Koalisi Meminta MA untuk Bertindak Tegas dan Tidak Ada Kompromi Terhadap Koruptor
Koalisi Pemantau Peradilan (KPP) mengajukan delapan poin penting untuk segera ditindaklanjuti oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam audiensi bersama MA yang diwakili Ketua Pidana Khusus Djoko Sarwoko, anggota KPP yang juga Direktur LBH Jakarta Nurkholis Hidayat mengatakan, MA harus segera memperbaiki administrasi manajemen perkara, khususnya penyelesaian minutasi putusan. Lambatnya penanganan hasil putusan membuka peluang mafia peradilan.
Terdapat masalah dalam pengeluaran petikan putusan dan salinan putusan, yang seringkali terhambat bahkan hingga melebihi jangka waktu satu tahun. “Tanpa salinan ataupun petikan putusan, eksekusi terhadap terpidana kasus korupsi tidak dapat dilakukan,†ujar Nurkholis, Jumat (11/5/2012).
Catatan Indonesia Corruption Watch (ICW), sedikitnya ada 66 terpidana korupsi yang batal diseksekusi oleh Kejaksaan karena terjadi keterlambatan proses salinan putusan dan adanya penundaan eksekusi hingga akhirnya muncul putusan Peninjauan Kembali MA yang membebaskan para koruptor.
“Harus ada perbaikan manajemen di MA, soal proses minutasi. Tuntutan kami, 2x24 jam harus sudah ada petikan putusan,†tukas Emerson Yuntho.
Selain percepatan manajemen putusan, MA juga diminta mendorong penjatuhan hukuman maksimal untuk terdakwa koruptor dan menghindari hukuman percobaan. Tren yang terjadi saat ini, Pengadilan Negeri rata-rata menjatuhkan vonis penjara 1 tahun, sementara Pengadilan Tipikor rata-rata menjatuhkan vonis penjara 2 tahun. Bahkan, dalam catatan ICW, sejak 2005-2010, pengadilan umum membebaskan 812 orang atau sekitar 49,4 persen dari total 1624 orang yang diproses.
Hukuman percobaan dalam perkara korupsi juga diminta dihapuskan, karena dinilai melanggar batas minimum putusan dan tidak menimbulkan efek jera. Setidaknya, ada 20 kasus tindak pidana korupsi dengan 39 terdakwa yang diganjar dengan hukuman percobaan.
Kualitas dan integritas hakim tipikor juga dipertanyakan. Dari berbagai laporan masyarakat, ada banyak aduan mengenai integritas hakim, terutama hakim ad hoc. Kualitas hakim perlu diteliti sejak masa rekrutmen. “Jangan sampai ada ‘kecolongan’ seperti ketika MA meloloskan hakim ad hoc Ramlan Comel,†kata Emerson.
Comel pernah menjadi terdakwa dalam kasus korupsi dana overhead PT Bumi Siak Pusako dan divonis 2 tahun penjara oleh Pengadilan Negeri Pekanbaru, meskipun akhirnya diputus tidak bersalah oleh Pengadilan Tinggi Riau dan Mahkamah Agung.
Djoko Sarwoko menyambut baik kritik dari Koalisi Pemantau Korupsi. Dia mengatakan bahwa MA telah melakukan beberapa hal untuk memangkas administrasi minutasi putusan. Saat ini, kata Djoko, telah terjalin komunikasi antara MA dengan Pengadilan Tinggi dan Negeri terkait penyampaian petikan putusan.
Terkait pengawasan hakim, Djoko meminta pemantauan dan dorongan dari public, selain upaya yang dilakukan MA dengan mengurangi kewenangan hakim yang dinilai bermasalah dalam integritas. “Perlu suara keras dari luar, dari ICW, untuk melakukan pengawasan hakim-hakim, baik dari tingkat kasasi maupun pengadilan tingkat pertama. Tidak cukup pengawasan hanya dari MA dan KY,†tukas Djoko. Farodlilah