jika BG menjadi Kapolri. Hal tersebut telah terlihat bagaimana licinnya BG 'mengacak-acak' agenda pemberantasan korupsi. Masalah ini akan jadi lebih buruk jika BG jadi Wakapolri. "Bayangkan, belum jadi Wakapolri saja sudah banyak kriminalisasi dilakukan. Ini akan jadi ancaman besar untuk semua masyarakat sipil, bukan hanya LSM, tapi juga wartawan," tegasnya.
Sementara itu, Koordinator Untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (Kontras), Haris Azhar, menduga bahwa BG sangat ambisius dalam mengejar posisi pimpinan Polri. "BG meminta imbalan atas dukungannya terkait Nawacita yang diusung Presiden Jokowi. Ada upaya keras dari dia (BG) untuk naik jabatan, sangat terlihat motif yang dilakukannya," kata Haris.
Kerugian bukan hanya akan diterima oleh masyarakat sipil, melainkan juga oleh internal polisi. Hal ini karena institusi penegak hukum akan dipimpin oleh orang yang bermotif politis dalam penataan birokrasi dan konsolidasi internal. "Dia belum menjabat sebagai Wakapolri saja sudah membuat gebrakan yang menodai citra Polri. Kalau dikasih jabatan, BG akan mendorong Polri menjadi institusi yang melayani kepentingan sektoral dan politisi saja," tegas Haris.
Ada Main Jika Jokowi Angkat BG Jadi Wakapolri
Haris Azhar melanjutkan, penolakan Budi Gunawan (BG) sebagai Kepala Polri (Kapolri) oleh masyarakat sipil seharusnya menjadi tolak ukur Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk tidak menawarkan jabatan strategis lainnya kepada Komjen Budi Gunawan (BG). Terlihat jelas motifnya bahwa ada 'main' antara Presiden Jokowi dengan BG jika BG dilantik menjadi Wakapolri. Karena sebelumnya, Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri mengklarifikasi bahwa dirinya tidak meminta BG menduduki jabatan strategis yang ditawarkan Presiden Jokowi.
"Ini kan ada kontroversi besar. Jokowi harus memperhatikan masa depan penegak hukum dan Polri. Seyogyanya, etikanya jika terjadi penolakan di publik seharusnya BG memundurkan diri, ini tidak dapat Kapolri malah mau jadi Wakapolri," keluh Haris.